Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image TAZKA ADIATI

ESAI: PERLUKAH MENGUKUR EKRANISASI

Sastra | Sunday, 20 Mar 2022, 11:41 WIB

Karya Hanung Bramantyo mendapat kecaman dari beberapa orang yang mengaku perwakilan Minangkabau. Film berjudul Cinta Tapi Beda mengisahkan perjuangan cinta dua karakter utama, Diana dan Cahyo. Kisah cinta yang diangkat dari curhatan pada Blog pribadi Dwitasari yang mulai diposkan pada tanggal 7 September 2012 menarik perhatian Hanung Bramantyo dan kemudian mengalihwahanakannya menjadi karya film. Kecaman yang ditujukan terhadap film ini berujung pada dihentikannya penayangan di bioskop-bioskop secara resmi 5 Januari 2013 lalu. Perwakilan warga Minang menuntut bahwa tidak adanya kesesuaian antara penggambaran dalam film dengan kehidupan asli. Tokoh Diana digambarkan sebagai gadis yang hidup dan besar di Padang memegang erat keyakinan Katolik, sementara kehidupan asli warga Minang patuh penuh pada ajaran Islam.

https://www.liputan6.com/showbiz/read/481098/film-cinta-tapi-beda-berhenti-di-angka-120-ribu-penonton

“ Mereka menghadapi perbedaan, perbedaan profesi, yang satu chef, yang satu penari. Perbedaan kedua, egositas secara kultur, dari Jawa yang diunggulkan adalah laki-laki, sementara dari Padang yang diunggulkan adalah perempuan. Perbedaan ketiga, yakni keyakinan, yang satu agamanya Islam, satunya lagi beragama Katolik. Jadi ini kisah perjuangan cinta dalam perbedaan, ” tutur Hanung dalam Youtube channel Cinta Tapi Beda. Melalui film ini, ia ingin mengungkap perjuangan dua karakter yang memiliki jenjang perbedaan signifikan untuk menyatukan kisah mereka, selain itu Hanung ingin menyampaikan dua entitas ego yang ia jabarkan dari masing-masing daerah, Jawa dan Padang.

Alih wahana atau ekranisasi sendiri memiliki arti “ dua hal dari dua medium berbeda, misal sebuah cerpen yang dibaca oleh pembaca akan menimbulkan imajinasi/gambaran/pengadeganan yang ada di dalam kepala masing-masing pembaca, ketika dialihwahanakan menjadi film, akan menjadi dua karya yang berbeda, cerpen merupakan karya sendiri, film pun menjadi karya sendiri. Ada penambahan, pengurangan, dan disesuaikan dengan kebutuhan kreator pada medium baru ” jelas Johan De Rantau dalam program Bincang Sastra. Cukuplah istilah alih wahana yang melahirkan dua karya berbeda dari sumber yang sama menjadi tolok ukur penikmat masing-masing karya, baik karya asli maupun karya yang telah dialihwahanakan. Hemat saya sebagai penulis, penikmat cerpen, cukuplah puas dengan imajinasi dari penggolahan kata-kata yang dituturkan penulis. Sama halnya dengan penikmat film, berpuas hatilah dengan film yang disuguhkan sutradara melalui pemilihan aktor, pengadeganan, latar, sinematografi, dan sejumlah kesesuaian lainnya yang terdapat dalam medium film. Kembali kepada Hanung Bramantyo, terlepas dari kontroversi yang diterima karyanya, alih wahana yang dilakukan terhadap Blog Dwitasari faktanya mendapat apresiasi yang layak dari penikmat film. Kreator dalam hal ini Hanung dan Hestu memilih untuk menghentikan penayangan film dengan alasan agar suasana kembali kondusif pun perlu diapresiasi. Dengan dua medium yang berbeda, penikmat karya memiliki jalan sendiri untuk mengapresiasi karya sang kreator, namun mengukur alihwahana keduanya tentu bukanlah suatu ide yang cemerlang, apalagi membandingkannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image