Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jovan Indra Nathaniel

Bolehkah Negara Meminta Narapidananya Dipulangkan?

Hukum | 2025-12-14 01:09:10


Pada 21 Oktober 2025, Indonesia dan Inggris menandatangani kesepakatan Transfer of Sentenced Persons (TSP) secara virtual antara Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra serta Menteri Luar Negeri Inggris Yvette Cooper. Kesepakatan ini menjadi dasar hukum bagi pemulangan dua warga negara Inggris, Lindsay June Sandiford dan Shahab Shahabadi, yang merupakan narapidana kasus narkotika di Indonesia. Keduanya dipindahkan ke Inggris dengan pertimbangan kemanusiaan karena kondisi kesehatan yang memburuk.

SONNY TUMBELAKA/AFP via Getty Images

Proses ini diawali sejak awal 2025 melalui serangkaian pertemuan diplomatik antara Menkopolhukam, Kemenkumham, dan Kedutaan Besar Inggris, hingga akhirnya disepakati mekanisme pemindahan yang mencakup aspek hukum, administratif, dan logistik. Menurut Yusril, kerja sama ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam menegakkan diplomasi kemanusiaan tanpa mengabaikan kedaulatan hukum nasional, serta memperkuat kerja sama internasional di bidang hukum pidana.

Dokumen Kemenko Kumham Imipas

Transfer of Sentenced Persons (TSP) adalah skema kerja sama antarnegara dalam bentuk pemindahan narapidana. Hingga kini, tidak terdapat konvensi atau instrumen hukum secara internasional yang bersifat universal dan mengikat (legally binding) terkait TSP; negara hanya menggunakan perjanjian bilateral atau pedoman.

Pada dasarnya, warga negara asing yang berada di suatu negara wajib mematuhi ketentuan hukum yang berlaku di negara tempat ia berada. Jika warga negara asing tersebut terbukti melakukan tindak pidana, ia harus menjalankan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum di negara tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi seorang WNA yang dipidana untuk kembali ke negara asalnya. Pasal 45 ayat (1) UU 22/2022 tentang Pemasyarakatan mengatur bahwa narapidana dapat dipindahkan ke negara lain hanya jika ada perjanjian antarnegara. Dengan kata lain, transfer ini hanya dapat dilakukan jika ada perjanjian antarnegara terkait proses pemindahan.

PBB memiliki Model Agreement on the Transfer of Foreign Prisoners and Recommendations on the Treatment of Foreign Prisoners, tetapi keduanya bersifat tidak mengikat (non-binding). Pedoman ini hanya mengatur tata cara pemindahan, bukan kewajiban hukum.

Jika Indonesia menolak pelaksanaan TSP, penolakan tersebut bukan merupakan pelanggaran kewajiban HAM internasional. Sesuai dengan model agreement sebelumnya, sebuah negara tidak memiliki kewajiban untuk meminta atau memberi transfer of sentenced persons. Tentu tidak terlanggarnya kewajiban HAM di sini berkondisi bahwa Indonesia juga memberikan pemberlakuan yang sesuai standar kemanusiaan terhadap narapidana dalam konteks hukum internasional sesuai dengan “United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners” (Nelson Mandela Rules).

Secara hukum internasional, penandatanganan TSP antara Indonesia dan Inggris berakar pada dua prinsip, yakni kedaulatan negara dan tanggung jawab internasional.

Prinsip kedaulatan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyatakan bahwa “The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its Members.” Artinya, setiap negara memiliki kesetaraan dalam melaksanakan yurisdiksi dan menentukan hukum pidananya sendiri, termasuk dalam menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap warga negara asing. Namun, prinsip kedaulatan ini juga dibingkai oleh kewajiban negara untuk menghormati hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 Vienna Convention on Consular Relations (VCCR) 1963.

Dalam kasus Lindsay Sandiford dan Shahab Shahabadi, diplomasi Indonesia–Inggris menunjukkan model humanitarian diplomacy, yaitu pemberian pemindahan atas dasar kondisi kesehatan tanpa mengurangi kedaulatan penegakan hukum Indonesia. Selain itu, TSP bersifat timbal balik (reciprocity), yaitu membuka peluang bagi Indonesia untuk memulangkan warganya yang dipidana di luar negeri.

Muhammad Ramdan/ANTARA PHOTO

Pertama, perjanjian ekstradisi. Ekstradisi bersifat penyerahan orang (tersangka/terdakwa atau terpidana) dari satu negara ke negara lain untuk tujuan pengadilan atau pelaksanaan hukuman; ia adalah mekanisme formal dan koersif yang mensyaratkan perjanjian bilateral atau asas “hubungan baik” bila perjanjian tidak ada. Contoh: Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura mulai berlaku efektif 21 Maret 2024 setelah ratifikasi melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2023.

Kedua, mutual legal assistance. Bantuan timbal balik bersifat bantuan proses hukum dan bukan penyerahan orang; berdasarkan perjanjian bilateral/multilateral atau asas resiprositas, dan tidak menyebabkan negara peminta mengambil alih yurisdiksi negara lain. Contoh: Perjanjian MLA antara Indonesia dan Polandia yang disepakati 12 Juni 2024 sebagai kerjasama hukum transnasional.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image