Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatimah Azzahra

Kemana Lari Keadilan Negeri?

Gaya Hidup | Monday, 28 Mar 2022, 22:56 WIB
Mungkin di dunia semua bisa bersekongkol membela kejahatan yang ada. Namun, di akhirat pengadilan yang sebenarnya menanti.

Hukuman bukanlah kebencian, tapi ia bentuk pendidikan. Begitulah yang saya tangkap setelah membaca buku parenting anak. Bahwa hukuman dalam mendidik anak itu perlu dilakukan sebagai ajang pendidikan. Tentu saja dengan tata cara yang benar.

Ironisnya ketika para orangtua kini belajar agar bisa mendidik anak dengan benar, salah satunya dengan memberikan hukuman yang diajarkan Rasul. Para orang dewasa yang berakal justru memutarbalikkan hukum agar bisa menghindar dari hukuman sebagai konsekuensi perbuatannya.

Jungkir Balik Hukum

Dilansir dari laman Republika (18/3/2022), Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan dua polisi terdakwa pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) terhadap laskar Front Pembela Islam (FPI) lepas dari hukuman pidana. Meskipun dua terdakwa terbukti dalam dakwaan primer jaksa.

Ketua majelis hakim menyatakan kedua polisi terdakwa ini tidak dapat dijatuhi hukuman pidana karena pembenaran dan pemaaf. Majelis hakim juga berpendapat walau dakwaan primer jaksa terbukti tapi itu dilakukan sebagai pembelaan diri sehingga tidak bisa dihukum. Selain itu, majelis hakim juga memerintahkan untuk mengembalikan kemampuan, hak, dan martabat kedua polisi terdakwa itu.

Mari sebentar saja kita tengok kasus pembelaan diri lainnya. Mbah Minto membacok pencuri di kolam ikan yang ia jaga di Desa pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (7/9/2021) sekitar waktu Isya. Ia mengaku membacok pencuri lantaran sempat diserang menggunakan alat setrum. Meski akhirnya upaya tersebut gagal, karena tidak mengenai si pencuri dan berakhir kabur dengan luka bacok serius.

Karena hal ini, mbah Minto dituntut dua tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kejari Demak menjelaskan bahwa perkara Mbah Minto merupakan tindak pidana penganiayaan berat yang menyebabkan korban luka serius.

Hal serupa menimpa gadis remaja MS berumur 15 tahun. Ia ditangkap karena melakukan pembunuhan di hutan Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) bulan Februari tahun 2021. MS mengaku terpaksa membunuh NB (48 tahun), sepupunya sendiri, karena NB berniat memperkosanya saat mencari kayu bakar di hutan.

MS diancam dengan hukuman 25 tahun penjara karena melakukan pembunuhan dengan alasan bela diri ini. Walau kini, karena kondisi yang masih di bawah umur, MS dititipkan ke dinas sosial.

Masih banyak kasus yang serupa dan senada. Alasan bela diri justru membuat mereka masuk ke dalam bui. Menerima hukuman atas perbuatan pembelaan diri. Anehnya, pembunuhan dengan penembakan yang dilakukan oleh dua polisi kepada anggota laskar FPI justru dimaafkan, dibebaskan, dibiarkan.

Hukum Rimba Negeri

Bagi sebagian orang, nyawa mungkin hanya angka. Ah, cuma satu yang mati. Ah, cuma enam yang mati. Sayangnya sistem kehidupan saat ini yang fokus pada materi dan manfaat duniawi pun tak begitu menghiraukan nyawa manusia. Apalah arti nyawa orang yang melayang selama ia dapat jabatan. Apalah arti hilangnya nyawa anak orang selama ia mendapatkan uang atau naik pangkat.

Tak heran jika hukum Rimba yang berlaku saat ini. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Siapa yang kuat modalnya, uangnya, backingnya, jabatannya, merekalah yang dijadikan pemenangnya. Tak perlu takut hukuman. Hukuman bisa diubah dan dipelintir atau dijungkir balik. Sehingga wajar jika tak ada kata kapok atau keinginan untuk adil, karena sudah merasa aman dan nyaman dengan keyakinan akan terhindar dari hukuman.

Nilai Nyawa

Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Islam. Dalam Islam satu nyawa muslim sangat berharga. Dari al - Barra' bin Azib ra, Rasulullah saw bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Satu, dua, atau enam mungkin hanya angka di atas kertas. Tapi, mereka adalah anak yang disayang kedua orangtuanya, adik atau kakak yang disayang keluarganya, teman yang dirindu. Bukan hanya sekedar angka, nyawa adalah warna kehidupan dalam diri setiap insan.

Mungkin di dunia semua bisa bersekongkol membela kejahatan yang ada. Namun, di akhirat pengadilan yang sebenarnya menanti. Pengadilan yang dipimpin oleh Yang Maha Adil, Allah swt. Takkan ada satu hal kecil pun luput dari-Nya, takkan bisa manusia bersilat lidah di hadapan-Nya. Semua akan menerima balasan apa yang diperbuatnya di dunia.

Ingatlah, Allah takkan melupakan orang dzalim. Sebagaimana dalam Firman Allah, " Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang dzalim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (karena melihat adzab).” (QS. Ibrahim: 42).

Bisa jadi, Allah segerakan hukuman itu di dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Tidak ada dosa yang lebih berhak untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, disamping masih ada hukuman di akhirat, selain dosa dzalim dan memutus silaturrahmi. (HR. Tirmidzi )

Amat berat dosa dan konsekuensi menghilangkan nyawa tanpa sebab.

Hukum Islam

Tak perlu menunggu kematian datang, alam barzakh, juga hari pembalasan. Keadilan akan hadir jika sistem hukum islam diterapkan. Islam menjaga jiwa manusia.

Dalam Islam ada hukum qishash yang diterapkan. Mata dibalas mata, tangan dibalas tangan. Apakah tidak boleh jika korban memaafkan? Tentu boleh saja memaafkan, bahkan Allah katakan itu lebih baik. Tapi, tak hanya meminta maaf saja. Tetap ada diyat yang harua dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban. Besarannya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad.

Tak hanya itu, Allah pun sudah menetapkan hudud. Hukum yang wajib dijatuhkan dalam kemaksiatan tertentu. Tak bisa diganti diyat atau hukuman lainnya. Misalnya, hukuman bagi pezina, yakni cambuk atau rajam. Tak bisa diganti dengan penjara.

Untuk melaksanakan semua hukuman ini diperlukan keimanan yang tebal. Agar legowo menerima hukuman. Dan menyadarinya sebagai bentuk pendidikan yang Allah dan Rasul ajarkan. Sikap bertanggungjawab, berani menerima konsekuensi atas apa yang sudah dilakukan. Juga percaya keridhaan dalam menjalani hukuman dari Allah di dunia akan membebaskannya dari hukuman di akhirat sana.

Sungguh kami rindu hukum yang adil. Hukum yang berasal dari Yang Maha Adil. Tidak kamu juga rindu?

Wallahua'lam bish shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image