Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nafa amaliatuzzahra

Dari Simbol Kemewahan Hindia-Belanda hingga Rebutan Dingin di Hari Raya

Sejarah | 2025-04-11 16:34:08

Di negara dengan iklim yang cukup panas, es batu menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi saat suasana lebaran kemarin, di tengah hiruk-piruk silaturrahmi dan suguhan khas hari Raya, satu hal yang terlihat sepele justru menjadi rebutan: es batu. Di banyak tempat, orang rela mengantri mendapatkan beberapa kantung es batu untuk nantinya dijadikan minuman dingin. Barang yang mungkin dianggap biasa-biasa saja seketika berubah menjadi barang yang cukup diperlukan pada saat hari-hari tertentu dan hari dengan suhu yang terik.

Pedagang es keliling di Batavia/Jawa 1910-an dalam salah satu postcard keluaran G. C. T. van Dorp & Co dan kartu pelajaran abjad bahasa Belanda. Sumber: KITLV

Nyatanya, es batu memiliki sejarah panjang dan menarik yang jarang diketahui oleh masyarakat yang sudah merasakan kenikmatan es batu. Kehadiran es batu di Nusantara tidak hanya menjadi simbol modernitas, tetapi juga menjadi cerminan transformasi sosial, ekonomi, dan budaya. Es batu memainkan peran penting dalam mengubah kebiasaan konsumsi dan perdagangan di kota - kota besar Nusantara sejak masa kolonial hingga era modern.

Jenis minuman - minuman bir seperti Jonker Capero, Heineken’s Bier, Haatjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, sampai bir pahit Belanda Cap Ayam hingga Koentji Bier—yang sebenarnya merek aslinya Beck’s Beer—buatan Jerman yang masuk ke Nusantara pada masa kolonial dulu adalah barang-barang yang menjadi pundi-pundi keuntungan. Pemerintah Hindia - Belanda mengambil keuntungan cukai dari minuman - minuman impor tersebut yang bahkan hadirnya minuman impor ini diduga menggeser popularitas minuman fermentasi tradisional. Pasalnya seiring tingginya keuntungan yang diraup cukai impor minuman beralkohol, pemerintah Hindia Belanda membentuk komisi pemberantasan alkohol yang disebut Alcoholbestrijdings-commisie pada tahun 1918.

Alih - alih mendirikan komisi tersebut, tampaknya pemerintah Hindia - Belanda memang berniat untuk menghapus minuman fermentasi tradisioanl yang seringkali diminum masyarakat lojkal, seperti Bandrek, Arak, dan Ciu. Karena pasalnya jenis minuman tergolong dalam minuman “gelap” yang tidak memiliki izin beredar. Dengan kata lain, pemerintah Hindia - Belanda tidak bisa meraup keutungan dari minuman - minuman tradisional tersebut.

Meskipun begitu, dengan terkenalnya minuman impor ini menjadi awal keberadaan aijerbatoe dibaca “air batu” atau kini kita akan lebih mengenalnya dengan es batu. Kehadiran es batu menjadi tanda modernisasi yang dibawa oleh kolonialisme. Sebelum teknologi pembuatan es batu ditemukan, es batu merupakan barang mewah yang diimpor dari luar negeri Amerika Serikat dan Eropa yang saat itu cukup membuat kehebohan di Nusantara. Kehebohan berita mengenai masuknya “air batu” ini terjadi pada abad ke-19 tepatnya tanggal 18 November 1846, sehari sebelum menyebarnya kabar bahwa kapal - kapal besar dari Boston, Amerika Serikat yang membawa “air batu” yang dipesan oleh Roselie en Co, salah satu saudagar kaya dari Eropa.

Kala itu, pemerintah Hindia Belanda belum mempersiapkan aturan mengimpor es batu, yang ada hanya impor soal minuman keras saja. Saking hebohnya, semua orang banyak membicarakan soal es batu, yang mereka sebut sebagai “batu-batu putih sejernih kristal, yang kalau dipegang bisa membuat tangan kaku”. Es batu yang diangkut dengan kapal besar disimpan terisolasi khusus untuk menjaga suhu dingin agar tetap stabil selama perjalanan panjang ke Asia Tenggara. Hal ini menjadikan es batu sebagai barang mewah ekslusif yang hanya bisa dinikmati oleh beberapa keluarga Belanda yang tinggal di kawasan Meester dan Weltevreden.

Seiring berjalannya waktu, khususnya pada awal abad ke-20, teknologi pendinginan mulai diperkenalkan di wilayah Hindia. Pabrik-pabrik es mulai didirikan di kota-kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang. Es tak lagi perlu menempuh perjalanan ribuan mil dari benua lain, melainkan sudah bisa diproduksi secara lokal. Secara bertahap, es mulai memasuki kafe, gerai es krim, hingga ke rumah tangga tertentu. Setelah mendapatkan kemerdekaan, dan lebih jelasnya di masa Orde Baru, lemari es menjadi barang yang sangat diidamkan di setiap rumah. Es batu tidak lagi hanya dinikmati oleh kalangan kaya, melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat umum.

Salah satu pionir dalam industri es balok adalah Kwa Wan Hong, seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Ia dilahirkan pada tahun 1861 di Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya yang berasal dari Tiongkok pernah menjabat sebagai sekretaris walikota. Ia mendapatkan pendidikan yang cukup memadai. Awalnya terlibat dalam bisnis kayu, kemudian beralih ke industri kapur. Pada tahun 1895, ia mendirikan pabrik es pertamanya yang meraih kesuksesan besar di kota asalnya.

Menurut Sam Setyautama dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, Hong berusaha untuk mendirikan pabrik limun dan percetakan Hap Seng Kong Sie, yang merupakan tertua di Jawa Tengah pada bulan Agustus 1901. Pada tahun 1902, ia juga meluncurkan Warna Warta, koran melayu-Tionghoa pertama di Semarang, serta menerbitkan berbagai buku yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa, seperti Syair Sindiran karya Tan Tjin Hwa. “Ia dikenal sebagai raja es,” tulis Setyautama.

Hong memperluas usahanya dengan membangun tiga pabrik es di Semarang (1910), Tegal (1911), serta Pekalongan (1911). Karena permintaan yang meningkat, ia mendirikan dua pabrik tambahan di Surabaya pada tahun 1924 dan 1926. Dua tahun selanjutnya, ia pindah ke Batavia dan membangun pabrik es di Jalan Prinsenland (Mangga Besar) serta di Rawa Bening di Meester Cornelis, Jatinegara. Pada tahun 1930, ia mengambil alih pabrik es Soen Sing Hien di Sumedang, Jawa Barat, dan mendirikan sebuah pabrik minyak kelapa di Kutoarjo.

Saat ini, es batu merupakan produk yang dipasarkan secara luas. Ia tersedia di toko-toko kecil, pasar tradisional, serta supermarket. Es batu bisa ditemukan dalam berbagai minuman seperti kopi susu modern, es teh yang dijual di pinggir jalan, bahkan di restoran kelas atas. Namun, jika kita menggali lebih dalam sejarahnya, ada paradoks yang menarik: sesuatu yang dulunya hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang, kini menjadi barang yang sangat dicari terutama saat perayaan seperti Lebaran.

Meskipun es batu terlihat sepele, namun ia sebenarnya merupakan bagian kecil dari sejarah peradaban manusia. Ia mengingatkan kita bahwa kemajuan dalam teknologi tidak hanya merevolusi cara kita hidup, tetapi juga membuat barang-barang mewah menjadi lebih terjangkau. Dari sesuatu yang dianggap barang mahal pada masa kolonial menjadi kebutuhan saat Lebaran, es batu telah meruntuhkan batas-batas sosial yang sebelumnya ada. Maka, saat kita menikmati es sirup dingin setelah melangsungkan salat Id, mungkin kita perlu menyempatkan diri untuk berpikir: dinginnya es tersebut ternyata menyimpan kisah yang sangat panjang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image