Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Devi Malika Azzahra

Pengarusutamaan Gender dan Kegagalan Kapitalisme Menyejahterakan Perempuan

Politik | Saturday, 17 Sep 2022, 12:46 WIB

Devi Malika Azzahra, S.P. (Mahasiswa Pascasarjana ULM)

Berbagai program dan kegiatan bercorak Feminisme dan Pengarusutamaan Gender (PUG) di tanah Banua semakin marak. Perjuangan kaum feminis telah masuk ke dalam sistem yang program lanjutannya akan terus berkembang hingga akar rumput. Di balik Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) program-programnya kian berkibar.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kalimantan Selatan (Kalsel) melaksanakan koordinasi dan sinergi dalam pelaksanaan Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) untuk mempercepat terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender secara berkelanjutan di Kalsel (diskominfomc.kalselprov.go.id, 08/08/22).

Bertempat di Aula Gawi Sabarataan Balai Kota Banjarbaru, digelar Bimbingan Teknis (bimtek) Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) sebagai proses perencanaan dan penganggaran program pengarusutamaan gender pada Senin, 22/08/22 (mediacenter.banjarbarukota.go.id).

Sejumlah organisasi perempuan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) ikuti sosialisasi/edukasi pengarusutamaan gender dengan tema pemberdayaan perempuan dalam bidang hukum di Gedung Murakata Barabai, Rabu,13/07/22 (kalsel.antaranews.com).

Perempuan Mahardhika kembali menggelar sekolah feminis di Banjarmasin selama tiga hari (20-22 Agustus 2022). Kegiatan ini diadakan berangkat dari cita-cita mewujudkan kampus yang mendukung berkembangnya ide-ide kesetaraan (radarbanjarmasin.jawapos.com, 21/08/22).

Percepatan pelaksanaan PUG ini antara lain dilatarbelakangi angka kemiskinan, diskriminasi perempuan, dan KDRT di Banua yang terus meningkat. Maka dengan percepatan PUG ini dinilai dapat mengatasi permasalahan tersebut, di mana peran perempuan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan ekonomi perempuan.

International Monetary Fund (IMF) dalam working paper tahun 2020 dengan tajuk Gender Inequality and Economic Growth: Evidence from Industry-Level Data menyampaikan simpulan bahwa dalam industri dimana andil perempuan tinggi, menyebabkan industri tumbuh relatif lebih cepat apabila dibarengi dengan adanya persamaan gender.

Penyebab kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang hari ini tak kunjung teratasi -hingga memunculkan berbagai permasalahan baru di tengah masyarakat seperti perampokan, penipuan, pencurian, KDRT, bahkan pembunuhan dan kejahatan lainnya- merupakan bagian dari kemiskinan global.

Berbagai data perkembangan dunia 10 tahun terakhir telah menunjukan bahwa penerapan sistem kapitalisme-neoliberal oleh negara-negara adidaya atas ‘bantuan’ lembaga-lembaga internasional telah berhasil mengglobalkan kemiskinan daripada kemakmuran. Dan ini tentu bertolak belakang dengan target berbagai perjanjian internasional maupun deklarasi semisal Sustainable Development Goals (SDGs) dan Kesejahteraan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang digembar-gemborkan negara-negara adidaya melalui badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengentaskan kemiskinan dunia, termasuk kemiskinan dan peningkatan status perempuan.

Tengok saja, kebijakan pasar bebas yang menjadi senjata andalan sistem Kapitalisme yang diterapkan sejak pertemuan Bretton Woods tahun 1944 dan terus dikukuhkan hingga sekarang melalui berbagai perjanjian internasional, nyatanya telah menjadi alat imperialisme baru negara-negara kapitalis. Ironisnya, negara-negara inilah yang justru menjadi penggagas dan motor program-program PBB terkait perempuan dan upaya pengentasan kemiskinan dunia ala SDGs. Hasilnya, kekayaan Negara-negara dunia ketiga dikuras habis dan kedaulatan mereka dirampas, hingga milyaran rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan hidup di bawah garis kemiskinan, dan di saat yang sama mereka berhasil membuat 54% pendapatan dunia justru masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negara-negara mereka.

Begitupun jebakan krisis ekonomi yang ‘dikelola’ Amerika Serikat dan resep debt swap jebakan utang yang mematikan ala IMF juga telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawi yang luar biasa besar. Sementara di saat yang sama, sumber-sumber alam dan berbagai aset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat resep IMF yang mewajibkan pasienya melakukan program-program anti rakyat semacam privatisasi , pencabutan subsidi, deregulasi dan liberalisasi.

Untuk kasus Indonesia, kebijakan ekonomi kapitalistik yang pro Neoliberalisme dan disetir kepentingan asing semacam IMF pun jelas tidak bisa diharapkan akan mampu mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan yang digembar-gemborkan PBB melalui program pengarusutamaan KKG dan proyek SDGs.

Bagaimana bisa angka kemiskinan dan kelaparan diturunkan jika pembangunan ekonomi sektor riil mandeg akibat kebijakan pasar bebas dan privatisasi aset-aset strategis milik rakyat? Bagaimana bisa kualitas pendidikan, kesehatan, dan daya dukung lingkungan bagi rakyat termasuk kaum perempuan ditingkatkan, sementara akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan kian mahal akibat privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk bidang farmasi?

Bagaimana bisa semua itu diwujudkan, sementara tanggungjawab sosial negara kian hilang akibat kebijakan anti rakyat semacam penghapusan subsidi? Bagaimana bisa, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan karenanya kemiskinan -termasuk yang menimpa kaum perempuan- dihapuskan, jika sumber pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dari rakyat dan hutang luar negeri, sementara kekayaan yang melimpah ruah habis dihadiahkan kepada asing melalui berbagai perjanjian yang dilegalisasi undang-undang? Jika demikian halnya, memberantas kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan laki-laki dan perempuan dengan berbagai deklarasi, termasuk melalui program-program KKG dan SDGs hanya mimpi belaka.

Pola kehidupan Kapitalisme yang materialistis telah memaksa perempuan berada di ruang publik. Namun, tak ada jaminan keselamatan dan keamanan bagi kaum perempuan dari negara. Alhasil, ide-ide Feminisme mendapatkan tempat di hati kaum perempuan Muslim yang hidup dalam kungkungan Kapitalisme. Ini menjadi bukti, bahwa negara telah kehilangan kemampuannya untuk menyejahterakan kaum perempuan, juga seluruh rakyatnya.

Di sisi lain, kesadaran dan tanggung jawab dari wali yang seharusnya menafkahi perempuan baik Ayah ataupun suaminya kian tergerus. Tidak sedikit di antara masyarakat yang tidak memahami bahwa tanggung jawab nafkah ada di pundak laki-laki, hal ini merupakan akibat dari sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Perempuan dan kemiskinan global adalah dua hal yang tak terpisahkan, mengapa? Karena perempuan merupakan bagian dari masyarakat yang kesejahteraannya juga dipengaruhi oleh sistem yang berlaku. Maka, jika sistem Kapitalisme-Sekuler terbukti gagal menyejahterkan perempuan, sekarang saatnya menguji kemampuan sistem Islam sebagai pengganti Kapitalisme.

Sistem Islam yang diimplementasikan secara riil oleh institusi negara memberi aturan rinci berkenaan dengan peran dan fungsi pria dan wanita dalam menjalani kehidupan, yang memang adakalanya sama dan ada kalanya berbeda. Hanya saja, persamaan dan perbedaan ini tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender, melainkan semata-mata merupakan pembagian tugas yang sama-sama penting. Hal ini tidak bermakna adanya penghinaan atau dominasi salah satu pihak oleh pihak yang lain, baik pria atau wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sekaligus kemuliaan dengan menjadi hamba yang bertakwa.

Kesejahteraan dalam Islam diartikan sebagaai terpenuhinya seluruh potensi yang dimiliki manusia secara optimal, baik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan termasuk agama sebagai tuntunan hidup, serta pemenuhan kebutuhan pelengkap baik berupa kebutuhan sekunder maupun tersier.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka negara wajib mewujudkan keimanan individu, dalam hal ini laki-laki sebagai penanggung jawab dari para perempuan. Islam memandang bahwa sebagian dari hak perempuan ada pada sebagian kewajiban laki-laki, seperti nafkah misalnya, ia adalah hak perempuan yang terdapat pada kewajiban laki-laki baik Ayah atau pun suaminya.

Berikutnya negara harus mewujudkn sistem ekonomi berbasis Islam, di antaranya pengembangan sektor riil seperti membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki agar dapat optimal menafkahi keluarganya. Negara juga berkewajiban menjamin kehidupan rakyat miskin. Maka, perempuan yang hidup di bawah naungan Islam tidak perlu ide kesetaraan gender untuk menyelesaikn permaslahan mereka, termasuk dalam hal ini permasalahan kemiskinan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image