Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amir Mahmud Hatami

Meredam Euforia Endemi

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 18:13 WIB
cottonbro from Pexels" />
Photo by cottonbro from Pexels

Setiap orang sudah tentu memiliki harapan agar pandemi usai. Berbagai daya dan upaya terus menerus dilakukan dengan ragam cara; dari doa, hingga urunan harta benda. Apapun dilakukan demi memulihkan kondisi seperti semula, di saat Covid-19 belum singgah. Siapa yang betah di koyak-koyak pandemi?

Virus influenza seperti Covid-19 memang bukan pertama kali terjadi di dunia, dalam artikel berjudul ‘Mengulas Riwayat Pandemi Dunia’ yang sempat penulis baca. Tercatat bahwa kasus pandemi di era modern sudah terjadi tiga kali (menurut kriteria dari WHO), yakni: Flu Spanyol pada 1918-1919, H1N1 pada 2009-2010, dan Covid-19 pada 2019-sekarang (Media Aesculapius, 30/3/2020).

Meski belum dapat dipastikan kapan pandemi berakhir, sebab Covid-19 tidak mudah mati dengan sendirinya. Bahkan dapat berkembang biak, mereplika diri dan bermutasi. Oleh karena itu, tidak ada istilah ‘biarkan waktu yang menjawab’, semua tergantung dari kedisipilinan kita menerapkan protokol kesehatan dan menahan ego. Namun, jikalau pandemi berlalu, bukan berarti kita dapat kembali bertemu tanpa alat bantu, karena status baru akan berlaku.

Dilansir dari publikasi WHO bertajuk ‘Influenza Pandemic Plan. The Role of WHO and Guidelines for National and Regional Planning’ pada Maret 1999, sebuah virus dapat di kategorikan sebagai pandemi jika telah terbukti mewabah dibeberapa negara, dengan pola penyakit yang konsisten menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas yang serius kemungkinan besar terjadi pada setidaknya satu segmen dari populasi.

Pandemi akan berakhir jika setiap negara mampu menurunkan tingkat kasus positif, tersedianya sumber daya kesehatan dan meratanya pemberian dosis vaksin yang telah ditentukan kepada seluruh masyarakat di berbagai negara. Oleh karena itu, tanggung jawab bersama antar negara merupakan kunci agar transisi menuju epidemi bukan lagi sebuah mimpi. Dan, yang tidak kalah penting dalam mencapai keberhasilan, yakni keseriusan pemerintah dan masyarakat (faktor internal).

Pemerintah Indonesia yang mau berkaca dari riwayat suram masa lalu, di mana setengah hati dalam menangani Covid-19. Kembali bebenah diri dengan membuat kebijakan ketat, yakni Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kebijakan PPKM pemerintah tersebut dinilai berhasil oleh banyak pihak dalam menurunkan angka kasus positif. Dibuktikan dengan turunnya level PPKM dari empat menjadi tiga, dari tiga menjadi dua di beberapa wilayah Jawa-Bali. Ditambah, pemberian dosis vaksin yang terus digencarkan oleh pemerintah kepada seluruh masyarakat.

Pencapaian tersebut mungkin tidak dapat terjadi jika tanpa bantuan dari masyarakat, berupa: ketaatan menjalankan protokol kesehatan, penggalangan dana, sumbangan ide-ide dan lain sebagainya. Selain itu, bantuan alat kesehatan dari negara lain seperti: Jepang, Singapura, Uni Emirat Arab, China, Amerika Serikat, dan Australia juga sangat berpengaruh.

Habis Pandemi Tinggal Endemi?

Proses epidemi bertransisi menjadi endemi diperlukan sumber daya yang cukup untuk mengantisipasi lonjakan kasus positif (positive rate), yakni dengan menyediakan sistem pelayanan kesehatan yang memadai. Meski masyarakat sudah mendapatkan dosis vaksin, hal tersebut tetap menjadi syarat agar penularan dapat terdeteksi, dan tenaga kesehatan tidak lagi keteteran menghadapi pasien akibat kurangnya alat kesehatan.

Kabar yang tersiar perihal Indonesia yang akan melewati fase epidemi, tidak hanya membuat negara lain tercengang. Melainkan juga beberapa Epidemiolog dan penulis. Dalam euforia menyambut endemi, penulis sejalan dengan Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman. Dicky menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh sesumbar dengan melewati fase epidemi. Ia juga menambahkan bahwa endemi merupakan kondisi di mana virus tidak lagi membahayakan karena terbiasa terjadi (Republika.co.id, 10/9/2021).

Pemerintah dan masyarakat harus tersadar bahwa Covid-19 dapat bermutasi seperti yang terjadi dibeberapa negara, yaitu: Inggris (varian Mu), India (varian Delta), dan lain sebagainya. Status endemi yang digaungkan oleh pemerintah terkesan tergesa-gesa. Jika status endemi hanya sekedar untuk menumbuhkan optimisme saja, sudah menjadi sebuah keharusan pemerintah untuk fokus mengendalikan Covid-19, vokal dalam sidang internasional agar negara terdampak dapat menerima bantuan dan mengevaluasi ulang skema transisi agar mencapai goals yang diharapkan, endemi.

Sudah saatnya semua lapisan masyarakat mulai bersandar pada pendapat para ahli, merujuk riwayat pandemi dan analisis ilmiah, ketimbang mengedepankan euforia menyambut minggatnya Covid-19, yang tidak menutup kemungkinan akan kembali menjadi bom waktu.

Sebagai penutup, Dalam memasuki fase berikutnya (Epidemi) seluruh masyarakat tidak boleh abai menjalankan protokol kesehatan. Juga tidak luput, merujuk pada tren post-truth di mana masyarakat di hadapkan dengan kebimbangan mengenai mana yang objektif, mana yang bohong. Untuk itu pemerintah, akademisi, dan sebagainya dituntut agar istiqomah memenuhi beranda-beranda akun media sosial setiap masyarakat dengan konten-konten edukasi yang ramah (disesuaikan dengan permintaan masyarakat).

Terakhir, penulis dan kebanyakan orang berkeyakinan bahwa dengan menumbuhkan sikap saling percaya antar anak bangsa...terciptanya relasi positif berupa ‘gotong-royong’ tidak dapat terelakkan. Dari situ, bangsa Indonesia akan memiliki ruhnya kembali untuk melanjutkan membangun peradaban bangsa dan juga mengalahkan setiap musuh (Imperialisme dan Kolonialisme), bahkan yang terganas sekalipun (Covid-19).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image