Omnibus Law sebagai Senjata Golongan Super Rich
Politik | 2021-11-08 10:47:44Tepatnya 1 tahun yang lalu, Indonesia mengalami satu patahan sejarah politik dan demokrasi yang sangat penting untuk dicatat sebagai penanda bahwa demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja. Kalimat terakhir itu kira-kira narasi masyarakat pada umumnya yang keberatan dan ingin mengoreksi gelagat oligarkis yang diusung oleh dan atas nama lembaga demokrasi trias politica yaitu DPR, eksekutif, dan Yudukatif (peradilan) yang mengesahkan dengan memaksakan kehendak yang luar biasa dengan tingkat represifitas yang belum ada presidennya pada era pasca reformasi di Indonesia.
Karena begitu kerasnya aparat negara merespon demonstrasi di seluruh penjuru tanah air yang menjadi penanda bahwa demokrasi di Indonesia mengalami proses kematian (dying democracy) yang lebih halus disebut dengan mengalami defisit demokrasi, democracy set-back. Tentu saja ini sedikit hiperbolik tetapi realistik. Penguatan peran partisipasi masyarakat dalam politik sendiri merupakan amanah reformasi 1998 sehingga wajar muncul gerakan bertagar #reformasidikorupsi #bersihkanIndonesia, #Gejayanmemanggil, #rakyatmenggugat #mositidakp ercaya adalah serangkaian penanda bahwa rakyat mengalami keputusasaan dan mengalami ketidakpercayaan yang besar terhadap pemerintahan yang membabi buta merevisi undang-undang KPK (melemahkan KPK), UU Minerba, dan UU Cipta Kerja.
PerbesarGambar: Webinar Prodi IP UMY/2021/dokpribadiPeople vs 3 Undang-UndangAda 3 undang-undang yang menjadi penanda tentang wajah demokrasi di Indonesia yang sangat mengandalkan Citra tetapi miskin fakta yang pertama di tahun 2019 air yaitu pemaksaan revisi undang-undang KPK yang mencederai reformasi yang sangat kuat sangat bawah dimana agenda-agenda Pelemahan KPK juga akan berakibat buruk pada agenda-agenda penindakan terhadap berbagai macam sandal rusak lingkungan deforestasi dan izin-izin tambang yang jumlahnya sangat besar.Kedua adalah undang-undang Minerba yang begitu mulus begitu semut segera dirumuskan dimana salah satu substansinya adalah bahwa tata kelola Sumber Daya Alam atau Mineral sebesar-besarnya ditarik ke pusat sehingga political distance ini akan menjadikan kelompok yang melakukan pertahanan terhadap lingkungan mengalami kesulitan karena jarak yang sangat jauh dan birokratis.
Ketika menghadapi persoalan kerusakan lingkungan atau ketidakberesan izin tambang mereka mengadu berbagai instansi di daerah itu akan melelahkan dan tidak menghasilkan apapun karena di pusat tidak mau merespon ini adalah paradoks dari desentralisasi sekaligus paradoks dari tata kelola sumber daya alam yang bermuara pada hukuman paradox of plenty.Ketiga adalah undang-undang Cipta kerja (UU No.11/2020) atau yang populer disebut omnibus law. Undang-undang ini adalah undang-undang yang paling mengerikan dan salah satu undang-undang yang sangat oligarkis. Regulasi ini ibarat karpet merah bagi 1% kaum elite oligarki yang imannya adalah bussiness as usual. Sebagaimana yang diwacanakan di jagad Indonesia, undang-undang ini mengalami problem sangat serius dari hulu ke hilir, dari mekanisme konstitusional sudah ditrabas yang nantinya akan direspon juga oleh publik dalam Nalar nalar inskonstitusional. Sementara, kelompok opponent undang-undang ini mengalami problem sangat serius akibat represi di dunia nyata dan maya.
Sementara negara melakukan yang disebut dengan insconstitutional disobedience artinya negara secara tidak konstitusional membajak otoritas membajak membaca konstituante konstituen di mana konstituen tidak menghendaki model-model pembentukan kebijakan yang distortif yang manipulatif dan akal-akalan sebagaimana yang terjadi dalam naskah akademik dan draft undang-undang Cipta kerja yang mengalami misteri keghaiban.
Jadi yang misterius bukan hanya demit tetapi juga undang-undang Cipta kerja inilah undang-undang terdemit yang pernah ada undang-undang terkait yang pernah ada di muka bumi persoalan yang sudah banyak dinilai oleh berbagai kelompok peneliti dan juga kelompok dari aktor aktor aktor aktor Pro demokrasi yang pertama undang-undang ini dirasa terlalu Pro terhadap pengusaha dan aspek-aspek fleksibilitas yang menjadikan jaminan kesejahteraan jaminan keadilan terhadap buruh tidak ada,
Undang-undang omnibus Law juga dianggap akan memperparah kerusakan ekologi yang tanpa omnibus law sudah sangat parah, sehingga undang-undang Cipta kerja ini kangen dapat memberikan dampak negatif bagi kerusakan dan pengrusakan apalagi narasi narasi yang muncul kan akhir-akhir ini oleh klh adalah bagaimana berlindung di bawah UUD 45 ntah bagaimana tafsirnya. Bagaimana mungkin pembangunan infrastruktur iklim untuk menjamin memajukan kesejahteraan rakyat tapi boleh atau menghalalkan cara untuk menerabas batas-batas kesetimbangan lingkungan.
Gila bukan, undang-undang ini dibolehkan menerabas deforestasi atau di sana ada masyarakat adat di sana ada kehidupan di sana ada masa depan jadi pembangunan yang yang sedang di Yakin nih oleh rezim hari ini sebetulnya adalah pembangunan yang tidak perlu manusia dan juga tidak pro-alam lestari. Klaim pro-alam dan pro-people centered sebetulnya adalah klaim yang tidak berdasar mengalami contradictio in terminis kalau Pro manusia pro-lingkungan bagaimana mungkin deforestasi dilegalisasi? bagi saya adalah kebijakan sepihak yang tidak mau membuka dialog tidak mau membuka ruang partisipasi dari masyarakat sehingga saya kira narasi retorika Pro lingkungan dan Pro terhadap gerakan penyelamatan resiko dari perubahan iklim sebetulnya adalah retorika retorika yang sudah kadaluarsa.
Serangkain retorika retorika yang tidak dibutuhkan oleh zaman.Salah satu cara mencegah kerusakan itu adalah membenahi moral politik moral ekonomi dan moral ekologi yangada di dalam kelompok oligarki politik ada di legislatif yudikatif dan lain-lain serta penangkal membendung arus liberalisasi ekonomi yang dibawa oleh rezim oligarkis kelompok oligarki bisnis selalu pada kebebasan berusaha untuk profit dan membeli perlindungan hukum legal formal.Jadi kesimpulannya, satu tahun pasca disahkannya undang-undang omnibus Law sebetulnya kemenangan narasi-narasi destruktif.
Di bawah payung rezim sudah cukup meluas dukungan-dukungan dari lembaga-lembaga peradilan dari media oligarki dari partai-partai politik sudah dari bazar sudah sangat bisa dikatakan memenangkan pertempuran itu tetapi tentu saja masyarakat tidak akan diam ketika ruang hidupnya ter terancam skema-skema pembangunan yang anti kemanusiaan dan anti peradaban masyarakat berkelanjutan.kedua, saya melihat narasi-narasi akan tidak bermasalahnya undang-undang Cipta kerja diperkuat sedemikian rupa dengan berbagai dalih konstitusi sehingga pertarungan ruang yang sangat-sangat elitis dalam dunia peradilan sebetulnya mereka ditopang agen-agen buzzerp.
Termasuk dalam ruang-ruang akademi yang seharusnya dapat membantu gerakan-gerakan masyarakat sipil yang selama ini paling rentan paling serius mendapatkan kekerasan dari dari negara kurang nyaring terdengar. Kaum academia suaranya harus lebih polyponik agar daya dobraknya terbangun. Jika diobservasi mendalam dua tahun terakhir ini, ada banyak sekali kekerasan-kekerasan yang yang sudah di festival kan sedemikian rupa sebetulnya kampus sebagai bagian dari civil society sebagian dari aktor pro-demokrasi. Sudah saatnya untuk menjadi bagian dari faktor-faktor yang dapat mendorong pembangunan demokrasi yang deliberatif yang pro lingkungan/demokrasi yang pro manusia dan sebaliknya demokrasi yang bisa menghukum gelagat oligarki yang bisa merusak tatanan ekosistem budaya, sistem pemerintahan, sistem sosial dan ekosistem ekologi.
Kita semua harus bertempur untuk tidak membiarkan omnibuslaw sebagai senjata orang super kaya atau super rich (The weapon of the Wealthy) agar dampak merusaknya dapat dicegah. Saya kira itu refleksi yang bisa saya sampaikan dan semoga kita terus mau mendiskusikannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.