Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Jaminan Halal di Tepi Jalan: Tantangan dan Urgensi Sertifikasi bagi Pedagang Kaki Lima

Agama | 2025-12-14 19:41:51
Jaminan Halal (Photo Republika)

Ismail Suardi Wekke

(Tenaga Ahli UPT Halal UMI 2025; Anggota Tim Percepatan Wisata Halal Kab Maros 2021-2024)

Kita mulai dari tayangan penjual mie yang menggunakan minyak babi. Tetapi penjualnya pakai peci putih (yang terkesan bahwa itu muslim). Begitu pula dengan salah satu pekerja di gerobak mie itu, menggunakan penutup kepala (seolah-olah adalah jilbab). Melihat sekilas, ini bisa “menjebak” pembeli. Padahal, zatnya menggunakan minyak babi.

Pedagang Kaki Lima (PKL) bagian nadi perekonomian rakyat, menyajikan aneka ragam kuliner yang akrab di lidah dan ramah di kantong. Namun, di tengah hiruk pikuk gerobak dan aroma masakan, muncul isu krusial terkait jaminan produk halal. Bagi mayoritas penduduk Indonesia yang Muslim, status kehalalan produk pangan adalah isu fundamental. Keperluan utama terkait dengan soal kepatuhan agama. Melampaui itu, juga menyangkut perlindungan konsumen, seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH).

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH secara tegas mewajibkan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia untuk bersertifikat halal. Kewajiban ini, yang tahapannya berlaku secara bertahap, merupakan manifestasi dari tanggung jawab negara dalam melindungi hak spiritual dan kesehatan warga negaranya. Filosofinya sederhana: setiap konsumen berhak atas informasi yang jelas dan produk yang aman, baik secara fisik maupun syariat.

Meski regulasi telah ada, implementasi kewajiban sertifikasi halal pada sektor PKL menghadapi tantangan unik. Skala usaha mikro dan kecil seringkali terkendala oleh keterbatasan sumber daya, mulai dari biaya, waktu, hingga minimnya pemahaman terhadap prosedur sertifikasi. Penelitian menunjukkan bahwa banyak PKL belum sepenuhnya tersosialisasi mengenai program sertifikasi, bahkan skema yang lebih mudah seperti Self-Declare (Pernyataan Mandiri).

Bagi PKL, sertifikasi halal bukan sekadar beban administratif, melainkan investasi strategis. Dengan memiliki label halal, PKL meningkatkan daya saing dan memperluas pangsa pasar, khususnya di kalangan konsumen Muslim yang sangat sensitif terhadap isu kehalalan. Label ini berfungsi sebagai penanda kualitas dan keamanan yang pada akhirnya menumbuhkan tingkat kepercayaan pelanggan dan menjamin keberlanjutan usaha.

Menyadari keterbatasan UMKM, pemerintah memperkenalkan skema sertifikasi halal Self-Declare. Skema ini dirancang khusus untuk memudahkan pelaku usaha mikro dan kecil, dengan persyaratan yang lebih sederhana dan dukungan pendampingan dari pemerintah. Inisiatif ini adalah jembatan untuk memastikan bahwa kepatuhan terhadap regulasi JPH dapat dijangkau oleh semua lapisan pelaku usaha, termasuk PKL.

Di sisi lain, bagi produk yang secara bahan baku atau proses tidak memenuhi kriteria halal, terdapat kewajiban deklarasi non-halal. Deklarasi ini sama pentingnya dengan sertifikasi halal, karena memastikan transparansi dan memberikan hak informasi yang setara bagi semua konsumen. Penandaan yang jelas, baik melalui label atau penempatan yang terpisah, wajib dilakukan untuk menghindari kerancuan dan melindungi konsumen Muslim dari produk yang dilarang agama mereka.

Efektivitas implementasi regulasi ini sangat bergantung pada peran aktif Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan pemerintah daerah. Pengawasan yang ketat dan berkelanjutan diperlukan untuk memastikan produk beredar sesuai dengan status yang diklaim. Namun, pengawasan harus dibarengi dengan program pembinaan dan edukasi yang intensif, membantu PKL memahami Sistem Jaminan Halal (SJH) yang harus mereka terapkan.

Secara sosial, regulasi JPH dan kewajiban deklarasi non-halal mempromosikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jaminan ini terkait erat dengan prinsip Maqāṣid al-Sharīʿah, khususnya Hifdz ad-Dīn (menjaga agama) dan Hifdz an-Nafs (menjaga jiwa/kesehatan). Perlindungan ini melampaui aspek fisik, menyentuh kebutuhan spiritual umat dalam menjalankan ajaran agamanya.

Untuk mencapai ekosistem halal yang inklusif, sinergi antara pemerintah, akademisi, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan komunitas PKL sangat esensial. Edukasi yang tepat dan dukungan teknis harus terus digalakkan. Dengan demikian, PKL dapat bertransformasi dari sekadar penjual makanan menjadi bagian integral dari rantai nilai industri halal global, tanpa mengorbankan karakteristik kesederhanaan usahanya.

Kewajiban sertifikasi halal dan deklarasi non-halal bagi Pedagang Kaki Lima adalah langkah progresif dalam memastikan perlindungan konsumen yang komprehensif di Indonesia. Meskipun tantangan implementasi masih ada, upaya kolaboratif diharapkan dapat mewujudkan pasar kuliner jalanan yang tidak hanya lezat dan terjangkau, tetapi juga terjamin kehalalannya, menciptakan kepastian hukum dan ketenangan batin bagi setiap penikmatnya.

Terakhir, apa yang dilihat sekilas (perlu diterokai lebih jauh, dimana kita perlu mendapatkan konteks dan penjelasan komprehensif) dalam video penjual mie ayam tersebut menjadi tugas bersama dalam perlindungan konsumen. Ini juga terkait dengan bagaimana kita tetap memberikan kesempatan kepada pedangang kaki lima untuk tetap berjualan. Pada saat yang sama, memiliki “kejujuran”. Sehingga setiap kita, sekalipun di jalanan, mendapatkan kesempatan untuk terhindar dari makanan haram.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image