Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lian Kagura

Pelangi di Kota Bandung

Sastra | Tuesday, 22 Nov 2022, 22:12 WIB

Karya Lian Kagura

Matahari telah meninggalkan Kota Bandung dua jam yang lalu. Lampu-lampu kini mengambil alih penerangan di kota itu. Gemerlap.

Langit membentang memamerkan kerlip bintang, bulan tak hadir malam ini. Sakitkah? Atau sedang pergi ke luar kota? Entah, yang pasti bocah tak beralas kaki itu tidak bisa menebaknya dan mata redupnya masih juga mengarah ke sana. Ke arah bintang-gemintang yang terus mengajaknya bermain mata. Buncir duduk di teras jalan, di samping tiang lampu merah yang berdiri kukuh. Di samping lainnya sebuah pohon yang telah menua melindunginya dari terpaan angin malam yang berembus kencang dari arah sana.

“Jadi, bintang mana yang kamu pilih?” Suara itu datang dari balik pohon.

Buncir mengenali suara itu tanpa harus menoleh. “Enggak tahu atuh A, banyak teuing euy.” Telunjuknya terangkat, memastikan bintang mana yang ingin dia pilih. Namun, dia tetap belum bisa menentukan pilihan.

“Buncir, Buncir. Milih bintang ajah susah, gimana mau milih cewek.” Suara itu kini muncul bersama sosok lelaki yang tinggi kurus. Rambutnya dipotong gaya anak-anak punk diwarnai merah. Kedua tangannya mengais sebuah gitar. Lelaki itu kemudian duduk di sebelah Buncir dan ikut memandang ke arah langit.

“Kenapa tiba-tiba saja aku jadi merindukan bulan? Ke mana dia? Di saat hatiku ingin bercerita. Di kala sukmaku ingin bertanya, tentang cinta yang bersemayam di dalam jiwa,” senandung lelaki berambut punk sembari memainkan gitar tuanya.

“Cieh, si Aa puitis amat. Kayak yang di TV-TV,” ledek Buncir.

“Alah, kamu Cir. Tahu apa sih tentang cinta.” Lelaki itu menghentikan petikan gitarnya kemudian memandang Buncir dengan kedua matanya yang cekung.

“Kata Mas Ari cinta itu cuma ada di sinetron-sinetron.”

“Yeh! Makanya cepetan gede, biar kamu tahu gimana rasanya jatuh cinta.” Lelaki berambut punk itu tersenyum lebar.

Buncir ikut tersenyum.

Ada getar aneh yang dia lihat ketika pandangan lelaki di hadapannya menyentuh mata kecilnya. Benarkah cinta begitu indah seperti yang sering diceritakan Marwan si Sopir Angkot? Iyakah cinta itu semegah bintang-bintang yang seakan tak akan pernah padam. Yang dia tahu, bahwa cinta hanyalah sebuah kata yang tersusun dari lima huruf C-I-N-T-A seperti yang pernah dipelajarinya waktu dia tinggal di panti asuhan dulu.

“A Badru, kenapa Aa engga nyari pacar aja?”

“Memangnya gampang nyari pacar itu. Kalau Aa masih kayak dulu sih pasti Aa juga akan mudah dapet cewek.” Badru tersenyum pada Buncir. “Aa itu ganteng lho dulunya.”

“Masa, sih? Kok, sekarang jadi kayak badut.” Buncir tertawa, lalu berlari ke balik pohon untuk menghindari pukulan Badru.

“Dasar kamu Cir, awas lho.” Badru mengacungkan kepalan tangannya ke arah Buncir. “Kamu tahu, biar kayak badut juga Aa masih lelaki sejati. Enggak kayak kamu, pengecut. Kerjaannya cuma nangis kayak anak cewek ajah.”

Buncir menghentikan tawanya.

“Memangnya anak laki-laki enggak boleh menangis? Kenapa?” Buncir memperlihatkan kepalanya dari balik pohon.

“Anak laki-laki itu harus kuat, tegar, dan kukuh. Hanya anak perempuan yang boleh menangis.” Sebenarnya Badru tahu kalau Buncir itu berhak untuk bersedih, berhak untuk merengek, bahkan dia berhak untuk menangis keras.

Badru menarik napas panjang.

Lampu merah pun menyala. Mobil-mobil berhenti bergerak. Untuk sesaat Buncir hanya terdiam, seakan dia baru tersadar bahwa ternyata dia masih berada di tengah keramaian malam Kota Bandung. Bukan di langit yang selalu dia rindui kesunyiannya.

“Eh, Cir, ayo!” Badru menarik baju Buncir hingga tidak ada pilihan bagi Buncir selain mengikuti arah tarikan lelaki punk itu.

Dengan modal gitar tua dan suara pas-pasan, Badru dan Buncir menghampiri sebuah mobil Kijang berkaca riben. Nyanyian itu tak sempat selesai ketika sebuah tangan segera menjulur dari dalam mobil. Dua buah uang logam seribu rupiah dijatuhkannya ke sebuah topi kumal milik Buncir yang disodorkan kepada pengemudi itu. Buncir dan Badru berjalan ke mobil berikutnya, kali ini sang Sopir hanya mengangkat tangan. Buncir dan Badru segera meninggalkan mobil tersebut. Satu demi satu mobil-mobil yang terjebak lampu merah itu mereka hampiri, bernyanyi dan berharap orang yang mengendarai mobil tersebut orang yang dermawan.

Kini mereka berada di samping sebuah mobil sedan berwarna merah dan berkaca riben. Lama mereka menunggu hingga akhirnya terbuka juga kaca jendela mobil itu, lagi-lagi orang yang sama. Perempuan itu dan syal ungu itu, dengan senyuman manisnya seperti biasa, dia memberikan uang lima ribu rupiah kepada Buncir. Dan, mereka berdua pun tersenyum, lagi.

Hatur nuhun, Teh.”

Lampu hijau menyala.

Mobil-mobil itu melaju lagi, dan kejadian tadi seperti sebuah episode serial yang akan terus berulang dan berulang lagi sampai habis masa kontrak Badru dan Buncir di dunia ini.

***

Santi, memperlambat laju mobilnya. Dua belokan lagi dia akan segera sampai di rumahnya. Dan, benar saja kini mobil sedan merah itu berhenti di depan sebuah rumah besar di kawasan Cipaganti. Setelah klakson mobil itu berbunyi dua kali pintu gerbang rumah itu pun terbuka, seorang pria berseragam satpam tengah berdiri di ambang pintu. Pria itu memberi hormat dengan menundukan kepalanya ke arah mobil, lalu kembali menutup pintu setelah mobil merah itu benar-benar masuk.

Santi mendudukan tubuhnya di sofa. Syal ungu yang melingkar di kepalanya sedikit kusut dan dia tidak peduli. Napasnya begitu cepat dan mata lentiknya sangat lelah. Seorang pelayan wanita menghampirinya.

“Neng Santi, mau minum apa?” Wanita tua itu berbicara dengan logat Sunda yang kental.

“Enggak usah, Bi, saya mau mandi dulu.”

“Kalau begitu Bibi akan siapin makan malam di dapur.”

Sekali lagi Santi menggelengkan kepalanya. “Sesudah mandi nanti saya mau langsung tidur, Bi. saya enggak lapar.”

“Ya sudah, istirahat, ya, Neng! Bibi mau kembali ke dapur.” Setelah memandang tuannya agak lama, wanita tua itu dengan terpaksa berjalan ke arah dapur tidak berani lagi menawarkan makan malam.

Santi masuk ke kamarnya yang lapang dan remang, secara refleks tangan kirinya langsung meraih saklar yang menempel di dinding yang bercat putih itu. Dia memandang dinding ruangan dengan sikap dingin. Dinding kamar itu penuh dengan hiasan. Disamping sejumlah besar lukisan, banyak pula foto dirinya yang terbingkai indah. Di antaranya ada foto-foto di saat dia waktu kuliah dulu.

Di sebelah utara tempat tidur ada meja kerja berukuran besar di kamar itu, penuh dengan kertas-kertas serta tumpukan map-map berwarna merah dan biru. Di sana ada juga patung-patung kecil dari kayu. Di sebelah kiri meja tersebut ada rak-rak buku yang juga tampak penuh dengan berbagai benda kerajinan yang terlihat asing, patung-patung keramik buatan China, begitu juga patung-patung kecil dari Bali. Beberapa di antara patung-patung itu memancarkan cahaya hijau yang lembut. Santi, menaruh tas yang digenggamnya di atas meja kerjanya, lalu menggeser kursi besar berukir-ukir, di belakang meja kerja, dan duduk di situ. Seharian bekerja telah menguras energi serta pikirannya. Di belakang meja itu, dia merasa lelah dan tanpa disadarinya dia mulai tertidur.

Mimpi itu datang lagi, menguasai alam bawah sadarnya dan kini terasa begitu nyata.

Di dalam mimpinya, Santi berjalan menuju sebuah pintu pada pagar semak. Pintu itu dibukanya, lalu masuk. Di depannya ada jalan setapak yang berliku-liku. Di ujung jalan itu tampak sebuah rumah berdinding bata berwarna merah pudar. Di sekeliling rumah itu tumbuh pohon-pohon cemara, tanaman perdu, serta semak liar yang berbunga. Kebun di sekitarnya menunjukkan kesan tak terawat, sama halnya dengan bangunan itu sendiri, yang berdiri di bibir tebing curam.

Santi mengangkat gagang pengetuk yang terpasang di daun pintu, lalu melepaskannya lagi.

Pintu rumah itu terbuka. Seorang perempuan bertubuh pendek gemuk berdiri di ambangnya. Matanya besar berwarna hitam, memandang sayu. Alisnya tebal, sedang rambutnya yang putih tinggal sedikit, melingkari ubun-ubun yang botak. Mukanya gelap terbakar matahari dan penuh kerutan.

“Silakan masuk, Nyonya,” katanya sambil mengajak bersalaman. “Nyonya tentunya ibu dari Pelangi, bukan?”

“Betul, Bu,” kata Santi. Dengan cepat disodorkannya sepucuk kartu tanda pengenal. “Selama ini aku sudah beberapa kali berusaha mencari anakku.”

Perempuan itu membaca tulisan yang tertera pada kartu yang sedang dipegangnya. Perempuan itu, lalu mengangguk, seperti merasa puas. Kartu pengenal itu dikembalikannya kepada Santi.

“Kita bicara di dalam saja,” katanya mengajak.

Perempuan itu mendahului masuk ke dalam rumah itu, kosong dan berdebu. Santi memandang berkeliling ruangan dengan sikap ngeri. Sudut-sudut ruangan yang aneh, juga dinding-dinding yang aneh, penuh dengan gambar-gambar yang bersesak, dari langit-langit sampai nyaris menyentuh lantai. Semuanya adalah gambar orang-orang mati, anak-anak. Hampir saja Santi mau muntah, tetapi itu dapat ditahannya. Santi hanya menunduk sambil tangannya tak lepas-lepas dari mulutnya yang ingin muntah.

Perempuan aneh itu berbelok ke dalam sebuah kamar, bau. Di sana dia duduk di kursi, di belakang sebuah meja kayu yang berdebu.

“Silakan duduk, Nyonya. Akan saya ceritakan semua yang ingin Nyonya ketahui.” Dia menyilakan Santi duduk di kursi yang ada di depan meja itu.

“Memangnya Anda tahu apa yang ingin kuketahui?” Santi mengerutkan dahinya.

Perempuan itu tersenyum.

“Sebenarnya lebih tepat jika saya katakan bahwa saya lebih tahu tentang apa yang ingin Nyonya ketahui daripada diri Nyonya sendiri. Dan, saya akan memberikan informasi yang sangat berguna bagi, Nyonya.”

“Baiklah, ceritakanlah apa yang ingin Anda ceritakan kepadaku.”

“Saya rasa Nyonya tidak akan menemukan kembali anak Nyonya.” Perempuan aneh itu menyipitkan mata bulatnya.

Santi menggelengkan kepalanya. “Anda telah berbohong, aku pasti akan bertemu kembali dengannya?”

“Nyonya telah meninggalkan anak itu 6 tahun yang lalu. Dan, sekarang Nyonya datang mencarinya?” Perempuan aneh itu seperti berubah, rambut putihnya yang tinggal sedikit menjadi berdiri. Kemudian, hidungnya bergerak-gerak cepat.

Santi menjadi terkejut, tetapi dia tak beranjak dari tempat duduknya sama sekali. “Aku meninggalkannya bukan karena aku benci kepadanya, tapi karena orangtuaku yang telah memaksaku untuk melakukan itu. Aku akan menjemputnya pulang.”

“Nyonya lihat mereka, anak-anak itu. Mereka adalah korban dari kesewenang-wenangan orangtuanya. Dan, apakah adil jika mereka harus menanggung dosa kedua orangtua mereka, Nyonya?” Perempuan aneh itu semakin aneh, kini telinganya yang bergerak-gerak sangat cepat. Gambar orang-orang mati itu bergerak. Mendekat, berusaha untuk keluar dari bingkai yang menjeratnya.

Santi menangis.

“Ya Allah, ampuni dosaku. Apa pun akan kulakukan untuk menebus semua kesalahanku.” Kain syal ungu itu ikut basah. Seperti juga hati dan jiwa Santi.

Di kursi itu tubuh Santi bergetar sangat kuat. Keringatnya terus mengucur hampir membasahi seluruh tubuhnya. Napasnya begitu cepat, dan dia merasakan ketakutan yang sangat. Rumah itu terasa hitam. Kehidupan ini seakan siksaan, seperti sudah dihentikan. Kesunyian berkumandang nyaring.

Dia tak bisa membayangkan harus bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya di masa dulu, anak yang tidak berdosa itu telah ditinggalkannya di panti asuhan itu. Dan dia sama sekali tidak bertanggung jawab atas kehidupan dari anak hasil buah cintanya.

“Itu anak haram Santi, kalau kau tidak menggugurkannya maka keluarga kita akan terkena aib. Cepat cari dokter yang bisa menggugurkan kandungan secara cepat, berapa pun bayarannya biar ayah yang tanggung.”

“Tidak, dia anakku, dia tidak akan aku gugurkan. Aku akan merawatnya, aku akan menjadi ibunya.”

“Kau tidak mengerti sama sekali, Santi. Bodoh, dasar anak bodoh. Kekasihmu yang kau cintai itu, ke mana dia? Apakah dia ingin menjadi ayahnya? Tidak Santi. Lelaki berengsek itu telah pergi meninggalkanmu, dia tidak bertanggung jawab. Sekarang cepat gugurkan anak itu.”

Santi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan perut itu sudah sangat besar sekali. Tidak ada pilihan selain pergi dari rumah itu, ke mana pun dia bisa. Memori itu kembali membayang dan beterbangan bagai kertas-kertas coretan yang dihamburkan.

“Nah Nyonya, apakah Nyonya tahu apa yang telah Nyonya lakukan?”

“Aku tidak membencinya, aku tidak menggugurkannya. Aku ... telah menitipkannya pada panti asuhan ini. Aku telah menitipkannya di sini.”

“Lucu sekali, apa kau tahu bahwa kau telah menggugurkan kebahagiannya, Nyonya?”

“Tidak, tidak. Aku ... berdosa. Biarkan aku bertemu dengan anakku.”

“Sudah kukatakan bahwa kau tidak akan bertemu dengan Pelangimu, Nyonya.”

“Pelangi, Pelangi ....”

Santi, dengan air mata yang terus mengalir. Dengan bayangan-bayangan dosa yang berlarian di otak besarnya menjerit memecahkan kesunyian tempat itu.

“Neng, Neng Santi ada apa? Neng.” Suara pelayan wanita di luar kamar.

“Kita dobrak saja pintunya, Bi,” kata lelaki berseragam satpam.

“Ya udah, takut terjadi apa-apa sama Neng Santi di dalam. Dobrak saja Pak.”

Tanpa berpikir lagi lelaki itu menendang pintu kamar Santi sepenuh tenaga, satu, dua, dan tiga. Pintu itu terbuka.

“Astagfirullah, Neng. Sadar Neng.”

“Biar saya angkat, Bi.” Satpam itu mengangkat tubuh Santi ke atas tempat tidur. “Saya akan mengambil air minum buat Non Santi, Bi.”

“Iya, sekalian bawa es batu Pak. Badan Neng Santi panas sekali. Kita kompres.”

Langit-langit kamar masih berputar-putar ketika Santi membuka matanya. Dia melirik ke arah wanita yang mengambil cairan dingin dalam plastik di atas keningnya. Kemudian, dia menggantinya dengan benda keras yang juga dingin.

“Syukurlah, Neng sudah sadar. Sebenarnya ada apa, Neng?”

“Pelangi Bi, aku ingin ketemu dengan Pelangi.”

Wanita tua itu matanya menjadi berair. “Kalau Gusti Allah menghendaki juga Neng pasti akan bertemu dengannya lagi, tidak di dunia mungkin di akherat nanti, Neng.” Wanita tua itu membelai rambut Santi.

“Apakah aku berdosa, Bi?”

“Dosa atau tidak itu Allah yang menentukan, Neng. Yang harus kita lakukan adalah beristigfar. Allah itu Maha Pengampun.” Wanita tua itu memang sudah tahu banyak tentang kejadian yang selama ini menimpa Santi. Tentang Pelangi anaknya, tentang traumanya terhadap laki-laki, juga tentang ayah Santi yang tidak pernah mau mengakui anak haram Santi. Namun, beberapa bulan yang lalu ayah Santi telah meninggal dunia oleh karena itu tidak ada lagi halangan bagi Santi untuk menjemput anaknya di panti asuhan tempat dia menitipkan anaknya itu. Meskipun Santi tidak pernah sekali pun bertemu dengan anaknya. Namun, dia yakin bahwa Pelangi akan mengakuinya sebagai ibunya. Dan, dia akan menjelaskan semuanya kepada Pelangi.

“Bibi tahu? Panti asuhan itu telah hilang. Mereka telah pindah. Aku sudah ke sana. Orang yang mengelola panti itu sudah tidak bisa lagi mengurus anak-anak itu, dan dia telah pergi ke Kalimantan. Mengungsi. Aku tidak tahu Bi harus bagaimana, aku benar-benar kacau. Aku telah menghubungi setiap orang yang dapat aku andalkan untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan mereka. Namuni, semuanya nihil. Bahkan aku tidak tahu apakah Pelangi masih hidup atau sudah mati.”

“Sabar Neng, semuanya pasti ada jalan keluarnya. Sabar ya Neng. Sekarang mending Neng istirahat. Neng sudah shalat Isya belum ? Shalat dulu terus berdoa pada Gusti Allah.”

“Iya, Bi.”

Malam semakin larut. Meskipun kamar itu sangat terang, tetapi kegelapan seperti telah menyelimuti Santi. Sehabis Shalat Isya dan berdoa, dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

***

Buncir terbangun dengan keringat dan air mata bercucuran. Napasnya sangat cepat dan jantungnya juga berdetak cepat.

“Kenapa? Mimpi lagi, ya?” Badru menghampiri Buncir yang terduduk di pojokan gardu taman itu. “Sudahlah, laki-laki itu harus kuat. Aa juga sering mimpi kayak gitu, Aa juga sama. Orang terbuang.”

“Tapi, Buncir pengen ketemu sama orangtua Buncir.”

“Nyarinya juga di mana, Cir. Mau ke Kalimantan. Panti itu sudah tidak bisa menghidupi kita lagi. Sudah bangkrut, tahu gini sih mendingan kamu Aa suruh ikut ajah ama mereka ke sana. Aa sih udah betah banget di Bandung dan kayaknya Bandung udah jadi rumah Aa sendiri. Cuma kamu Cir yang paling Aa sayang, kenapa juga kamu pengen ikut sama Aa?” Lelaki berambut punk itu kini menangis, walaupun hanya dalam hati. “Udah, kamu sabar ajah. Kan kata ibu juga kita itu orang susah, kalau tidak sabar apa yang bisa kita dapatkan nanti. Udah susah di dunia nanti di akherat susah juga. Sabar ya, Cir.”

Buncir memeluk lelaki punk itu seperti seorang adik memeluk kakaknya. “Seandainya seorang ibu itu memang ada ya A, mungkin kita tidak akan seperti ini.” Buncir memandang gelang yang dipakainya. Gelang itu terbuat dari anyaman kulit, berwarna ungu. Ada tulisan tertera di gelang itu ‘PELANGI’ dengan anyaman warna-warni. Hanya itu satu-satunya peninggalan ibu panti asuhan dan hanya itu harta yang paling disayangi Buncir.

Sore telah menghilang. Malam kini menguasai alam, seperti malam-malam biasanya Buncir dan Badru memainkan gitar tuanya dan Buncir bernyanyi dengan nada sumbangnya dari mobil ke mobil dan malam itu mereka kembali bernyanyi di samping sebuah mobil sedan merah. Perempuan itu lagi dengan syal ungu itu lagi. Senyuman manisnya sangat dikenal Buncir dan satu lembar uang lima ribu rupiah terjatuh lagi dari tangannya.

“Perempuan itu baik ya A, selalu saja memberi kita lima ribu.”

“Tidak semua orang itu jahat, Cir.”[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image