Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ramadani Wahyu Nurhidayah

Andai Pandemi Berlalu, Apakah Kematian Nakes Hanya Sepintas Lalu?

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 21:30 WIB
Petugas kesehatan menggunakan alat pelindung diri (APD) memasukan jenazah dengan protokol Covid-19 ke dalam ambulans di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin (RSHS), Kota Bandung, Ahad (13/6).

Pandemi virus corona baru (COVID-19) mendatangkan banyak pembelajaran. Terutama arti pentingnya penyiapan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan ketahanan dan kesehatan bangsa. Bagaimana tidak, jumlah tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal imbas COVID-19 nyaris menembus dua ribu jiwa. Bahkan, angka kematian tersebut menduduki peringkat tertinggi di Asia dan ketiga terbesar di dunia.

Ketua Tim Mitigasi Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi mengatakan keprihatinannya terhadap profesi tenaga kesehatan yang menyumbang angka kematian yang tinggi. "Sampai Agustus 2021 ada 1.700 tenaga kesehatan meninggal dalam musim pandemi ini. Sebanyak 640 di antaranya dokter yang meninggal," katanya dinukil dari Republika.co.id dalam pernyataannya Selasa, 17 Agustus 2021.

Adapun rinciannya terdiri atas 401 dokter, 150 bidan, 315 perawat, 25 tenaga laboratorium, dan 43 dokter gigi, serta 15 apoteker. “Ini kondisi yang mengkhawatirkan, jauh lebih buruk dari kondisi di Januari,” imbuhnya.

Bahkan, mental yang dibentuk dari para kalangan tenaga kesehatan sayangnya tak cukup mampu mengatasi trauma merasa kalah di tengah puncaknya kasus COVID-19, per Juni-Junli lalu.

Lantas, apa yang bisa kita dan pemerintah bayar untuk nasib pahlawan garda terdepan COVID-19 di masa mendatang? Akankah seiring berlalunya pandemi kita akan melupakan jasa mereka?

Beberapa solusi telah diupayakan oleh pemerintah, termasuk pemberian insentif bagi tenaga kesehatan sebagai pahlawan kesehatan, hingga prioritas vaksinasi COVID-19. Namun, hal yang tak kalah penting yakni investasi sumber daya tenaga kesehatan jangka panjang.

Kematian tenaga kesehatan, kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama menjadikan beban kerja menjadi semakin tinggi. Untuk itu, diperlukan reka ulang manajemen SDM yang matang, termasuk pengaturan jam kerja, ruang istirahat, makanan yang cukup dan kesejahteraan yang memadai.

“Caranya mulai dari jaminan kebersihan dengan desinfektan khususnya permukaan tempat dan alat kerja, tersediannya ventilasi yang menjamin pertukaran udara dengan baik dan kalau mungkin ruangan dengan tekanan negatif,” ujarnya dikutip Republika.co.id, Selasa, 10 Agustus 2021.

Kebijakan tersebut efektif dalam jangka waktu pendek. Namun, hal yang paling krusial yakni kebijakan jangka panjang, termasuk di dalamnya penyiapan SDM melalui pendidikan kesehatan.

Apalah daya, cita-cita dan pekerjaan mulia para tenaga kesehatan tak sebanding dengan biaya pendidikan kesehatan yang masih mahal. Misalnya, penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Diponegoro mengacu Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 149/UN7.P/HK/2020 tertanggal 26 Februari 2020 untuk Program Studi Kedokteran ditetapkan Rp 22 juta. Senada, UKT Universitas Brawijaya Program Studi Kedokteran ditetapkan Rp 23.450.000.

Ketua Umum PB IDI, dr Daeng M Faqih menilai masih banyak permasalahan pendidikan kedokteran di Indonesia yang harus diselesaikan. “Tentu sangat ironis bang bangsa. Ada sumber daya manusia yang pintar dan berkualitas, namun terhalang hanya karena biaya. Persoalan seperti ini harus segera mendapat perhatian,” ujarnya dinukil Republika.co.id, Rabu, 9 Juni 2021.

Biaya pendidikan kesehatan memang mahal mengingat beragam biaya operasional praktik hingga pendidikan profesi yang harus ditempuh. Namun, bukan berarti pemerintah tak bisa memastikan keberpihakannya terhadap pendidikan kesehatan.

Politik anggaran pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada pendidikan kesehatan. Pemerintah perlu banyak memberikan beasiswa untuk para nakes. Bahkan kalau perlu, pendidikan dokter pun seharusnya dikelola dan diseleksi oleh negara—menjadi ASN. Jadi, hal yang paling diperhatikan bukan lagi soal kemampuan finansial tapi kompetensi. Ini sebagai wujud konkret pemerintah dalam daya dukung kesehatan dan ketahanan bangsa.

Dengan cara demikian pula, pemerintah menjamin pendistribusian dokter yang kurang merata di daerah. Sehingga tak ada lagi persoalan ketimpangan jumlah dokter di pusat dan daerah terpencil. Sebagaimana idealnya, dokter dalam memberikan pelayanan dengan perbandingan 1: 1000. Namun sayangnya, menurut WHO, di Indonesia angka rasio dokter dan penduduk yaitu 4: 10000. Itu artinya, hanya ada 4 dokter untuk melayani 10000 penduduk.

#lomba menulis opini

#lombamenulisopini

#retizen

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image