Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diexy Inkha Pradana

Quo Vadis Sociale Rechtvaardigheid: Andai Pandemi Pergi, Keadilan Akan Lahir Kembali

Lomba | Friday, 24 Sep 2021, 01:28 WIB

Memperoleh dan merengkuh keadilan adalah proses sepanjang masa. Ya, keadilan adalah problematika serta pergulatan abadi kita sebagai manusia. Keadilan begitu didambakan, tetapi hampir tak pernah terpenuhi sepenuhnya. Ia begitu didambakan, tetapi tak pernah terengkuh seutuhnya. Keadilan adalah tanda tanya.

Quo vadis, iustitia? Kita seringkali mempertanyakan kemana perginya keadilan sebagai hakikat fundamen dan hak yang mesti kita peroleh sebagai manusia dalam kehidupan, pun dalam kehidupan kita menghadapi pandemi. Adakalanya kita merasa keadilan adalah barang mahal dan utopia semata di tengah pandemi seperti yang kita alami sejak Maret 2020 hingga hari ini.

Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis

Keadilan merupakan problematika dan pergulatan abadi manusia, baik secara teoritis maupun praksis. Filsuf Plato pada lebih dari dua ribu tahun lalu, melihat keadilan sebagai sebuah bentuk harmoni dalam tataran kolektif maupun individual. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang bekerja sesuai dengan fungsi sosialnya dalam proses penjaminan kesejahteraan bersama dan utama. Pun individu yang sehat diibaratkan seperti masyarakat yang adil, di mana semua organ tubuhnya berfungsi sesuai dengan prinsip kerjanya.

Lalu, apakah kita menemukan masyarakat yang penuh keadilan saat ini? Jika belum, dimanakah keberadaan masyarakat yang berkeadilan sosial tersebut berada di tengah pandemi COVID-19? Quo vadis sociale rechtvaardigheid?

Proses mencari keadilan inilah yang mewarnai dinamika kehidupan manusia. Rasa keadilan diinjak oleh gerak rupiah dan banyaknya tindak pidana korupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan bangsa kita masih dinaungi paradigma lama dan jauh dari konteks keadilan yang paripurna.

Jelas kita sebagai manusia dan bangsa membutuhkan perubahan paradigma mengenai keadilan. Kita memerlukan perspektif baru dalam melihat keadilan dan dunia, yang mungkin sebelumnya tak pernah terpikirkan. Hanya dengan begitulah, kita akan mampu melihat masalah sebagai masalah, dan tidak mengabaikannya. Hanya dengan cara itulah, kita akan mampu melakukan tindakan nyata, guna melampaui dan menyelesaikan masalah yang ada.

Kemudian, apakah solusi yang perlu kita terapkan dalam merengkuh dan melahirkan kembali keadilan? Melahirkan prinsip egaliter atau kesetaraan di antara kita sebagai manusia adalah kunci awal untuk melahirkan kembali keadilan sosial. Kita semua adalah rahim bagi kelahirannya. Hanya saja kita perlu juga merawat keberadaannya kelak. Kita tahu bahwa menanam adalah sebuah kebaikan. Namun, menanam tanpa merawat adalah sebuah kejahatan. Pun sama halnya, ketika kita ingin mewujudkan dan melahirkan kembali keadilan, tanpa merawat prosesnya, kejahatanlah yang akan lahir dalam bungkus keadilan.

Kita bisa melahirkannya disini, di dunia, selama kita teguh dan berjuang untuk mewujudkan kehidupan yang serba setara tanpa ada perbedaan dalam menghadapi semua dinamika kehidupan. Mendorong terciptanya prinsip meritokrasi adalah kunci utama demi melahirkan kesejahteraan bersama. Meskipun keadilan adalah bentuk paling faktual dari kontingensi hidup manusia, ia adalah bentuk nyata dari impian manusia. Manusia hanya bisa berharap, tanpa mendapatkan kepastian kapan untuk bisa memperoleh keadilan tersebut. Manusia hanya perlu menantikannya dengan riang. Manusia juga perlu menanggapi dan menunggu kedatangannya dengan kegembiraan dan perayaan.

Kita pun sebagai manusia dilengkapi dengan akal budi sejak lahir dan kita memiliki tugas untuk memaksimalkan akal budi tersebut di dalam kehidupan, termasuk dalam bagaimana cara kita bisa merengkuh makna keadilan. Kuncinya adalah kita perlu belajar dan berelasi dengan manusia lain, supaya kita berkembang sebagai manusia dan memahami hakikat keadilan dari manusia lain. Kita perlu mendengar, agar kita mampu memaknai adil secara kolektif dan kolegial. Jika hal ini diterapkan, maka keadilan tidak akan hanya sebatas retorika belaka. Hal ini akan bekerja sebagai "vaksin" atas hilangnya makna keadilan di tengah pandemi COVID-19. Kolaborasi dan sinergi yang baik dalam bingkai komunikasi antar individu adalah obat dan sekaligus kunci.

Di bawah tekanan pandemi yang seringkali membuat kita berpikir dangkal dan teknis, tekanan serta ketakutan untuk berpikir rasional dan bertindak kritis, hal ini menjadi ladang pembuktian dari kualitas kita sebagai manusia yang selalu menggaungkan makna keadilan. Kita memang perlu untuk terus mencari dan mencari makna keadilan tersebut. Namun, ada yang lebih baik dan bijak daripada itu. Keadilan bukan dicari. Keadilan tidak ditemukan di dalam buku Pengantar Ilmu Hukum maupun dalam ruang persidangan. Pertanyaan, quo vadis sociale rechtvaardigheid pada dasarnya dijawab bukan dengan mencari jawaban dalam entitas lain. Namun, dengan membuktikannya dan “melahirkannya” dari diri kita masing-masing. Keadilan adalah kita sendiri yang melahirkannya.

Pandemi adalah momentum kita untuk menjadi insan sosial yang adil, bagi diri sendiri dan bagi sesama. Selepas kepergian pandemi, keadilan haruslah dimaknai lebih kolektif dan lebih jauh lagi. Keadilan bukanlah utopia semata, namun fakta yang harus ditemukan dalam diri kita dan diperjuangkan bersama.

Pada akhirnya, kita perlu memahami bahwa keadilan bukanlah impian semata. Keadilan juga bukanlah sebuah tanda tanya belaka, melainkan sebuah makna nyata berupa tanda seru.

“Keadilan!”

Keadilan adalah kata yang mencerminkan impian dan semangat. Kita semua perlu untuk bersinergi dan bekerja sama untuk mewujudkan dan melahirkannya kembali. Keadilan adalah kita semua yang mendambakan, dan keadilan adalah kita semua yang merasakan. Andai pandemi pergi, keadilan akan lahir kembali. Pasti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image