Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Radhi Mafazi

Pandemi dan Era Kelahiran Pemudik yang Terdidik

Olahraga | Thursday, 06 May 2021, 16:08 WIB
MAAF. Saya Kecewa dengan RETIZEN. Mohon dihapus saja konten ini. Terimakasih
MAAF. Saya Kecewa dengan RETIZEN. Mohon dihapus saja konten ini. Terimakasih

Sah, per tanggal 06 Mei 2021 mudik resmi dilarang, seluruh moda transportasi pengangkut penumpang dipersempit ruang geraknya dan beberapa titik perbatasan antar daerah diperketat penjagaanya. Mudik, merupakan sebuah tradisi masyarakat Nusantara di akhir bulan Ramadhan, kini tinggal kenangan.

Mudik sudah menjadi bagian dari rentetan tradisi menyambut hari raya idul fitri, yang memiliki makna secara harfiah "kembali" dan mudik sebagai salah satu implementasinya secara tidak langsung.

Manusia merupakan makhluk yang memiliki jiwa sosial tinggi, wajar bila ia merindukan lingkungan pertama dirinya dilahirkan dan dibesarkan. Bahkan sekelas Nabi dan Rasul, merindukan pulang ke kampung halamannya, sebelum ia pulang pada ke abadian. Apa daya dengan saya yang hanya manusia biasa yang jauh dan jarang kembali pada tempat kelahiran.

Pandemi yang terus mempermainkan perasaan para pemudik, sudah memasuki tahun ke-2. Seolah libur panjang pada awal April kemarin, sebagai sebuah simulasi untuk mencoba apakah corona masih ada.

Hasilnya?ambyar! , angka kasus penularan korona melambung. Bahkan muncul klaster baru, di daerah Boyolali setelah warganya melakukan piknik bersama, sebanyak 36 orang terjangkit virus corona.

Obrolan menarik terjadi saat istirahat jam kantor, antara saya dan teman se-nasib tidak dapat mudik. Saat sedang berdiri sejenak untuk meluruskan punggung, akibat terlalu lama duduk di kursi, tetiba teman yang duduk disebelah saya bertanya “kapan ya kita bisa lebaran di kampung lagi?”. Seolah ada bagian dari dirinya yang hilang ditelan oleh keadaan, secara bersepakat keadaan ini sebagai hal yang menyebalkan.

“Sabar mas”, saya berlagak sok kuat dengan mengatakan kalimat positif yang beracun. Lha gimana mau sabar, ini sudah tahun kedua. Teman saya meninggalkan pusat dunianya, di tempat yang berjarak ribuan mil dari tempat duduknya sekarang, sepertinya sedang dilanda penyakit malarindu. Saya paham betul, hatinya ditutupi kabut kerinduan kepada keluarganya di kampung.

Rasa ingin tahu dalam diri saya muncul, terlebih pada kegiatan yang dilakukannya saat mudik apa saja. Hal tersebut mendorong saya untuk mengajukan pertanyaan kepada dirinya “kalau pulang kampung biasanya ngapain saja mas? “, raut wajahnya terlihat bingung dengan pertanyaan saya, seolah pertanyaan yang saya ajukan aneh.

“Ya, kumpul sama main biasanya” jawabnya dengan penuh kewaspadaan, seolah tahu pertanyaan saya tidak berhenti disitu. Saya, yang masih ingin lebih jauh, terkait porsi main dan berkumpul dengan keluarga, banyak yang mana, melancarkan pertanyaan perbandingan “lebih banyak main, atau kumpul sama keluarga”, sambil menggaruk-garuk kepalanya, ia menjawab “sepertinya main deh”.

Obrolan siang itu menjadi sebuah diskusi hangat, yang tidak kalah dengan teriknya matahari khas pesisir pantai, saya mencoba bertanya kepada teman yang berada di depan saya, perilakunya yang sedari tadi khusyuk menatap layar monitor lengkap dengan headset yang menancap di telinganya.

“Kalau kamu coy?”, teman saya langsung melepaskan headset yang menancap ditelinganya, entah bagaimana caranya, ia ternyata tertarik pada medan magnet diskusi siang itu. “kalau saya, ya banyak mainnya, semenjak corona ini saya jadi merenung kenapa dulu lebih memilih main sama teman, ketimbang kumpul bersama keluarga” timpalnya atas pertanyaan saya. Jawabannya yang begitu gamblang, menandakan bahwa dirinya sudah siap, apabila sewaktu-waktu saya tanya.

Dua jawaban teman saya siang itu, menyisakan satu penyesalan, menyadarkan saya bahwa ada yang salah dengan kegiatan mudik tahun-tahun sebelum pandemi, hingga muncul satu pertanyaan besar hasil dari diskusi siang itu. Apa jangan-jangan pandemi sedang berusaha menciptakan pemudik kualitas unggul? agar para pemudik benar-benar menikmati setiap moment pulang kampungnya.

Mungkin selama ini, saya juga sama dalam menanggapi mudik. Ya, hanya menganggap mudik sebagai rutinitas di akhir bulan Ramadhan. Sebelum akhirnya tersadar ketika terjadi pembatasan aktivitas akibat pandemi.

Saya kira, tingkah laku manusia untuk meninggalkan tanah kelahirannya untuk suatu tujuan, hingga mendapatkan julukan pemudik adalah sebuah keberanian, yang tidak didapatkan pada proses pendidikan formal, tetapi pada kenyataanya itu belumlah cukup. Karena sesi selanjutnya adalah menahan rindu kampung halaman.

***

Pada tahun ke dua pandemi, dimana jangka pelarangan mudik di perpanjang. Dapat menjadi kesempatan pembelajaran, bahwa saya dan manusia nusantara lainnya perlu belajar agar menjadi pemudik yang terdidik. Yaitu pemudik yang kepulangannya, dihabiskan untuk mendapatkan kehangatan sosial dari orang terdekat.

Bahkan momentum pulang saat lebaran, adalah waktu yang tepat untuk menyembuhkan luka diri sendiri sekaligus luka orang terdekat. Terbukti dari hasil penelitian seorang ilmuwan bernama Sheldon Cohen (Goleman,2017), yang sedang meneliti tentang pasien virus Rhino.

Pada penelitian tersebut, Cohen membuat rekomendasi pada pasien yang terserang virus Rhino agar membuat “Sekutu biologis”, yang dimaksud adalah melakukan pencangkokan terhadap orang-orang baru pada jaringan sosial, terutama kepada orang yang membuat kita terbuka.

Hasil lebih lanjut menyebutkan, bahwa orang yang terintegrasi secara sosial , yaitu memiliki hubungan sosial yang intim terhadap oranglain, serta mengambil bagian secara luas dalam hubungan tersebut, akan pulih lebih cepat dari penyakit dan hidup lebih lama.

Penelitian dari Cohen diperkuat dengan 18 studi serupa, sehingga keabsahannya tidak bisa dianggap remeh. Sampai pada satu kesimpulan bahwa ada kaitan yang kuat antara konektivitas sosial dengan mortalitas. Saya jadi teringat pada satu kisah biarawati dari daratan Perancis, pada awal bulan Februari lalu.

Biarawati yang sudah berusia 116 tahun dinyatakan positif virus corona, alih-alih takut dan panik. Ia justru senang karena akan pulang kepada Tuhannya, dan segera menemui keluargannya yang sudah lebih dahulu meninggal dunia. Menariknya, alasan kuat tersebut, berakibat pada kesembuhan.

Penelitian dari Cohen dan kisah biarawati tersebut menyadarkan saya, bahwa pulang merupakan kemewahan yang tak ternilai, pulang itu menyenangkan sekaligus menyehatkan. Seandainya momentum ini bisa menjadikan manusia sembuh sekaligus menyembuhkan, tidak berlebihan jika mudik pantas mendapatkan label barang mewah di tengah pandemi.

***

“Mudik adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh perantau”, saya mencoba memodifikasi quote dari Tan Malaka. Karena mudik di masa pandemi merupakan kegiatan yang begitu mewah, secara makna apa artinya sebuah perjalanan, apabila pergi tanpa kembali.

Dengan demikian kesadaran akan arti penting mudik, begitu sangat membekas pada jiwa para perantau. Ketika dunia mulai normal kembali, dan perantau dapat melaksanakan mudik.

Ingatlah hari di saat pandemi, bahwa mudik pernah menjadi satu-satunya barang mewah pada masa itu. Sehingga kita menjadi pemudik yang terdidik, dan mendapatkan arti pulang sejati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image