Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur Ikhsan

Wa Ad Dalam Fiqih Muamalah

Agama | Friday, 20 Jan 2023, 19:42 WIB

Dalam setiap akan melakukan suatu kegiatan bersama sesorang/pihak tertentu tidak jarang kita memberikan sebuah janji, dimana janji tersebut hanyalah bersifat forward/mustaqbal. Maksud nya adalah pihak yang diberi janji tidak memikul tanggung jawab apapun kepada pihak yang memberi janji. Dalam islam ini dikenal sebagai Wa’Ad.

Janji atau dalam bahasa arab disebut dengan al-wa`du merupakan bentuk masdar dari kata wa`da ya`idu wa`dan wa`idatan wamau`dan. Kata wa`ad digunakan untuk sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk, tetapi kebanyakan digunakan untuk sesuatu yang baik. Sedangkan menurut istilah, wa`ad adalah mengikat bagian-bagian yang akan dilakukan dengan ijab dan qabul yang sesuai dengan syariah. Menurut al-`aini, wa`ad adalah berita yang menghubungkan kebaikan pada waktu yang akan datang. Secara etimologis wa`ad memiliki arti di antaranya adalah hadda yang berarti ancaman (al-wa`id), dan takhawwafa (menakut-nakuti).

Dalam pandangan fiqih muamalah, akad dan wa`ad adalah hal yang berbeda walaupun keduanya hampir sama karena merupakan suatu bentuk perjanjian. Akad merupakan suatu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan, isyarat, maupun tulisan yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. Sedangkan wa`ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apapun terhadap pihak lainnya. Hal ini memberikan isyarat bahwa, wa`ad memiliki perbedaan dari segi implikasi hukum semenjak tercapainya kesepakatan, yakni dalam akad menimbulkan hak dan kewajiban, akan tetapi dalam wa`ad tidak menimbulkan hak dan kewajiban.

Selain konsep Wa’Ad, dalam fiqih muamalah juga terdapat istilah Muwa’adah (saling berjanji). Saling berjanji dapat diartikan satu pihak berjanji akan melakukan sesuatu pada masa akan datang dan pihak yang menerima janji juga berjanji untuk melakukan perbuatan hukum yang setara (Nazih Hammad, 2007: 87). Saling berjanji (Muwa’adah) dari segi bentuknya menyerupai akad, tetapi secara substansi, saling berjanji (Muwa’adah) bukanlah akad

Perbedaan WA’AD dan AKAD

WA’AD

- Hanya mengikat satu pihak

- Syarat dan ketentuan belum didefinisikan dengan baik

- Sanksi yang diterima lebih merupakan sanksi moral

AKAD

- Mengikat kedua belah pihak

- Syarat dan ketentuan sudah didefinisikan dengan baik

- Sanksi yang diterima sesuai dengan yang sudah disepakati

Sumber : Karim,2010:65

Contoh WA’AD

1. Nikah

Ketika kita khitbah maka yang ada adalah janji akan menikah belum kepada akad pernikahannya.

2. Sukuk

Pada saat jatuh tempo kita berjanji akan membeli kembali fortofolio yang telah kita beli

3. Ijarah

Ketika kita menyewa motor kita berjanji akan mengembalikan nya setelah selesai menggunakan nya

Hukum Wa’Ad menurut para fuqaha

A. Mustahab

Menurut mayoritas ahli fiqih (jumhur fuqāha) yaitu Hanafiyah, Syafi`iyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah janji hukumnya mengikat secara agama tetapi tidak mengikat secara hukum formal, dikarenakan janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diniyah) dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan) karena wa`ad merupakan akad tabarru` (kebijakan/ kedermawanan) dan akad tabarru` tidaklah lazimah (mengikat).

B. Wajib Mutlak

Sebagian ulama berpendapat bahwasanya semua janji hukumnya mengikat, artinya jika seseorang berjanji kepada orang lain maka janji tersebut wajib untuk dipenuhi. Pendapat ini didukung oleh `Umar bin `Abdul `Aziz, Hasan Bashri, Ibnu Hajar al-`Asqalāni, Ishaq bin Ibrāhim bin Rahawiya (gurunya imam Bukhari), dan beberapa ulama yang mendukung hukum wajib mutlak.

C. Wajib Mu’allaq

Terdapat dua jenis wajib mu`allaq, pertama wajib memenuhi janji baik syarat tersebut dapat dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi. Kedua tidak wajib memenuhi janji kecuali syaratnya terpenuhi. Jenis yang pertama menurut Ibn Najim tidak ada keharusan memenuhi janji kecuali apabila dikaitkan (mu`allaq). Jenis yang kedua merupakan jenis yang disepakati dan diunggulkan oleh madzhab Malikiyah, diantaranya Ibnu Qasim, al-Qurafi dan Sahnun, dan sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh majma` al-fiqh al-Islami kelima yaitu “janji bagi pihak yang berjanji hukumnya mengikat secara agama kecuali ada halangan (udzur) dan mengikat secara hukum formal jika dikaitkan dengan sebab. Sedangkan perjanjian (yaitu antara dua pihak atau lebih) dalam jual beli murabaḥāh dibolehkan dengan syarat harus ada khiyar (hak memilih), apabila dalam perjanjian tersebut tidak ada khiyar maka perjanjiannya tidak diperbolehkan”.

Landasan operasional penerapan Wa’Ad di Indonesia diatur dalam Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.

Referensi :

- Kontruksi Hukum Wa’ad pada akad pembiayaan di Perbankan Syariah karya Haisah (2020), Tesis,Pasca Sarjana

- Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 85 Tahun 2012 Tentang Janji (Wa‟ad) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image