Gagasan Strategis Otonomi Khusus Sumatera Selatan
Politik | 2025-12-26 15:58:59
Oleh:
M. Haekal Al-Haffafah, S.Sos, M.Sos
Sekretaris Asiosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Sumatera-Selatan
Provinsi Sumatera Selatan memiliki posisi strategis dalam peta pembangunan nasional dengan basis daerah penghasil energi, batubara, dan komoditas primer, Sumsel juga merupakan ruang di mana masyarakat secara langsung menghadapi dampak sosial dan ekologis dari aktivitas ekstraktif. Meskipun kontribusi fiskal Sumatera Selatan terhadap negara sangat besar, kapasitas daerah dalam mengelola sumber daya, merencanakan pembangunan, dan menata fiskal masih terbatas. Dalam konteks inilah, Otonomi Khusus (Otsus) perlu digagas sebagai instrumen desentralisasi asimetris (model dimana daerah diberi wewenang lebih atau punya fleksibilitas yang berbeda) yang memungkinkan daerah memperkuat kapasitas lokal, meningkatkan akuntabilitas, dan menyeimbangkan distribusi manfaat pembangunan.
Kalau kita baca konteks sejarah maka kita akan temukan bahwa sejak dari era kolonial, Sumatera Selatan telah menjadi Extractive political economy (model pembangunan ekonomi politik yang ekstraktif) yakni produksi sumber daya strategisnya diambil, sementara distribusi manfaat yang dirasakan timpang karena akumulasi nilai tambah ekonomi cenderung terkonsentrasi di pusat. Jika dibaca lebih lanjut, pasca kemerdekaan kendali atas sektor energi dan pertambangan sebagian besar masih berada di tangan pemerintah pusat, sekalipun secara adminitrasi tampilan desentralisasi terlihat lebih luas.
Secara teoritis perspektif desentralisasi fiskal, yang pernah dijelaskan oleh Wallace Oates (1999) dan Jonathan Rodden (2006), efektivitas otonomi daerah bergantung pada tiga aspek: Pertama, keselarasan kewenangan, Kedua tanggung jawab, dan Ketiga, kapasitas fiskal. Persoalannya adalah ketidakseimbangan ketiganya yang sekarang justru cenderung menimbulkan ketergantungan fiskal dan melemahkan akuntabilitas lokal. Pada saat bersamaan kita dihadapkan fakta, Sumsel sangat ketergantungan pada Dana Bagi Hasil (DBH) dan transfer pusat, meskipun Sumsel sebagai satu daerah penyumbang besar terhadap penerimaan negara, desentralisasi simetris (untuk menjelaskan struktur kewenangan yang seragam) belum cukup untuk memperbaiki ketimpangan.
Di sinilah Otonomi Khusus menawarkan alternatif strategis. Rasionalisasi itu bisa ditemukan lewat gagasan Literatur multi-level governance (Hooghe & Marks, 2003) yang memberi penegasan bahwa pengaturan asimetris merupakan respons yang logis terhadap keragaman kapasitas, fungsi ekonomi, dan beban pembangunan antarwilayah. Contoh Negara-negara luar dengan wilayah penghasil sumber daya strategis, seperti Alberta di Kanada atau Catalonia di Spanyol, memberikan fleksibilitas fiskal dan regulatif agar daerah dapat mengelola dampak sosial, ekonomi, dan ekologis dari ekstraksi sumber daya. Di Indonesia, pengalaman Otsus di Aceh dan Papua juga menunjukkan bahwa kekhususan fiskal dan regulatif dapat meningkatkan stabilitas politik, efisiensi pengelolaan sumber daya, dan kapasitas lokal, meski tetap membutuhkan mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah elite capture.
Selain itu, Otsus Sumatera Selatan memberikan peluang bagi pembangunan inklusif dan berkelanjutan. Daerah dapat merancang perencanaan pembangunan berbasis wilayah terdampak, memperkuat mekanisme pengawasan, dan mengelola pendapatan dengan sensitivitas terhadap kebutuhan lokal. Perspektif ini menekankan bahwa Otsus bukan ancaman bagi kepentingan nasional, melainkan sarana untuk memperkuat stabilitas energi, keadilan pembangunan, dan kapasitas lokal.
Secara konstitusional, Pasal 18B UUD 1945 membuka ruang bagi pengakuan kekhususan daerah, sementara UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan memberikan kerangka implementasi desentralisasi dan pengaturan fiskal. Tantangan utama adalah bagaimana mendesain institusional yang efektif, termasuk transparansi fiskal, pengawasan legislatif, audit independen, dan partisipasi masyarakat sipil. Dengan mekanisme ini, Otsus tidak bisa dipandang sekadar alat politik lokal atau pusat.
Studi komparatif internasional juga menekankan pentingnya pendekatan berbasis bukti dan evaluasi berkelanjutan. Misalnya bisa dibaca bagaimana eksperimen fiskal di wilayah penghasil sumber daya di Kanada dan Australia menunjukkan bahwa alokasi fiskal yang proporsional dengan kontribusi daerah dan mekanisme pengawasan yang kuat meningkatkan efektivitas pembangunan lokal dan legitimasi politik (Bird & Smart, 2002). Di Indonesia, analogi ini relevan untuk Sumatera Selatan: Otsus harus dirancang sebagai blueprint pembangunan nasional yang adil, berkelanjutan, dan akuntabel.
Dengan demikian, dukungan terhadap Otonomi Khusus Sumatera Selatan memiliki justifikasi akademik, historis, dan langkah strategis untuk memastikan nilai tambah sumber daya strategis terdistribusi adil, kapasitas lokal diperkuat, dan stabilitas politik-ekonomi nasional terjaga. Sebagai akademisi, tanggung jawab utama adalah memastikan kebijakan besar seperti Otsus dibangun atas argumentasi ilmiah, kesadaran historis, dan kepentingan publik jangka panjang. Dalam kerangka ini, Otsus Sumatera Selatan mesti dipandang sebagai instrumen strategis untuk membangun relasi pusat-daerah yang lebih rasional, adil, dan berkelanjutan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
