Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diana Pungky

Kemana Perginya Kaum Muda dari Mesjid?

Agama | 2025-12-11 22:50:01

EDITORIAL: Ketika Masjid Ditinggalkan Kaum Muda 

Mesjid Ashabul Yamin milik Ma'had Darulhusna, Ciampea-Bogor

Di banyak kota, bahkan di kawasan yang dikelilingi pusat keramaian, pemandangan masjid dengan jamaah muda yang nyaris kosong bukan lagi anomali. Setiap Maghrib, adzan berkumandang jelas, namun saf hanya terisi oleh para lansia yang setia menjaga rumah Allah. Sementara itu, di saat yang sama, kafe-kafe dipadati anak muda hingga larut malam, dan akun media sosial dipenuhi foto-foto pendakian gunung yang penuh tantangan. Masjid yang berjarak lima menit terasa terlalu jauh. Tapi kafe yang menguras uang, dan gunung yang menguras tenaga, terasa begitu dekat.

ironisnya , Fenomena ini tidak hanya terjadi di Kota-kota besar atau wilayah yang potensinya ramai, di kampung yang identic dengan suasana religius dan memiliki tradisi keagamaan yang kental saja masjid sudah ramai di tinggalkan sebetulnya ada apa?

Fenomena ini tidak bisa dibaca sebagai sekadar perubahan hobi atau tren gaya hidup. Ini adalah gejala pergeseran nilai serta melemahnya orientasi spiritual dikalangan pemuda. Ketika pusat kegiatan anak muda bergeser dari ruang pembinaan ke ruang hiburan, dari masjid ke kafe, dari majelis ilmu ke timeline media sosial, maka kita sedang menyaksikan perubahan budaya yang mengkhawatirkan.

Pemuda yang Setia di Kafe, Lalai di Masjid

Tak sedikit anak muda yang mampu duduk berjam-jam di kafe, membayar mahal demi suasana cozy dan WiFi cepat. Namun mereka merasa berat untuk hadir 10 menit lebih awal di masjid. Mereka sanggup mendaki gunung berjam-jam, menembus dingin dan medan terjal demi konten dan pengakuan digital, tetapi sulit sekali melangkahkan kaki ke masjid meski hanya berjarak beberapa meter dari rumah.

Perbandingan ini seharusnya menjadi alarm keras: kegiatan yang menuntut uang, waktu, dan tenaga begitu mudah dilakukan, tetapi ibadah paling sederhana justru terasa berat. Bukan karena sulit, tetapi karena hati tidak lagi terpaut.

Masjid: Ruang yang Tidak Lagi Ditempati Pemuda

Sebagian pemuda merasa masjid terlalu kaku, kurang ramah, atau tidak relevan dengan kebutuhan mereka. Ada pula yang membawa pengalaman tidak menyenangkan, diingatkan dengan cara yang salah, dicurigai karena pakaian, atau dianggap “pengganggu ketenangan”. Sebagian besar masjid belum bergerak menyesuaikan diri dengan dinamika zaman: program pemuda minim, ruang dialog kurang, dan fasilitas tidak menarik bagi generasi digital.

Akibatnya, masjid kehilangan magnetnya. Dan ketika magnet hilang, yang pergi bukan hanya kaki, tetapi hati.

Orang Tua Harus Waspada: Anak Tidak Pindah ke Masjid, Tetapi ke Dunia Lain

Di tengah perubahan ini, peran orang tua menjadi sangat penting. Banyak orang tua yang begitu cepat memenuhi keinginan anak untuk nongkrong, membelikan HP, memfasilitasi motor, atau mengizinkan aktivitas di luar; namun lalai memeriksa kehadiran anaknya di masjid. Sebagian lebih cemas ketika anak telat pulang dari kafe, tetapi tidak cemas ketika anak telat shalat.

Orang tua harus bertanya jujur:

Apakah saya telah menanamkan kecintaan pada masjid? Atau justru membiarkan anak saya tumbuh tanpa keterikatan dengan rumah Allah?

Jika orang tua tidak waspada, anak-anak akan semakin tenggelam dalam dunia virtual dan budaya nongkrong, hingga masjid menjadi tempat asing bagi mereka. Ketika generasi muda jauh dari masjid, jarak itu nantinya akan menjadi jurang yang sulit dipulihkan.

Kesimpulan: Masa Depan Masjid Bergantung pada Pemuda Hari Ini

Masjid bukan hanya tempat shalat, tetapi simbol keberlangsungan iman sebuah masyarakat. Dan masa depannya sangat ditentukan oleh siapa yang berada di saf depan hari ini. Bukan hanya lansia yang setia, tetapi pemuda yang kelak memimpin umat.

Kita tidak boleh menganggap fenomena kosongnya saf-saf muda sebagai hal biasa. Ini adalah tanda bahaya. Pemuda bergerak menjauh, dan tugas kitalah—orang tua, masyarakat, dan pengurus masjid—untuk mengulurkan tangan, bukan menyalahkan, tetapi merangkul.

Karena ketika pemuda kembali ke masjid, bukan hanya masjid yang hidup. Umat ini pun ikut bangkit.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image