Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

Ken Arok

Sastra | 2024-04-19 16:14:19
sumber gambar: https://pin.it/60LMz60Tm

Lohgawe memandangi muridnya itu. Badannya tinggi dan kekar, rambutnya panjang dan diikat ke belakang. Pemuda itu sedang menyalin lontar, dengan tekun ia salin kata demi kata dalam bahasa sansekerta. Nama pemuda itu Ken Arok.

---

Ken Arok terkenal karena suka berjudi. Ibunya bernama Ken Endog berasal dari Pangkur. Ken Endog hidup dalam kemiskinan akut. Pada saat usia Arok baru tiga bulan, Ken Endog menyerahkan anaknya itu pada Lembong. “Rawatlah anakku ini. Aku tak mampu membesarkannya karena kemiskinan yang menjarat hidupku,” begitu pesannya pada Lembong.

Lembong adalah perampok terkenal di Tumapel, dia terkenal karena kebengisannya merampok pejabat kerajaan. Pernah suatu kali ia merampok seorang pejabat yang sedang melakukan perjalanan di utara gunung Kawi. Ia rampas semua barang bawaannya dan ia ikat pejabat itu di sebuah pohon di tengah hutan.

Lembong tidak punya anak, oleh karena itu ia sangat bahagia ketika Ken Endog memberinya bayi laki-laki. Lembong memperlakukan Arok seperti anaknya sendiri. Pada usia duabelas tahun Arok telah pandai berjudi. Penduduk desa menjulukinya dewa judi karena ia sering menang dalam permainan. Arok juga kerap berkelahi. Tak ada yang berani padanya karena ia adalah anak Lembong.

Pada suatu kali Arok bertanya “Ayah, mengapa kau jadi perampok?”

Kata Lembong “aku tidak merampok, aku hanya mengambil hakku.”

Lembong dan Arok tinggal di sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu. Tak ada yang istimewa dari rumah itu, atapnya dari jerami, tak ada gerabah apalagi perhiasan. Pada malam hari hanya ada sebuah damar yang menerangi.

Pada suatu malam Lembong mengajak Arok bercakap-cakap.

“Anakku, apakah kau sudah tahu mengapa aku jadi perampok?”

“Aku tidak tahu, Ayah. Kenapa?” Arok menunggu jawaban, tetapi Lembong hanya diam.

“Andai saja ada pilihan lain, aku tak akan melakukan pekerjaan kotor ini.”

“Apakah perampok sekotor itu? Aku lihat penduduk desa menghormati Ayah.” Lembong menghela nafas panjang. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak sampai, seakan-akan sebuah biji besar menghadang di kerongkongannya.

Api damar yang menerangi ruangan itu digoyahkan angin, menggoyangkan bayangan-bayangan yang sedang merambati dinding. Di dekatnya ada seorang ayah dan anak yang sedang mengadu rasa.

“Arok, dengarkan nasehatku ini. Aku ini orang bodoh, tak berilmu, makanya aku jadi perampok. Aku tidak ingin kau menjadi sepertiku. Aku ingin kau jadi orang pandai, orang yang berilmu. Jika ada kesempatan berguru pada brahmana, ambillah.” Lembong sadar omongannya hanya bualan belaka, sebab takkan ada brahmana yang mau menerima anaknya sebagai murid. Anak ayam akan menjadi ayam, anak perampok akan menjadi perampok juga pada akhirnya.

Benar saja, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pada usia enambelas tahun Arok mulai merampok, mengikuti jejak Lembong.

---

Pada suatu hari Arok berencana merampok di Batur, sebuah desa dekat Polowijen yang jaraknya cukup jauh dari Tumapel. Desa itu memiliki jalan lebar dan sering dilalui gerobak besar dan kereta-kereta pejabat. Mula-mula Arok bersembunyi di atas pohon samping jalan. Pohon-pohonn itu rindang sehingga memungkinkan untuk bersembunyi. Sedari pagi hingga siang tak ada satu pun kerta atau gerobak yang melintas.

Pada saat menjelang sore tiba-tiba, “kraak kraak kraak” Arok menderdengar suara roda berjalan, rupanya sebuah kereta kuda sedang melintas, menerbangkan debu dan menyibak dedaunan. Dari bentuknya Arok tahu bahwa kereta kuda itu milik pejabat kerajaan. Arok menunggu, bersebunyi, dan memantau dengan hati-hati. “Ini hari keberuntunganku,” pikirnya.

Ketika kereta itu sudah dekat, Arok melesatkan belasan anak panah. Shuuut! Shuuut! Shuuut! Kuda itu kaget lalu ketakutan dan berjingkrak tak karuan. Sang kusir berusaha mengendalikannya tapi sia-sia. Kereta pun goyah, mengguncang penumpang di dalamnya. Khawatir akan keselamatan tuannya, sang kusir lalu memotong tali penghubung kuda dan kereta. Kuda itu pun lari tunggang langgang meningglkan kereta.

Setelah itu Arok turun dan tanpa basa-basi ia langsung melancarkan aksinya.

"Hai kau, serahkan semua barang yang kau bawa!” Si kusir ketakutan, keringatnya menetes tanpa henti.

“Hei, kau tuli ya?! Cepat serahkan semua barang bawaanmu atau keris ini akan menebas lehermu!”

Tiba-tiba dari dalam kereta muncul seseorang. Pakaian yang ia kenakan tak biasa. Jelas dia bukan raja, patih, atau pejabat istana. Siapa dia?

"Tenanglah anak muda,” kata orang itu.

"Siapa kau?.” Arok berbicara sambil mengacungkan kerisnya.

“Namaku Dahyang Lohgawe. Aku bukan pejabat, juga bukan kerabat pejabat. Aku hanya seorang brahmana. Tolong, biarkan kami lewat.”

"Bohong! Mana mungkin seorang brahmana menaiki kereta itu? Sudah jelas itu adalah kereta pejabat. Jangan berani menipuku! Cepat serahkan semua barang yang kau bawa!”

"Jika kau tak percaya, silakan periksa sendiri.”

Melihat Arok, Lohgawe tiba-tiba teringat pada anaknya, Panji Tirta yang meninggal dunia pada usia enambelas tahun karena penyakit yang tak diketahui. Banyak tabib telah ia panggil namun tak ada yang bisa menyembuhkan anak semata wayangnya itu. Arok sangat mirip dengan mendiang anaknya itu, postur tubuhnya, bentuk wajahnya, hingga cara bicaranya, semuanya mirip seakan-akan Sang Hyang Widhi berkata “inilah anakmu. Aku pertemukan lagi kau dengannya.”

Arok memandang Lohgawe penuh curiga, matanya menyelidik dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan. Tatapannya memancarkan api kecurigaan yang tiada taranya. “Apakah ini jebakan?” pikirnya.

“Seorang brahmana tidak akan berbohong, bahkan pada penjahat sekalipun.” Lohgawe berusaha meyakinkan.

Seraya mengacungkan keris, Arok mendekati kereta yang sudah tak berkuda itu pelan-pelan. Lohgawe dan kusirnya menyingkir hati-hati. Arok memasuki kereta itu, mencari-cari barang yang bisa ia bawa. Tepi ia tak menemukan apa-apa selain tongkat dan sebuah japamala.

“Sudah kubilang, aku tak membawa barang berharga apa pun. Hanya itu yang kubawa.”

Sebelum memulai perjalanan ini Lohgawe telah diperingatkan tentang keberadaan perampok di sekitar Tumapel. “berhati-hatilah, aku dengar nama perampok itu Lembong. Ia kejam pada orang-orang kerajaan” kata seorang kawannya. Lohgawe kemudian pergi dengan hanya membawa tongkat dan sebuah japamala. Pikirnya, mana ada perampok yang menginginkan kedua benda itu?

Lohgawe masih memandangi Arok, cukup lama ia memandang hingga tak sadar air matanya telah menetes hingga ke pipi.

“Wahai anak muda, siapa namamu? Apakah kau perampok yang bernama Lembong?” tanya Lohgawe.

“Aku bukan Lembong, aku Arok," jawab Arok.

"Usiamu masih sangat muda. Sayang jika kau gunakan untuk hal-hal seperti ini.”

“Apa tujuanmu? Mengapa kau lewat jalan ini?”

"Aku dalam perjalanan ke desa Polowijen.”

"Untuk apa?”

“Menemui sahabatku yang bernama Parwa.”

Arok memandang Lohgawe dalam-dalam, berusaha memastikan bahwa yang dihadapinya adalah orang jujur. Seorang brahmana pastilah tak akan bohong, pikirnya.

Senja telah datang, cahaya jingganya menutupi sebagian tubuh Gunung Kawi. Pohon-pohon tunduk, berisap mengucapkan selamat istirahat pada siang dan bersuka cita menyambut kedatangan malam.

Arok masih diam di tempatnya, begitu pun Lohgawe dan sang kusir kereta yang sedari tadi bercucuran keringat.

“Aku melihat sesuatu dalam dirimu. Kau muda, penuh ambisi dan nampaknya berhati bersih. Kau melakukan ini untuk siapa?”

Keberadaan kawanan perampok di sekitar Tumapel telah sampai di telinga raja Kediri. Lohgawe pun tahu bahwa kawamam perampok itu hanya merampok pejabat istana. Lohgawe curiga dan bertanya-tanya, mengapa? Ia yakin pasti ada sesuatu di balik semua ini.

"Kau memang seorang brahmana,” kata Arok, “bisa mengetahui seseorang hanya dalam sekali pandang. Memang betul, aku melakukan ini bukan untuk diriku, tapi untuk untuk orang-orang di desaku. Mereka hidup dalam jerat kemiskinan. Semua karena Tunggul Ametung dan raja Kediri. Mereka memeras rakyat untuk kesenangan pribadi. Hasil panen, emas, ternak, semua milik kami mereka bawa. Kami seperti sapi yang terus diperah tanpa pernah diberi makan. Lalu....” Arok bercerita panjang tentang dirinya dan alasannya merampok. Cukup banyak ia bercerita pada Lohgawe. Hingga akhirnya... “....sampaikan pada raja Kediri, kami tak akan berhenti merampok hingga kerajaan memperlakukan kami secara adil.”

"Baiklah,” kata Lohgawe, “aku akan menyampaikannya pada sang raja. Em, jika aku boleh tahu, di mana kau tinggal?”

“Aku tinggal di Tumapel. Tak bisa kusebut lokasi tepatnya.”

“Baiklah. Aku akan menyampaikan pesanmu pada sang raja, tapi dengan satu syarat; kau harus datang ke tempatku. Aku akan memberitahumu satu hal di sana.” Lohgawe membertahukan suatu lokasi pada Arok. “Temui aku sepuluh hari lagi,” katanya.

Setelah itu Lohgawe melanjutkan perjaanan ke desa Polowijen dengan berjalan kaki. Dalam perjalannya itu ia bertanya-tanya “Apakah ini tepat? Apakah ia mau menjadi muridku?”

Arok masih berdiam di tempatnya. Ia merasa sangat canggung, ada perasaan aneh di hatinya, seperti ada jurang besar yang memisahkan ia dan Lohgawe. “Begitu rupanya sikap orang berilmu itu,” Arok teringat akan nasehat ayahnya.

---

Sepuluh hari kejadian itu Arok mendatangi Lohgawe di tempat yang dijanjikan. Tempat itu berada di tengah hutan, sepi dan jauh dari pemukiman penduduk. Setelah berbincang cukup lama dengan Lohgawe, Arok kemudian tahu bahwa Lohgawe adalah salahsatu brahmana Kediri yang memutuskan keluar dari istana.

"Mengapa kau keluar dari istana?” tanya Arok.

“Aku keluar karena sudah tak tahan dengan kelakuan raja Kediri. Ia memaksa kami untuk mengakuinya sebagai dewa. Yang menolak akan diusir. Aku memilih untuk berkompromi, tetapi kemudian mencari alasan untuk keluar. Akhirnya kukatakan pada sang raja bahwa aku hendak menyebarkan ajaran Siwa ke pelosok Jawa. Lalu sang raja mengijinkanku pergi dengan syarat aku harus memiliki murid, setidaknya satu orang.”

Arok yang mendengar cerita itu kemudian mengajukan diri sebagai murid,

“Tuan, angkat aku sebagai muridmu.”

"Mengapa tiba-tiba kau...”

"Aku mohon, tunjukan padaku jalan kebenaran, Tuan.” Arok menunduk di hadapan Lohgawe.

"Apa kau sudah izin pada ayahmu?”

“Nanti aku akan izin padanya. Ia pasti setuju. Percayalah, Tuan.”

Melihat Arok yang demikian hati Lohgawe lega. Terpujilah Sang Hyang Widhi yang telah membukakan hati pemuda ini. Arok bisa dijadukan bukti oleh Lohgawe bahwa ia benar-benar mengejarkan ajaraan Siwa ke pelosok desa. Ini akan menjadi bukti bahwa ia menepati kanijinya pada raja Kediri.

Sejak saat itu Arok mulai mempelajari ajaran Siwa. Ia menjadi murid Lohgawe satu-satunya.

Semarang, 17-19 April 2024

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image