Hukum dan Adab Anak Menegur atau Menasihati Orang Tua
Agama | 2025-12-19 23:24:23Dalam dinamika kehidupan berkeluarga, hubungan antara anak dan orang tua merupakan salah satu hubungan paling fundamental dan sensitif. Dalam masyarakat modern Indonesia, tidak jarang pergesekan nilai muncul antara generasi tua dan muda, terutama ketika anak merasa perlu mengoreksi atau menegur perilaku orang tua. Fenomena ini memperlihatkan ketegangan antara nilai penghormatan kepada orang tua dan kebutuhan untuk memberikan masukan kritis demi kebaikan bersama. Dalam konteks hukum dan etika agama, khususnya Islam, hal ini bukan hanya persoalan interpersonal tetapi juga menyentuh ranah moral dan kewajiban spiritual anak terhadap orang tua.Hasil kajian dari berbagai jurnal menunjukkan bahwa hubungan anak dengan orang tua dalam Islam diatur secara komprehensif, antara lain menyangkut kewajiban orang tua mendidik anak serta balasan anak kepada orang tua yang patut dihormati dalam segala keadaan. Penelitian yang membahas hubungan orang tua dan anak secara luas menyatakan bahwa dalam hukum Islam anak wajib berbuat baik kepada orang tua dan menghormati mereka tanpa syarat, bahkan ketika terjadi perselisihan internal, karena berbakti kepada orang tua merupakan bagian dari inti nilai keagamaan birr al-wālidayn yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan hadis. Namun, bagaimana ketika seorang anak merasa perlu menegur atau menasehati orang tua yang berbuat salah? Surat-surat tafsir klasik dan literatur kontemporer menjelaskan bahwa nasihat kepada orang tua dibolehkan dan bahkan bisa menjadi bagian dari bentuk bakti asalkan dilakukan dengan adab yang tepat, tidak berniat untuk merendahkan kedua orang tuanya dan tidak merasa dirinya lebih baik dari orang tuanya.
Dasar Hukum dan Perspektif Agama
Dalam ajaran Islam, hubungan anak dan orang tua dikenal dengan istilah birr al-wālidayn, penghormatan total kepada ibu dan ayah. Konsep ini tidak hanya mencakup rasa hormat secara lahir tetapi juga dukungan dan doa kepada orang tua selama hidup dan bahkan setelah mereka meninggal dunia. Meski demikian, agama tidak melarang seorang anak menasehati orang tua ketika orang tua melakukan perbuatan yang salah atau bertentangan dengan ajaran agama, asalkan dilakukan dengan etika (adab) dan cara yang baik. Dialog Nabi Ibrahim kepada bapaknya, yang tercatat dalam Al-Qur’an, adalah salah satu contoh klasik di mana seorang anak mengingatkan orang tua dengan penuh hormat tanpa menghina atau merendahkan derajatnya. Situs kajian fikih Islam menyatakan bahwa seorang anak boleh menasehati orang tua dengan cara sopan dan bijaksana ketika perilaku orang tua tidak sesuai dengan nilai agama atau moral; dibolehkan tetapi tetap harus menjaga penghormatan, kesopanan dan tidak memprovokasi konflik. Menasehati atau menegur orang tua bukanlah persoalan sederhana yang bisa dikategorikan sebagai durhaka atau patuh semata. Dari sudut hukum Islam, seorang anak dibolehkan menasehati orang tua jika itu dimaksudkan untuk kebaikan dan dilakukan dengan adab yang baik, sopan, serta penuh penghormatan. Konsep birr al-wālidayn tidak hanya berarti taat secara mutlak, tetapi juga mencakup tanggung jawab moral untuk mengingatkan orang tua terhadap kesalahan tanpa melecehkan. Etika nasihat yang santun, pilihan waktu tepat, dan pendekatan yang penuh empati merupakan bagian penting dalam membangun hubungan keluarga sehat, apalagi di tengah tantangan zaman yang terus berubah. Selain itu, perspektif psikososial menunjukkan bahwa hubungan anak–orang tua yang sehat bergantung pada saling menghormati dan keterbukaan antar generasi, sehingga nasihat bukan dianggap ancaman, tetapi sebagai bentuk keterlibatan emosional yang positif. Dengan memahami hukum, etika, serta konteks sosial budaya keluarga, kita bisa membangun keluarga yang tidak hanya harmonis tetapi juga adaptif terhadap dinamika kehidupan modern tanpa mengabaikan nilai-nilai luhur penghormatan kepada orang tua.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
