Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Mempersembahkan yang Terbaik dalam Pengabdian Kepada Allah

Agama | Sunday, 01 May 2022, 02:04 WIB

“Pokoknya izinkanlah aku untuk pensiun dari perusahaan ini. Aku sudah tua dan lelah bekerja. Aku ingin menikmati masa tuaku” Demikian permintaan seorang tukang bangunan kepada majikannya.

Sebenarnya majikannya merasa keberatan. Bagaimana tidak, ia seorang pekerja yang setia. Namun demikian setelah tak bisa lagi mempertahankannya, ia pun mengizinkannya untuk berhenti atau pensiun dari perusahaannya.

”Kamu boleh pensiun. Tapi, sebelum kamu pensiun, dengan kepiawaian dan keahlianmu tolong aku bangunkan sebuah rumah peristirahatan dengan interior dan eksterior yang terbaik. Jangan khawatir dengan biayanya. Berapapun biaya yang diperlukan untuk bangunan rumah permintaanku, akan aku penuhi.” Demikian permintaan sang Majikan.

Dengan perasaan malas, ia mengerjakan bangunan rumah permintaan majikannya. Ia mengerjakannya dengan setengah hati dan asal-asalan. Kepiawaian dan keahliannya tak sepenuhnya ia curahkan dalam membangun rumah tersebut. Singkat cerita setelah selesai mengerjakannya, ia segera melaporkan hasil pekerjaannya kepada majikannya.

”Bagus, kalau sudah selesai. Nah, sekarang rumah itu adalah milikmu, sebagai bentuk penghargaan atas kesetiaan dan kejujuranmu selama kamu bekerja bersamaku. Kamu harus menerimanya sebagai kenang-kenangan dariku.” Demikian ucap sang Majikan.

Sang Pekerja terperangah mendengarnya. Beribu sesal dan beribu kata bergejolak dalam hatinya. Ia menyesal telah mengerjakannya tak sepenuh hati dan asal-asalan. Ia tak menyangka sedikitpun, rumah tersebut akan diberikan kepadanya.

Ia menyesal bukan saja karena menempati rumah hasil karyanya yang terjelek, tetapi juga menyesal karena telah menyalahi keilmuan yang dimilikinya. Ia juga menyesal telah berbuat kesalahan, memberikan yang terjelek bagi orang lain dan dirinya sendiri.

Saya hentikan kisah tersebut sampai disini. Jika kita hubungkan dengan ibadah kita kepada Allah, terdapat pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah tersebut. Dalam beribadah kepada Allah, kita laksana pekerja yang akan pensiun tadi. Kita sering memberikan sesuatu kepada Allah tak sepenuh hati dan asal-asalan. Padahal hakikat dari ibadah adalah mempersembahkan yang terbaik dari segala hal yang kita miliki.

Allah tak membutuhkan ibadah kita. Allah tak akan merasa rugi jika kita tak beribadah kepada-Nya. Demikian pula, ia Mahaagung. Keagungan-Nya tak akan bertambah karena ketaatan ibadah kita kepada-Nya.

Dalam melaksanakan ibadah, di hati kita terkadang masih tersimpan perasaan seakan-akan ibadah kita itu untuk Allah, padahal sebaliknya. Ibadah itu untuk kebaikan kita sendiri. Allah tak membutuhkan ibadah kita.

Kelak di akhirat, kita akan merasakan hasil ibadah kita kepada-Nya. Kita harus berupaya memberikan yang terbaik kepada Allah agar kelak kita tak menyesal. Kesempurnaan iman dan kebaikan seseorang diukur dari kemampuannya dalam memberikan yang terbaik dari yang dimilikinya bagi kepentingan agama dan orang lain.

”Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui” (Q. S. 3:92).

Sebagai bukti keimanan dan keyakinan akan janji Allah, seharusnya kita dapat memberikan yang terbaik dari yang kita punya untuk meraih ridha-Nya. Namun sayang sekali karena berbagai hal, terkadang kita malah memberikan sesuatu yang terjelek dari yang kita miliki.

Sedekah kita, baik berupa uang, harta, maupun bentuk lainnya dikeluarkan alakadarnya. Menggerutu ketika mengeluarkannya lebih sering dilakukan daripada melakukannya dengan penuh keikhlasan.

Demikian pula dalam melaksanakan ibadah shalat. Kita sering melaksanakannya secara asal-asalan. Kita lebih sering mempersembahkan waktu yang benar-benar sisa dari kehidupan kita. Dengan alasan sibuk, kita sering melaksanakan ibadah shalat pada saat-saat menjelang habisnya waktu shalat. Padahal shalat di awal waktu takkan sampai menghabiskan waktu untuk pekerjaan kita.

Benar, orang-orang yang tengah rapat di kantor misalnya senantiasa menghentikan pembicaraannya ketika suara azan berkumandang. Namun dengan alasan tanggung dengan pembahasan masalah dalam rapat, melaksanakan ibadah shalat tetap diakhirkan, yang diberikan untuk beribadah kepada Allah tetaplah waktu sisa, bukan waktu yang paling utama. Padahal, hadits Nabi saw mengatakan, shalat pada awal waktu merupakan bagian dari sekian banyak perbuatan yang utama.

Sudah selayaknya kita melaksanakan ibadah shalat dan ibadah-ibadah lainnya dengan sepenuh hati. Kita harus berlindung kepada Allah dari kesia-siaan ibadah shalat kita, seraya memohon kepada Allah agar kita dapat merasakan ketenangan, ketenteraman, dan kenikmatan dalam melaksanakannya sebagaimana yang Rasulullah saw sering sabdakan kepada Bilal bin Rabah, sang Muazin, ”Ya Bilal, mari tenteramkan hati kita, dengan lantunan suara azan dan melaksanakan ibadah shalat”, (H. R. Daruquthni dan Abu Daud).

Ramadhan terbaik dan terakhir

Mari kita merenung sejenak. Ramadhan tahun ini telah berakhir, apakah selama bulan suci kali ini kita telah mempersembahkan yang terbaik dalam pengabdian kita kepada Allah? Apakah kita menyesal karena selama Ramadhan tahun ini pernah memberikan pengabdian alakadarnya kepada Allah? Apakah kita pernah meneteskan air mata karena menyesal telah melakukan perbuatan dosa selama bulan suci ini?

Harapan besarnya, semoga segala aktivitas ibadah yang kita lakukan pada Ramadhan kali ini merupakan pengabdian terbaik sepanjang kita hidup di muka bumi ini. Jika demikian, seandainya Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir dalam kehidupan, kita tak akan terlalu menyesal karena kita telah memberikan pengabdian terbaik sesuai kemampuan kita.

Sebaliknya, jika kita menyadari begitu banyak kekurangan dalam pengabdian selama bulan suci Ramadhan ini, bahkan menyadari banyaknya kekurangan dalam beribadah, sudah seharusnya bagi kita untuk bertaubat, memperbaiki segala kekurangan dan kekeliruan dalam melaksanakan ibadah. Kita sudah seharusnya selalu mengazam untuk senantiasa memperbaiki diri dan meningkatkan pengabdian kepada Allah dengan memberikan segala hal terbaik yang kita miliki.

Kita harus meyakinkan diri, kebaikan apapun yang kita lakukan bukanlah untuk Allah, namun untuk kebahagiaan kita sendiri. Demikian pula, kejelakan apapun yang kita lakukan, akibatnya akan kembali kepada diri kita sendiri.

“Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri” (Q. S. Al-Isra : 7).

Taqabballalahu minnaa wa minkum.

Semoga Allah menerima segala ibadah kita dan mengampuni segala kealpaannya.

Semoga tahun depan, kita masih bisa merasakan berkah dan kesucian bulan Ramadhan. Selamat Idul Fitri 1443 H - 2022 M.

Ilustrasi :tadarus (sumber gambar : https://republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image