Tekanan untuk Sukses Dini dan Risiko Burnout pada Anak Muda
Eduaksi | 2025-12-25 13:02:02Beberapa tahun belakangan, narasi tentang kesuksesan di usia muda semakin mendominasi di masyarakat. Anak muda kerap disuguhi gambaran bahwa usia muda adalah masa paling ideal untuk mencapai kesuksesan, memiliki karir yang mapan, penghasilan besar, lulus cepat, dan pengakuan sosial. Menurut (Adam Grant, 2021) "Ketika kesuksesan dipersempit menjadi pencapaian di usia dini, banyak orang akhirnya merasa tertinggal, padahal perkembangan manusia tidak berjalan dalam satu garis waktu yang sama." Kesuksesan seolah memiliki batas waktu, yang membuat anak muda merasa tertinggal jika tidak sesegera mengejar "kesuksesan" itu. Tekanan inilah yang tanpa diketahui dapat membuat anak muda menghadapi risiko burnout yang serius.
Dalam hal ini peran media sosial Sangat besar dalam membentuk standar kesuksesan tersebut. Narasi tentang kesuksesan dini tersebar luas dan sering kali ditampilkan tanpa memperlihatkan proses, kegagalan, maupun perjuangan dibaliknya. Anak muda pun tanpa disadari mulai terdorong membandingkan hidup mereka dengan kesuksesan orang lain yang tampak sempurna. Perbandingan ini memicu kecemasan, rasa tidak cukup, dan ketakutan akan kegagalan, yang pada akhirnya menekan kondisi mental anak muda.
Selain media sosial yang berperan besar, tekanan sukses dini juga datang dari lingkungan terdekat, seperti keluarga dan lingkungan pendidikan. Banyak dari anak muda dibesarkan dengan ekspektasi tinggi untuk selalu unggul dan tidak mengecewakan. Standar keberhasilan sosial sering kali diukur berdasarkan prestasi akademik, pilihan jurusan, hingga rencana karier, yang seharusnya standar keberhasilan bisa diukur berdasarkan minat dan kapasitas individu. Hal ini mengakibatkan anak muda cenderung memaksakan diri, bekerja melampaui batas, dan mengabaikan kebutuhan istirahat demi memenuhi harapan tersebut.
Tekanan yang berlangsung terus menerus ini dapat memicu burnout yang serius. Kondisi ini ditandai dengan kelelahan fisik dan emosional, menurunnya motivasi, serta perasaan hampa terhadap aktivitas yang sebelumnya sangat disukai. Ironisnya, burnout sering kali tidak disadari atau bahkan dianggap sebagai bentuk kemalasan dan kurangnya semangat meraih mimpi. Stigma ini membuat banyak anak muda enggan mencari bantuan dan justru semakin tenggelam dalam tekanan yang ia hadapi.
Jika dibiarkan begitu saja tanpa penanganan khusus, burnout dapat berdampak buruk, mulai dari menurunnya kualitas hidup hingga munculnya gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Lebih dari itu tekanan sukses dini dapat berpotensi menghilangkan rasa ingin mengeksplorasi dunia pada anak muda, yang dimana anak muda kehilangan ruang untuk mencoba, ruang untuk merasakan kegagalan, dan ruang untuk tumbuh secara alami.
Dengan ini diperlukan perubahan cara pandang terhadap makna kesuksesan. Kesuksesan tudak seharusnya diukur dari seberapa cepat kesuksesan itu dapat diraih, melainkan dari proses berkembang yang sehat dan konsisten. Lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat perlu memberikan dukungan yang menekankan keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental. Anak muda juga perlu diyakinkan bahwa proses yang panjang dan memakan waktu bukan berarti gagal.
Pada akhirnya, menunda kesuksesan bukanlah sebuah kelemahan, melainkan bagian dari proses untuk mencapai kesuksesan tersebut. Dengan membebaskan anak muda dari tekanan sukses dini yang berlebihan, hal itu tidak hanya mencegah burnout, tetapi memberi ruang bagi lahirnya generasi yang lebih sehat, tangguh, dan bermakna dalam menjalani kehidupan.
Asma Rodhia Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan Prodi Pendidikan Matematika.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
