Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lathifa Drupadi

Kurikulum Angkatan Corona: Andai Pandemi Pergi

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 23:02 WIB
Soal PJJ, Pengamat: Segera Tingkatkan Kemampuan Guru | Republika Online" />
Soal PJJ, Pengamat: Segera Tingkatkan Kemampuan Guru | Republika Online

Andai pandemi pergi. Sebuah pagebluk datang tanpa permisi yang melanda negeri kita tercinta. Berbagai lara tercipta dalam kata, mewakili jiwa-jiwa yang menderita. Hingga tahun 2021 menyapa, kisah pandemi belum bisa diakhiri dengan tuntas. Pemimpi-pemimpi terkarantina, segalanya jadi wacana, mematahkan harapan pelajar seperti aku yang tengah mengenyam pendidikan.

Andai pandemi pergi. Satu kalimat yang pada awalnya muncul ke permukaan kepala ketika aku gagal. Lalu, siapa yang harus disalahkan? Pemerintah? Tuhan? Tentu virus Corona akan menertawai aku ketika melihat pemuda cemerlang harapan bangsa ternyata adalah pesimis yang mudah.

Andai pandemi pergi. Lagi-lagi kuratapi status sebagai anak milenial. Terombang-ambing di atas ombak peradaban, memaksa untuk berlari mengejar majunya teknologi, bersimbah janji dan maki dari diri. Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku bertanya dalam diam. Memandangi layar seharian, bahkan soal pilihan ganda membawaku pada memori bersama teman. Pandemi menantang kita untuk menyelesaikan ceritanya.

Tidak, bukan menyelesaikan. Lebih tepatnya, bertahan. Pandemi ini pergi? Yang benar saja. Jika aku adalah aku yang Maret 2020 lalu, mungkin masih optimis bila Corona akan tunduk kepada manusia lalu menghilang dari bumi. Akan tetapi, aku yang September 2021 sekarang sudah berbeda. Pasti aku akan menertawai aku sendiri sebab bermimpi bak pungguk merindukan bulan.

Realitanya, pandemi memberitahu semua tentang rahasia Tuhan dan rahasia kehidupan yang selama ini kita sepelekan. Termasuk soal kebersihan dan ketaqwaan kita untuk mendekat kepada Tuhan. Alam yang marah memberi peringatan kepada manusia untuk menegaskan siapa penguasa dunia yang sesungguhnya.

Andai pandemi pergi. Tidak hanya fisik, tetapi mental kami telah diserang. Pada awalnya semua berpikiran sama. Namun, setelah episode sandiwara ini berjalan, kami menyimpulkan bahwa mengandai-andai adalah sia-sia. Percuma mengharapkan hari kebebasan. Kami sudah terbuai dalam karantina, membiarkan langkah ini berjalan tanpa arah, hingga kami kehilangan diri kami sendiri. Seantero jagad teradu domba, menyisakan hasil hiruk pikuk tak pasti dihadapan anak-anak yang butuh kepastian.

Andai pandemi pergi. Bahkan, anak-anak sekolah dasar banyak sekali yang belum bisa membaca, mereka lupa dengan amanah pahlawan, meletakkan kewajibannya karena rayuan ponselnya lebih menggiurkan daripada rayuan pulau kelapa. Satu-satunya hal yang tidak bisa diajarkan dari pembelajaran jarak jauh adalah mental dan karakter. Positif Corona atau positif bodoh, suatu pilihan sulit yang membuat aku berpikir keras. Bagaimana cara guru menilai tabiat murid selama pandemi? Kejujuran tidak bisa dilihat dengan kasat mata apalagi jarak jauh, yang bisa dilihat adalah nilai. Betapa kasihannya pemegang teguh kejujuran di masa pandemi. Mereka terpaksa mengkhianati prinsipnya sendiri, bertarung dengan curang, pandemi telah membuat kita memanen banyak dosa.

Andai pandemi pergi. Aku sudah bangkit dari sudut pandang itu. Kalimat utopis yang hanya akan membuatku tertunduk dan membunuh mimpiku sendiri. Masih ada tugas sekolah yang belum kuselesaikan. Masih ada Sumpah Pemuda yang belum kutepati. Pandemi pernah menyakitiku? Ya, pernah! Namun, sekarang rasa sakit itu sudah tidak terasa. Yang ada hanyalah peluang dan kesempatan. Manusia peradaban maju diminta untuk mencari strategi baru. Sejak dini yang berstatus pelajar, kami diminta untuk memilih jalan hidup. Pandemi sudah berjalan lebih dari tiga ratus enam puluh lima hari.

Tidak perlu kuungkit lagi ‘andai pandemi pergi’. Untuk kesekian kali aku memikirkannya, hatiku sebagai anak Indonesia tetap saja akan berakhir sakit hati. Dan aku tidak akan menyiksaku dengan stereotip yang membawaku pada penyesalan. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang saatnya bangkit, kembali mengukir prestasi di nabastala jenggala Indonesia yang tertutup kabut. Indonesia tangguh Indonesia tumbuh. Cukup merenungnya, ada banyak hal indah hadiah dari Tuhan yang menunggu. Pandemi bukan lagi alasan atau rintangan.

Kuucapkan kalimat ini untuk diriku yang lalu. Yang pernah putus asa. Yang pernah terpuruk. Yang pernah terjerumus dalam kegelapan inti kehidupan.

Andai pandemi pergi. Maka aku tidak akan menuliskan hal ini. Akan tetapi, pandemi menunjukkanku bahwa aku harus lebih menghargai kesempatan, bukan hanya berandai-andai. Pandemi mengajarkan umat manusia banyak hal. Positif maupun negatif, kehadirannya melahirkan angkatan Corona yang penuh warna. Khawatir dan simpati dengan anak-anak Indonesia? Ah, sepertinya aku tidak bisa menyumpahi takdir dan berlagak bijak melalui tulisan saja. Aku harus mewujudkannya. Generasi tangguh yang tumbuh di era digital selama musim pandemi.

Suatu hari nanti,

“Ibu, dulu sahabatnya ibu waktu masih sekolah siapa?”

“Ah, sahabat ibu dulu adalah Corona. Dia sangat setia, bahkan mengajarkan dan menunjukkan ibu arti kehidupan yang sebenarnya. Sahabat yang tak akan pernah ibu lupakan.”

Nantinya, opini-opini para pemimpi akan melambung tinggi. Kini, kami akan menghadapi target ibu pertiwi untuk merayakan seratus tahun Indonesia, di 2045 nanti. Andai pandemi pergi. Maka aku tidak akan menemukan bakatku. Maka aku tidak akan tau betapa pentingnya mencuci tangan. Maka aku tidak akan tau rasanya permintaan ‘libur panjang’ benar-benar dikabulkan oleh Tuhan. Sekarang, aku sedang mencari sisi positif dari pandemi, sudah ada banyak orang yang membahas penyesalan, kebencian, konflik batin, dan hal negatif pandemi. Jika pandemi memiliki berjuta alasan untuk menyerah dan membenci negeri ini, maka akan kucari miliaran alasan untuk kembali bangkit dan jatuh cinta kepada Indonesia. Percuma mencari siapa yang salah, sekarang waktunya menjadi yang benar.

Saatnya bersiap-siap menyambut dirgahayu tanah air yang ke tujuh puluh tujuh. Dan tentunya tak lupa, menyambut notifikasi tugas sekolah online. Lihat, kan, berandai-andai tidak bisa mengehentikan suara notifikasi sekolah online. Indonesia butuh aksi nyata, bukan khayalan maupun andai-andai semata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image