Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jihan Nanda

Menanti Runtuhnya Era Corona

Lomba | Friday, 24 Sep 2021, 19:29 WIB

2020, deret angka yang cantik, bukan? Namun, siapa yang mengira dibalik angka tersebut terdapat cikal bakal kesengsaraan masyarakat di seluruh dunia. Kedatangannya diluar imajinasi, tak kasat mata namun keberadaannya membuat ngeri. Benar, Covid-19. Berawal dari Wuhan, China hingga menyebar ke penjuru dunia. Membawa malapetaka, mengambil angan yang terencana, hingga ribuan jiwa melayang karenanya.

Mengapa demikian? Karena keganasannya, Pemerintah mengambil suatu tindakan berupa kebijakan guna memutus rantai penularan Covid-19. Kebijakan utamanya yaitu memprioritaskan kesehatan dan keselamatan rakyat dengan memberhentikan seluruh aktivitas masyarakat. Peristiwa-peristiwa yang belum pernah dan terpikirkan akan terjadi oleh banyak orang. Seperti halnya lockdown kota dan PSBB. Kebijakan-kebijakan tersebut membawa dampak seperti penutupan kantor, sekolah, tempat wisata, hingga mall dan tempat beribadah. Tentunya kebijakan tersebut tidak berjalan mulus begitu saja. Banyak sekali aksi demo atau penolakan yang dilakukan masyarakat. Namun, lambat laun keganasan pandemi membuat mereka sadar. Berita mengenai ribuan nyawa yang melayang serta ratusan orang yang terserang seakan menjadi santapan yang wajar. Setiap hari, tidak pernah berhenti, dan pasti selalu ada. Yang awalnya mengira jika berita tersebut hanya manipulasi semata, kini menjadi percaya karena orang terdekatnya atau bahkan dirinya sendiri merasakan Sang Tak Kasat Mata.

Mari kita bahas mengenai dampak kebijakan yang diciptakan karena adanya pandemi ini. Contoh nyata yang terjadi saat ini yaitu korban PHK. Ribuan karyawan terpaksa di-PHK karena terhentinya kegiatan perekonomian saat pandemi terjadi. Tak heran jika angka pengangguran kian melonjak hingga beberapa persen. Hal ini diungkapkan oleh Ekonom senior Indef Didik J Rachbini bahwa terdapat pengangguran tambahan sebesar 1,1 juta orang sebagai akibat Covid-19 dan sekitar 2,6 juta orang angkatan kerja baru yang tidak terserap sehingga tambahan pengangguran totalnya tahun 2021 sebesar 3,6 juta orang. Karyawan yang dirumahkan juga tak kalah banyaknya. Bahkan masih ada yang belum menerima gaji setelah beberapa bulan lamanya dengan dalih tidak ada pemasukan karena terhentinya kegiatan produksi di perusahaannya. Hal itu membuat sebagian besar dari mereka putus asa dan bingung memikirkan kelangsungan hidup keluarga. Beruntung yang masih bisa mendapat pekerjaan baru lagi. Sedangkan sisanya? Selama mungkin mencoba untuk bertahan diri.

Beralih ke lingkup keluarga. Di luar negeri tercatat jika kasus perceraian melonjak tinggi di kala pandemi. Seperti di Amerika Serikat, jumlah orang yang ingin bercerai adalah 34 persen lebih tinggi dari Maret hingga Juni dibandingkan dengan 2019, menurut data baru dari sebuah perusahaan yang menyediakan dokumen hukum di Amerika Serikat, demikian dikutip dari laman Fox News. Bisakah kalian bayangkan? Betapa ikut andilnya pandemi Covid-19 ini sebagai antagonis yang merenggut keharmonisan banyak orang.

Mari kita balik halaman berikutnya dan membahas tentang penutupan sekolah. Percayalah, saat kebijakan ini pertama kali ada, sebagian besar siswa sangat senang dan merayakannya. Tetapi hal itu tidak berlaku ketika setengah jalan pembelajaran daring/online telah berlangsung. Banyak sekali siswa yang mengeluh, entah karena tugas yang ibaratnya seperti kereta api, berderet tidak ada habisnya, materi yang susah dipahami karena ketidakefisienan sistem daring, kuota yang tidak memadai saat belum adanya bantuan dari pemerintah, hingga masalah lainnya. Banyak siswa mengaku stress dan khawatir terhadap pencapaiannya karena sistem ini. Tidak hanya mengkhawatirkan tentang pendidikan mereka, banyak juga siswa yang mengkhawatirkan perekonomian keluarga mereka. Sehingga beban mereka menjadi semakin berat dan menimbulkan masalah pada kesehatan fisik juga mentalnya.

Hal ini dibuktikan dengan adanya survei penilaian cepat oleh satgas penanganan Covid-19 (BPNB 2020) bahwa 47% anak Indonesia merasa bosan di rumah, 35% merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 10% merasa tidak aman, 20% merindukan teman-temannya, dan 10% khawatir dengan perekonomian keluarganya. Penelitian serupa juga dipublikasikan di JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei, China serta melibatkan 2.330 anak sekolah membuktikan bahwa 22,6% dari anak-anak yang diobservasi menunjukkan gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan berlebih. Ditakutkan jika pandemi ini belum berakhir, kesehatan mental siswa akan memburuk kedepannya.

Dunia kita sedang tidak baik-baik saja. Panjatan doa terus dilakukan di setiap penjuru negeri. Berharap dan berdoa agar pandemi ini berakhir, agar semua penderitaan mendapat kebahagiannya lagi, agar roda perekonomian kembali bangkit sehingga mereka yang kehilangan pekerjaan dapat mencari nafkah kembali.

Mari bersama hadapi Sang Antagonis. Jaga diri dan selamatkan orang lain dengan masker kita. Karena dengan kerja sama dan kebersamaan, kita pasti bisa wujudkan doa dan harapan yang dipanjatkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image