Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Marhamatul Azizah

Andai COVID19 Berlalu, Akankah Indonesia Siap dengan Pandemi Selanjutnya?

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 11:57 WIB

“Kita telah berinvestasi banyak untuk sistem penanganan nuklir, namun sedikit sekali investasi untuk sistem penanganan epidemi. Kita tidak siap untuk epidemi selanjutnya,” begitu yang dikatakan oleh Bill Gates dalam suatu konferensi 6 tahun lalu pasca terjadinya epidemi Ebola. Banyak penganut teori konspirasi menduga Bill Gates adalah dalang dari pandemi COVID19 karena ucapannya bertahun yang lalu sangat “kebetulan” dengan apa yang terjadi saat ini. Padahal, harus dipahami bahwa resiko munculnya wabah penyakit, baik dalam skala lokal hingga global akan selalu ada seiring dengan berkembangnya populasi serta kondisi kesehatan masyarakat yang selalu dinamis.

Tak dipungkiri, Indonesia memang tidak siap menghadapi pandemi COVID19 ketika kasus pertama muncul tahun lalu. Kebijakan yang selalu berubah, data yang simpang siur hingga hoax yang terus bertebaran telah meningkatkan fatalitas pandemi yang pada dasarnya bisa dikendalikan apabila terdapat sistem respons yang terpadu. Banyak di antara para pembaca mungkin mengenal satu, dua hingga lebih dari mereka yang gugur akibat penyakit COVID19 dan merasa bahwa hal tersebut bisa saja dicegah. Kita berduka akibat kelalaian yang terjadi. Namun, ini bukan saatnya untuk pointing finger dan saling menyalahkan. Justru, dalam keadaan terpuruk sekalipun, kita dapat bangkit dan berupaya untuk menciptakan solusi yang konstruktif. Lantas, haruskah kita berbahagia dengan berakhirnya pandemi COVID19? Berbahagia boleh saja, tetapi ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan berbagai hal yang mesti dibenahi.

Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa Indonesia belum memiliki sistem penanganan epidemi atau pandemi yang efektif. Seperti yang dipaparkan oleh Bill Gates, bahwa kegagalan global dalam menangani epidemi adalah bukan karena sistem yang telah ada belum bekerja dengan baik. Masalahnya adalah kita belum memiliki sistem penanganan sama sekali. Sehingga, ketika suatu epidemi muncul, tidak ada sistem cepat tanggap yang dapat mencegah terjadinya penyebaran secara cepat dan meluas serta sistem untuk meminimalkan jumlah korban.

Adanya COVID19 menjadi lecutan untuk pemerintah dan lembaga vital seperti Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam merumuskan dan merampungkan sistem terpadu dalam penanganan bencana non-alam seperti epidemi atau pandemi. Telah lewat satu tahun dari munculnya kasus pertama COVID19 di Indonesia, negara baru merumuskan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) Sistem Penanggulangan Bencana Epidemi yang telah memasuki diskusi kedelapan dan telah menghasilkan draf RSNI 1. Rancangan tersebut direncanakan akan ditetapkan menjadi SNI pada Oktober 2021. Meski sedikit terlambat, namun tidak apa-apa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Sistem yang dibuat harus mencakup beberapa langkah dasar yang harus dipersiapkan dan dapat dipergunakan sewaktu-waktu, mulai dari prosedur karantina, tersedianya para ahli, tenaga kesehatan, sistematika penanganan pada fasilitas kesehatan, hingga metode pengembangan riset yang harus selalu up-to-date. Sistem ini harus efektif dan ready-to-go, karena epidemi ataupun pandemi tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi.

Selain dari pihak pembuat sistem dan kebijakan, masyarakat umum juga harus di edukasi terkait penerapan sistem penanggulangan epidemi atau pandemi. Beberapa hal penting yang harus di edukasi kepada masyarakat adalah kerjasama dalam mengimplementasikan karantina, pembatasan aktivitas fisik, hingga penerapan sanitasi yang baik. Edukasi kepada masyarakat sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat.

Indonesia dapat dikatakan masih minim akan edukasi sanitasi dan kebersihan, terutama dalam etika batuk dan bersin. Hal ini dapat diamati pada angka kejadian influenza di Indonesia yang masih tinggi. Jika ada satu orang yang bersin dalam suatu ruangan, kemungkinan besar mereka yang ada di ruangan tersebut juga akan terkena influenza. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya kesadaran masyarakat akan etika batuk dan bersin. Jujur saja, pembaca mungkin pernah bersin atau batuk tanpa menutup hidung dan mulut. Meski sepele, namun hal kecil seperti itu yang justru dapat merugikan banyak pihak. Bagi mereka yang memiliki sistem pertahanan tubuh yang baik, influenza maupun COVID19 memang hanya menyebabkan gejala ringan seperti demam, flu, batuk, atau sekadar sakit tenggorokan dan hilang indra penciuman. Tetapi, virus tersebut bisa menjadi ancaman serius terhadap mereka yang memiliki gangguan imunitas dan komplikasi penyakit lainnya.

Hal lain yang juga penting dalam sistem penanggulangan epidemi adalah mobilitas logistik dan penyebaran informasi. Oleh karena itu, media dan militer juga memiliki peranan penting dalam menangani suatu epidemi. Hal ini dilandaskan pada fakta bahwa militer adalah sistem pertahanan negara yang berfungsi sebagai penindak terhadap setiap bentuk ancaman, seperti yang tertuang pada UU No. 34 Tahun 2004. Bukankah bakteri atau virus penyebab epidemi merupakan ancaman yang nyata terhadap stabilitas negara? Bill Gates bahkan berkata bahwa jangan hanya perang senjata yang ditangani militer dan di-simulasikan, namun perang melawan bakteri atau virus berbahaya juga harus dibuat simulasinya. Karena seperti bencana-bencana lain, epidemi atau pandemi memerlukan upaya evakuasi yang harus segera serta kesigapan mobilitas dalam upaya mencegah kerugian yang lebih besar. Sama halnya dengan tugas media, informasi terkait epidemi dan pandemi harus divalidasi sebelum disebarluaskan. Perang melawan hoax juga harus terus dilakukan supaya masyarakat tidak mis-informasi.

Pandemi COVID19 telah terjadi dan mengakibatkan banyak kerugian. Mungkin, COVID19 muncul untuk membuat kita sadar akan ancaman yang tak terlihat. Momen ini harus membuat semua pihak belajar, karena tidak ada kata kegagalan dalam menangani epidemi selanjutnya. Cukuplah COVID19 yang menjadi contoh kegagalan dalam penanganan pandemi. Jangan sampai Indonesia gagal dalam menangani epidemi dan pandemi di masa mendatang.

Sumber gambar: Republika.co.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image