Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Supadilah

Pengalaman Berbagi dan Peduli Kepada Suku Anak Dalam (SAD) Jambi

Eduaksi | Sunday, 12 Jun 2022, 10:37 WIB

Provinsi Jambi memiliki masyarakat adat yaitu Suku Anak Dalam (SAD) atau dikenal juga dengan Orang Rimba. Suku Anak Dalam banyak mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Tradisi mereka hidup berpindah-pindah tempat atau nomaden. Jadi mereka tersebar di berbagai daerah. Aktivitas mereka sering datang ke rumah warga atau mendekati ladang masyarakat.

Ada kebiasaan unik yang dilakukan Orang Rimba. Pada saat lebaran mereka datang ke rumah-rumah. Mereka ikut berpartisipasi dalam momen Idul Fitri. Pada umumnya mereka datang untuk meminta makanan. Kadang mereka datang sendirian kadang bergerombol. Warga biasanya sudah maklum kalau ada Suku Anak Dalam datang saat lebaran pasti mau minta makanan. Menu kue lebaran itulah yang diberikan kepada orang rimba itu. Kadang diberikan pula uang ala kadarnya.

Saat mudik lebaran ke Jambi kemarin saya mendapatkan pengalaman ini. Aa satu Suku Anak Dalam datang ke rumah. Jarak rumah saya cukup jauh dari pusat kota. Jadi masih banyak Suku Anak Dalam di sana.

Kata ibu Suku Anak Dalam ini sudah sering datang ke rumah. Pernah juga minta uang untuk beli obat katanya sakit punggung. Saat kami di rumah orang rimba ini beberapa kali datang lagi.

Kedatangan pertama dia minta kue lebaran. Lalu diambilkan menggunakan plastik. Setelah mengucapkan terima kasih dia pun pamit. Kedatangan yang kedua sudah bukan lebaran lagi. Dia minta rambutan. Kebetulan sedang berbuah banyak. Dia bilang minta rambutan untuk dia dan keluarganya.

Saya mengambil galah. Mengambilkannya beberapa ikat rambutan. Setelah cukup banyak saya berikan. Suku Anak Dalam punya bahasa sendiri. Namun, mereka juga bisa Bahasa Indonesia.

"Sudah belum, Pak? Atau mau lagi?" tanyaku pada beliau.

"Yo kalau dikasih lagi aku terimo. Aku punyo banyak anak banyak cucu. Suko nian rambutan," katanya.

Berbincang dengan Pak Manggo (sumber foto: dokumen pribadi)

Saat itu saya sama anak-anak. Ada Jundi (7 tahun) dan Firaz (4 tahun). Namun mereka hanya melihat dari jauh. Mungkin takut kepada Suku Anak Dalam. Wajar kalau anak kecil takut. Saya dulu waktu kecil juga takut.

Nama beliau Pak Manggo. Lahir di daerah Kubang Ujo, Pamenang, Jambi. Seharsnya anaknya Sembilan. Namun, empat di antaranya meninggal sewakt masih bayi. Dia juga sudah punya cucu. Anak sulungnya bertani. Menanam sayuran di kebon yang mereka tinggali.

Pak Manggo juga mencari botol-botol bekas. Saat datang terakhir karung yang disandangnya hampir penuh. Saya menebak harga plastik di karung itu tidak lebih dari Rp. 20.000. Padahal, dengan itu pula beliau menafkahi keluarganya.

Katanya nanti kalau sudah penuh dijual ke Desa Mampun Baru. Perjalanan sekitar sejam dua jam dari tempat tinggalnya.

Kehidupan Suku Anak Dalam sudah semakin maju. Mereka juga banyak yang punya kendaraan. Mereka juga ada yang menjadi tentara. Pemerintah juga menyediakan rumah untuk mereka. Jadi ada yang menetap. Namun, masih banyak juga yang masih bertahan dengan sistem nomaden.

Setelah Pak Manggo pulang saya dekati anak-anak. Saya berikan penjelasan bahwa kita juga harus peduli kepada Suku Anak Dalam. Meskipun mereka berbeda dengan kita, sikap sopan juga harus tetap kita tunjukkan. Mereka juga butuh makan. Sementara penghasilan mereka kadang-kadang tidak ada. Jadi kalau kita punya makanan harus mau berbagi dengan mereka. Kalau kita punya buah-buahan berikan juga kepada mereka.

“Apalagi dalam masyarakat kita ada budaya yang muda menghormati yang tua. Pak Manggo tadi lebih tua dari kita. Jadi kita harus menghormati dia,” kata saya.

Apalagi kondisinya dia punya banyak keluarga. Penghasilan mereka tidak menentu. Kalau kita punya kesempatan ke lapangan rezeki, tidak ada salahnya berbagi dengan mereka. Mereka juga manusia maka kita juga harus menghormatinya selama tidak mengganggu atau merusak lingkungan kita. Inilah perwujudan nilai-nilai Pancasila terutama sila kedua yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Kalau kita bisa, bantu mereka. Tunjukkan kepedulian kepada mereka dengan berbagi yang kita bisa. Bisa dengan hal yang sederhana misalnya memberikan botol bekas kepada mereka.

Pengalaman berkesan ini akan terekam dalam memori ingatan anak-anak. Apalagi pengalaman ini jarang terjadi. Tidak setiap hari atau setiap tahun mereka bertemu Suku Anak Dalam. Pendekatan bukan lewat pendidikan formal justru bisa lebih berdampak. Usia anak-anak merupakan waktu yang tepat menanam karakter baik. Seperti kata pepatah belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Belajar sesudah dewasa bagai mengukir di atas air.

Berikan pula penjelasan dari apa yang kita ajarkan. Meskipun mereka masih kecil, jangan berpikir kalau mereka tidak memahami. Otak anak-anak juga punya kemampuan merekam berbagai peristiwa.

Kita juga punya Pancasila yang mengajarkan untuk menghargai kemanusiaan. Setiap 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila bisa menjadi waktu yang tepat mengajarkan karakter-karakter baik. Internet menyatukan Indonesia sebagai layanan IndiHome dari Telkom Group memberikan inspirasi kepada kami untuk menumbuhkan kecintaan terhadap Pancasila.

Daerah kami merupakan wilayah tujuan transmigrasi. Cukup lama daerah kami bertranformasi menjadi daerah yang maju. Saat ini kondisi kami jauh lebih baik dari kondisi yang dulu. Dengan internet menyatukan Indonesia kami perlahan menyongsong kehidupan lebih baik. Dengan kondisi terpencil itulah amat wajar kalau kami dekat dengan Suku Anak Dalam yang erat dengan wilayah pedesaan.

Banyak hal unik yang terjadi dalam kehidupan. Jika dulu orang tua saya dari Jawa merantau ke Sumatra, sekarang sayalah yang dari Sumatra merantau ke Jawa. Kami memang terpisah. Namun sekarang jarak bukan hal yang berarti. Dengan kemajuan teknologi dan internet menyatukan Indonesia meskipun terpisah jauh tetap bisa bersilaturahmi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image