Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siti Ummul Khoir saifullah

Besok Lebaran

Sastra | Wednesday, 12 May 2021, 14:37 WIB
Sumber foto: google

Anip merenung di bawah pohon mangga miliknya yang terletak di samping rumah. Ia merenung di bayang, tempat ia dan tetangganya janduman saban sore.

"Masih pagi, kok sudah merenung toh, Nip" ucap Manap yang lewat di depan Anip.

"Bingung, Nap, mau mencari kemana lagi." balas Anip sambil mengubah posisi tubuhnya yang awalnya terlentang tidur berbantal tangan menjadi duduk. Manap kemudian duduk di samping Anip. Turut merenung pula.

Anip bingung harus mencari pinjaman uang kemana lagi. Besok sudah lebaran, tapi ketiga anaknya dan istrinya belum dibelikan baju lebaran. Belum bisa memberi uang kepada istrinya untuk membeli jajanan lebaran dan bahan-bahan dapur untuk memasak opor nanti sore.

"Pak, adik nyuwun tumbas baju lebaran." Ucap anak kedua Anip sambil mendekat ke bayang tempat Anip dan Manap duduk.

"Iya, nanti ya, Cung."

"Kapan, Pak? Besok sudah lebaran tapi sampai sekarang kita belum memegang baju baru. Aku iri sama saudara-saudara kita, Pak. Mereka sudah membeli baju lebaran. Di Surabaya lagi, Pak."

"Iya, Cung, nanti sore sepulang dari nyekar bapak belikan baju lebaran."

"Benar ya, Pak?"

"Iya, Cung."

Anak kedua Anip pun merasa senang karena akan dibelikan baju. Kepada teman-temannya, ia bercerita, "yey, nanti pulang nyekar aku dibelikan baju lebaran sama Bapak." Ia tak tau bahwasanya Bapaknya masih kelimpungan kemana akan mencari pinjaman.

Di dalam rumah, istri Anip bersih-bersih. Ia membersihkan toples tempat jajanan. Anak pertama Anip yang masih SMA bertanya, "Mak, dimana jajan lebarannya? Aku pengen masukin jajan lebaran ke toples"

"Belum ada, Nduk."

"Samean belum beli, Mak?"

"Bapakmu belum ngasih uang, Nduk. Bapak lagi ndak punya uang. Ndak tau ini bisa jajan lebaran apa enggak."

"Mak, Mak, kalau gitu ya ndak usah dibersihkan toplesnya."

"Barangkali nanti tiba-tiba ada rezeki, Nduk."

"Mak, sungguh nasib hidup. Dulu setiap menjelang lebaran rumah ini selalu dipenuhi banyak jajanan. Kita pun bisa membeli baju lebaran lebih dari satu, Mak. Tapi sekarang, Mak, kita membeli jajan lebaran saja tidak mampu, Mak. Mak, Mak, kita sedang berada di bawah, Mak." Anak pertama Anip itu berucap sambil berkaca-kaca.

"Iya, Nduk. Apapun keadaannya harus tetap disyukuri. Sabar ya, Nduk. Samean sekolah sing pinter. Ben nanti bisa hidup enak. Ndak perlu kelimpungan mencari uang pinjaman untuk membeli baju dan jajan lebaran. Maafin Emak dan Bapakmu ini Nduk yang belum bisa membahagiakan samean dan adik-adik." Istri Anip menangis.

Di luar, hati Anip menangis mendengar percakapan istrinya dan anak sulungnya. Kepada Manap, Anip lagi-lagi mengeluh.

"Nap, Nap, Gusti Allah iki maringi dagangan sepi semenjak ono Corona."

"Sabar, Nip. Disyukuri ae."

Anip adalah pedagang makanan kecil. Dagangannya selalu ramai pembeli. Tapi semenjak ada Corona, dagangannya menjadi sangat sepi pembeli. Ditambah lagi, ia habis sakit dan operasi. Uang simpanannya habis untuk membayar biaya operasi. 3 bulan ia tidak jualan dan hanya mengandalkan uang simpanan, hingga uang simpanannya benar-benar habis. Awal puasa ia baru bisa kembali jualan dengan modal meminjam saudara. Tapi, dagangannya selalu sepi pembeli sampai-sampai ia tidak bisa membelikan anak istrinya baju lebaran.

Sudah sejak seminggu yang lalu Anip mencari pinjaman uang ke sanak saudaranya. Tapi, katanya, sanak saudaranya yang juga pedagang itu mengeluhkan hal yang sama, tidak mempunyai uang banyak lantaran dagangan juga sepi. Mereka hanya ada uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak untuk dipinjamkan kepada Anip. Setiap kali mencari pinjaman, Anip selalu menelan kekecewaan. Tidak ada yang bisa meminjamkan uang kepada Anip. Anip kecewa lantaran saudara-saudara Anip bisa membeli baju-baju mahal di mall, mengundang banyak orang untuk buka bersama, membeli banyak jajan untuk lebaran, tetapi ketika Anip meminjam uang. Mereka mengaku tak punya.

Rasa pesimis yang dirasakan Anip terhadap dagangannya membuat ia setiap waktu berdoa agar dikirimkan Tuhan manusia baik yang mau meminjamkan uang kepada Anip untuk membelikan baju dan jajan lebaran buat anak istrinya. Anip sebenarnya sudah memberitahu anak-istrinya bahwa tahun ini tidak membeli baju lebaran dulu. Toh, baju baru bukan dari esensi lebaran. Tapi, Anip tetap saja tidak tega melihat anak-anaknya hanya bengong ketika mendengar cerita teman-temannya yang senang dibelikan baju baru orang tuanya atau cerita pengalamannya pergi ke suatu tempat untuk membeli baju lebaran. Anip tidak sampai hati jika anak-anaknya hanya sebagai pendengar cerita teman-temannya.

Waktu sudah sore. Anip beserta anak-istrinya siap-siap untuk nyekar. Ketiga anak Anip kemudian mendekati Anip sebelum berangkat. Anak kedua pun berkata, Pak, setelah ini kita beli baju lebaran kan, Pak?. Ketiga anak itu memasang wajah yang amat bahagia lantaran tau akan dibelikan baju. Anip tak sampai hati jika wajah bahagia itu harus berubah menjadi kesedihan lantaran Anip gagal membelikan baju anak-anaknya. Anip melihat ke istrinya. Istrinya mengusap air mata di pipinya.

Nak, doakan Bapak agar setelah ini mendapat rezeki, ya. Nanti kalau ada rezeki, kita beli baju lebaran bareng-bareng ke tokoh baju. Ucap Anip kepada ketiga anaknya.

Aamiin yaallah. Ketiga anak Anip serentak mengucapkan itu. Istri Anip semakin bercucuran air mata mendengarnya.

Ayo kita berangkat nyekar dulu.

Rumah Anip dan kuburan jaraknya tidak begitu jauh. Mereka memutuskan untuk jalan kaki saja berlima. Di jalanan sudah banyak para tetangga yang berangkat nyekar juga. Ketika istri Anip mengunci pintu. Tiba-tiba ada mobil masuk di halaman depan rumah Anip. Laki-laki seumuran Anip keluar dari mobil.

Anip, piye kabarmu? Ini aku Wachid. Ia berbicara sambil menyalami dan merangkul Anip. Kemudian ia berkata, Aku sudah pulang sejak tanggal 4 kemarin, tapi harus isolasi mandiri selama satu minggu lebih. Mangkanya aku baru bisa menemuimu hari ini.

Anip melepas rangkulan Wachid. Ia memegang Pundak Wachid dan memperhatikan Wachid dari ujung kaki sampai kepala. Dengan penuh haru, Anip berkata, Wachid, sudah 5 tahun kamu ndak pulang dari Malaysia. Kamu sudah berubah. Nampaknya sekarang sudah sukses.

Alhamdulillah, Nip. Berkat pertolongan kamu dulu. Ini, Nip, aku ingin mengembalikan uang yang dulu kamu pinjamkan buat aku berangkat ke Malaysia. Aku tidak habis pikir, Nip, kenapa dulu kamu mau meminjamkan uang sebanyak itu kepada aku. Sekarang aku sudah begini ya berkat kamu. Aku mengembalikannya lebih dari yang kamu pinjamkan. Nip, itu aku juga membawa hampers. Tidak banyak Nip isinya. Cuma jajajan lebaran saja.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Wachid, istri Anip berteriak mengucap syukur dalam hatinya. Ketiga anak Anip pun senang ketika bingkisan kardus besar itu untuk bapaknya. Mereka pun mendekati kardus besar itu. Tak sabar membukanya.

Gusti Allah, matur nuwun, batin Anip.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image