Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizal rifaldi ahmad fauzi Fauzi

Jual Beli Produk Digital: Dilema Baru dalam Fikih Muamalah

Agama | 2025-12-11 08:47:14

Dunia bergerak begitu cepat, dan di antara kita, transaksi tidak lagi hanya melibatkan uang tunai, emas, atau sertifikat tanah. Kini, kita bicara tentang NFT (Non-Fungible Token) yang terjual ratusan juta, aset virtual dalam game yang nilainya melebihi rumah, dan tentu saja, hiruk-pikuk mata uang kripto.

Munculnya produk-produk digital ini bukan hanya revolusi teknologi, tetapi juga tantangan besar bagi disiplin ilmu yang telah berusia ribuan tahun: Fikih Muamalah. Sebagai pedoman interaksi ekonomi umat Islam, fikih muamalah memiliki prinsip utama: transaksi harus adil, jelas, dan memberikan manfaat riil. Pertanyaannya, apakah aset-aset digital yang abstrak ini mampu lolos dari saringan ketat syariat?

Harta yang Berharga, Tapi Tidak Berwujud

Inti dari sahnya jual beli dalam Islam adalah keberadaan mal mutaqawwim, yakni harta yang memiliki nilai dan manfaat secara syariat. Para ulama dahulu mengklasifikasikan harta berdasarkan wujudnya: ‘aini (berwujud) dan ghairu ‘aini(tidak berwujud). Lantas, di mana posisi aset digital?

Mari kita bedah NFT. Ketika seseorang membeli NFT, ia sebenarnya tidak membeli file digitalnya (sebab file itu bisa disalin siapa saja), melainkan membeli sertifikat kepemilikan dan keunikan atas data tersebut di jaringan blockchain. Sederhananya, ini seperti membeli hak koleksi. Jika hak koleksi ini memiliki manfaat yang jelas bagi pembelinya misalnya untuk branding atau penggunaan eksklusif maka ia memiliki potensi nilai manfaat (manfa’ah).

Jebakan Gharar dan Godaan Maysir

Dalam fikih, salah satu larangan paling keras adalah adanya gharar (ketidakjelasan) yang parah, yang dapat merugikan salah satu pihak.

Ambil contoh mata uang kripto. Sifatnya yang terdesentralisasi tidak didukung oleh aset riil maupun diatur oleh bank sentral menjadikan harganya sangat fluktuatif, naik turun drastis dalam hitungan jam. Para ulama kontemporer cenderung melihat volatilitas ekstrem ini sebagai gharar fakhisy (ketidakjelasan berat).

Selain itu, kripto dan sebagian besar transaksi NFT sangat rentan terhadap motif spekulasi murni. Jika seseorang bertransaksi hanya untuk meraup keuntungan dari perbedaan harga dalam waktu singkat, tanpa ada niat untuk memanfaatkan fungsi objek tersebut, aktivitas ini berpotensi menyerupai maysir (judi) yang dilarang keras. Transaksi semacam ini menggeser tujuan ekonomi dari pertukaran nilai yang bermanfaat menjadi permainan untung-untungan.

Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) di Indonesia, misalnya, telah menegaskan bahwa kripto sebagai mata uang hukumnya haram karena tidak memenuhi syarat tsaman (alat tukar resmi) dan mengandung unsur gharar serta merugikan.

Keadilan dan Kejelasan sebagai Fondasi

Walaupun fikih muamalah berpegang pada prinsip bahwa segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya (al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah), prinsip kebolehan ini memiliki batasan yang ketat. Batasan itu adalah kejelasan objek transaksi (ma’lum) dan keadilan bagi semua pihak.

Jika aset digital yang diperjualbelikan (seperti aset dalam game atau lisensi digital) memberikan manfaat riil, terukur, dan terhindar dari spekulasi murni, ia mungkin dapat disamakan dengan hak cipta atau lisensi software yang sah secara syariat.

Namun, selama pasar aset digital didominasi oleh ketidakjelasan wujud, manfaat yang spekulatif, dan volatilitas yang ekstrem, umat Islam harus mengambil sikap kehati-hatian (sadd adz-dzari'ah).

Teknologi akan terus melaju, tetapi tugas kita adalah memastikan bahwa setiap inovasi ekonomi tetap berada di bawah payung syariat, bebas dari unsur riba, gharar, dan maysir. Sebab, sejatinya, tujuan ekonomi Islam bukan hanya mencari kekayaan, melainkan mewujudkan keadilan dan keberkahan dalam setiap transaksi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image