Pencuri di Tengah Histeris
Info Terkini | 2025-12-29 12:30:18
Saat air bah surut dan menyisakan duka mendalam di berbagai wilayah Sumatera Utara, muncul fakta yang lebih busuk dari lumpur: pengkhianatan institusional. Di tengah ratap tangis para korban yang kehilangan segalanya, oknum pejabat di Dinas Sosial Kabupaten Samosir justru melihat bencana sebagai proyek berharga. Dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) bencana sebesar Rp1,5 Miliar bukan sekadar tindak pidana; ini adalah kejahatan ganda yang menusuk nurani, merampas hak hidup warga yang paling rentan, dan menegaskan bahwa moralitas birokrasi kita sedang berada di titik nol.
Ini bukan hanya penyimpangan anggaran yang biasa. Ini adalah kejahatan diluar nalar dan beberapa orang menganggap yang melakukan ini sakit, karena menargetkan subjek yang paling rentan: korban bencana. Korupsi dana Bansos sama artinya merampas hak warga yang rumahnya hilang ditelan air, yang ladangnya lenyap dihantam longsor, dan yang mata pencahariannya terputus. Para korban menderita kerugian dua kali lipat: kerugian fisik dan materi akibat bencana alam, serta kerugian moral dan materi akibat korupsi bantuan yang seharusnya menjadi tangan negara yang mengulurkan pertolongan.
Dana senilai Rp1,5 Miliar yang seharusnya digunakan untuk memulihkan kehidupan ratusan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Samosir, justru disunat dengan modus pemotongan fee sepihak. Dilansir dari detiksumut, dia melakukan korupsi sebesar Rp 516.298.000 atau Rp 516 juta dari Rp 1.515.000.000 yang bersumber dari Kementrian Sosial RI. Ini menegaskan bahwa bencana, bagi segelintir oknum, adalah proyek yang menghasilkan keuntungan pribadi, bukan panggilan kemanusiaan untuk berempati dan melayani.
Ada beberapa pola yang terus berulang. Kejahatan korupsi di masa bencana terus terjadi karena adanya celah sistemik yang sengaja dibiarkan. Situasi darurat menuntut pengadaan barang dan penyaluran dana yang serba cepat, sehingga mekanisme pengawasan dan transparansi sering dikesampingkan.
Yang pertama, fleksibilitas prosedur pengadaan tanpa tender ketat membuka ruang bagi mark-up harga (penggelembungan) dan kickback dari vendor yang ditunjuk langsung. Kedua, mekanisme pemotongan, pemalsuan daftar penerima fiktif, atau pengurangan kualitas barang bantuan. Dan terakhir, laporan fiktif atau manipulasi dokumen pertanggungjawaban dana yang telah dicairkan. Jika celah-celah ini tidak ditutup secara permanen, kasus Sumut hanya akan menjadi babak baru dari serial korupsi dana bencana di Indonesia.
Persoalan ini bukan hanya tentang korupsi Bansos semata, tetapi juga tentang keadilan iklim. Bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, kekeringan) kini semakin intensif akibat krisis iklim global. Negara berkewajiban menyiapkan adaptasi dan mitigasi, termasuk dana pemulihan. Ketika dana pemulihan ini dicuri, artinya negara gagal melindungi warganya dari dampak krisis iklim yang merusak. Korupsi dana bencana adalah bentuk ketidakadilan iklim yang paling kejam.
Berkaca dari kasus-kasus besar sebelumnya, seperti korupsi Bansos COVID-19 yang menjerat mantan menteri sosial. Meskipun kasus tersebut menimbulkan kemarahan publik yang luar biasa, ancaman hukuman terberat sesuai Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang berlaku dalam keadaan bencana nasional/tertentu, seringkali gagal diterapkan secara maksimal.
Korupsi dana bencana adalah aib yang merobek-robek moral bangsa. Sudah saatnya pengawasan menjadi darurat etika yang setara dengan darurat bencana itu sendiri. Penegak hukum dan lembaga pengawasan menghadapi tantangan besar untuk membuktikan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi di masa sulit.
Transparansi real-time data penerima bantuan dan pelibatan masyarakat sipil dalam mengaudit setiap rupiah dana bantuan harus menjadi standar baku dalam manajemen bencana, bukan sekadar pelengkap. Hanya dengan mekanisme pengawasan yang kuat dan penindakan tanpa pandang bulu, negara dapat mengembalikan kepercayaan publik yang hancur.
Jika penindakan hukum tidak tegas dan hanya sebatas hukuman ringan, itu berarti negara secara implisit memberi izin kepada predator anggaran untuk terus memangsa di saat rakyat sedang berjuang untuk hidup. Jangan biarkan ironi di tengah air mata ini menjadi budaya birokrasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
