Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aniyatul Ain

Begini Cara Islam Berantas Kekerasan Seksual

Agama | Saturday, 11 Sep 2021, 08:31 WIB

Oleh: Aniyatul Ain

(Pegiat Literasi Islam)

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), akhir-akhir ini sedang menjadi sorotan publik. Lantaran ada salah seorang pegawai KPI pusat yang diduga mendapat tindakan kekerasan seksual dan perundungan dari tujuh rekan kerjanya. KPI sebagai lembaga negara independen yang berdiri berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, juga mendapat protes keras dari publik karena meloloskan siaran televisi yang mengundang mantan narapidana kejahatan seksual yang baru bebas dari penjara.

Sebelumnya, mantan narapidana ini ketika keluar dari jeruji besi malah mendapat glorifikasi, bak pahlawan yang berjasa bagi negara. Ironis bukan? Sulit diterima akal, predator seksual malah mendapat panggung. Sontak saja masyarakat banyak mengecam stasiun TV yang mengundang SJ (terpidana kasus kekerasan seksual) dan mempertanyakan peran KPI. Mengingat kekerasan seksual masih menjadi momok yang menakutkan serta menjijikkan di negeri ini.

Protes publik sungguh memiliki dasar yang kuat, mengingat KPI lah yang diharapkan oleh masyarakat bisa menyuguhkan berita dan tayangan di televisi yang sehat sesuai dengan motto lembaganya "Jadikan Penyiaran Indonesia yang Sehat, Bermanfaat dan Bermartabat." KPI diharapkan bukan hanya mampu menyuguhkan informasi yang independen, bebas dari campur tangan pemodal dan kepentingan kekuasaan, namun juga bisa memberi tontonan berkualitas untuk masa depan generasi.

Jauh panggang dari api. Harapan masyarakat untuk mendapat tontonan yang berkualitas rasanya sulit terwujud. Bahkan, yang terbaru justru KPI menyatakan dengan tegas tidak perlu ada sensor pada tayangan-tayangan kartun di televisi. Karena menurutnya hal tersebut tidak melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS). Padahal kita ketahui bersama, segmen tontonan kartun adalah anak-anak. Apa jadinya jika tidak ada sensor? Bagaimana jika di dalam tontonan tersebut menyuguhkan pornografi, kekerasan dan niradab? Ingatlah, tontonan bagi generasi, disadari atau tidak dapat memengaruhi pola pikir dan sikap mereka. Karena tontonan akan menjadi "tabungan informasi" yang tersimpan di otak dan siapapun bisa meniru apa saja yang ditontonnya. Akan bertambah runyam manakala predator seksual yang masuk televisi, disarankan oleh KPI untuk mengedukasi bahaya kekerasan seksual. Sangat ironis. Dimana akal sehatnya?

Beginilah potret kehidupan masyarakat di alam sekuler. Sekularisme mengharuskan peran agama dipinggirkan. Agama hanya boleh hadir di sudut-sudut masjid dan ranah privat/pribadi saja. Agama (Islam) dipisahkan dari urusan publik, termasuk dalam hal media informasi. Padahal, norma agama mutlak dipegang erat dimanapun kita berada. Dampak dari 'iklim sekuler' tersebut, tak ayal sikap dan corak perilaku masyarakat malah cenderung liberal mirip seperti di Barat. Liberalisme ala Barat hanya mempedulikan materi semata karena memang demikian standar kebahagiaannya. Dalam urusan media dan penyiaran misalnya, hal ini bisa kita lihat dari tontonan yang ada: sinetron yang minim nilai, pemuja kebebasan, percintaan, mempertontonkan aurat, erotisme, juga sampai pergaulan bebas masih marak kita temukan. Masyarakat juga dijejali dengan tontonan yang memamerkan kekayaan, ghibah, perselingkuhan, perzinaan hingga kelainan orientasi seksual. Tentu hal ini dapat merusak generasi. Namun, selama hal tersebut mendatangkan keuntungan materi yang melimpah, tak mengapa tetap ditayangkan di dalam sistem sekuler saat ini.

Bukankah di dalam diri manusia itu terdapat naluri-naluri? Naluri manusia akan bergejolak menuntut pemenuhan, salah satu faktornya disebabkan dari faktor eksternal yaitu tontonan juga bacaan. Jika media marak menyuguhkan tontonan cabul, hal inilah yang menjadi penyebab kekerasan seksual sulit diberantas. Karena faktor pendukungnya belum ditumpas.

Lain halnya jika Islam dijadikan standar kehidupan. Islam memerintahkan manusia menjalani kehidupan secara kaffah (menyeluruh). Baik urusan privat maupun di sektor publik. Hal ini sebagaimana firman Allah di Al-Qur'an: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (QS: Al-Baqarah: 208).

Dalam hal ini, media dalam aturan Islam punya fungsi yang khas yaitu untuk menyiarkan syiar-syiar Islam, menjaga suasana keimanan dan ketakwaan masyarakat, sarana edukasi publik tentang pelaksanaan hukum-hukum Islam, kebijakan penguasa dalam Islam dan segala hal yang berkaitan dengan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot). Tidak seperti media saat ini. Demi mengejar rating (materi), tontonan yang merusak pun bisa lolos tayang. Di sini, peran negara mutlak diperlukan tidak hanya sebagai regulator. Negara dengan kekuasaannya dapat menutup akses yang bisa merusak moral masyarakat. Tidak memberi celah bagi para pebisnis dan pemodal, merusak generasi lewat media yang mereka kuasai.

Selain itu, negara di dalam Islam dengan kekuasaannya memberi sanksi jika terjadi tindak pidana kekerasan seksual. Untuk memberi efek jera, hukum Islam pun sangat tegas dalam memperlakukan terpidana kekerasan seksual.

Begitulah cara Islam memberantas kekerasan seksual mulai dari hulu (asas sistem kehidupan sekuler harus ditinggalkan) sampai ke hilir: pengaturan urusan masyarakat hingga sistem sanksinya. Jika kehidupan kita sesuai tuntunan syariat Islam, niscaya keamanan dapat kita rasakan, generasi terjaga dari moral yang rusak. Masyarakat juga terjamin dan terlindungi dari kekerasan seksual yang menghantui kita sehari-hari. Wallahua'lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image