Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diego Forlan

Laut China Selatan dan Kepemimpinan Indonesia di ASEAN

Politik | 2025-12-10 10:48:20

Konflik yang Tidak Lagi Bersifat Lokal

Ketegangan di Laut China Selatan kembali meningkat. Insiden benturan kapal, pembangunan instalasi militer, hingga manuver kekuatan besar telah menjadikan kawasan ini salah satu titik paling sensitif dalam politik Indo-Pasifik. Konflik yang pada awalnya bersifat bilateral kini berubah menjadi isu regional yang memengaruhi stabilitas Asia Tenggara secara keseluruhan.

Transformasi konflik ini tidak terjadi dalam semalam. Tumpang tindih klaim teritorial, perebutan sumber daya alam, serta posisi Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan dunia membuat sengketa ini bereskalasi melampaui batas politik domestik negara-negara pengklaim. Kombinasi faktor geopolitik dan ekonomi menjadikan Laut China Selatan arena kompetisi strategis yang perlu ditangani dengan pendekatan kawasan.

Ekspansi Konflik dan Tarikan Kepentingan Global

Salah satu faktor utama eskalasi konflik adalah meningkatnya aktivitas militer di kawasan. Reklamasi pulau, pembangunan fasilitas strategis, dan patroli bersenjata menciptakan kecurigaan antarnegara yang sulit dihindari. Setiap tindakan defensif dibaca sebagai ancaman, menciptakan dilema keamanan yang memperlebar ketegangan.

Di sisi lain, rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok menyumbang dinamika baru. Kehadiran militer AS melalui operasi kebebasan navigasi menegaskan bahwa Laut China Selatan tidak lagi hanya menjadi urusan negara-negara pengklaim, tetapi telah masuk dalam orbit kompetisi strategis dua kekuatan besar dunia. Ketika kepentingan global ikut bermain, ruang diplomasi ASEAN menjadi semakin terbatas dan rentan.

ASEAN di Persimpangan Jalan

ASEAN selama ini diproyeksikan sebagai jangkar stabilitas kawasan. Namun mekanisme konsensus ASEAN Way justru menjadi hambatan ketika negara anggota memiliki persepsi ancaman dan kepentingan ekonomi yang berbeda. Beberapa negara memandang Tiongkok sebagai mitra penting, sehingga langkah-langkah kolektif kerap melemah akibat tekanan politik dan ekonomi.

Proses penyusunan Code of Conduct (CoC) antara ASEAN dan Tiongkok berjalan lambat. Sementara diplomasi bergerak perlahan, realitas di lapangan berubah cepat. Ketidakseimbangan ini menciptakan kekosongan strategis yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin mengubah status quo. Dalam kondisi seperti ini, ASEAN menghadapi pertanyaan besar: apakah ia mampu mempertahankan sentralitasnya, atau justru tersisih oleh dinamika geopolitik yang lebih besar?

Mengapa Indonesia Tidak Bisa Lagi Diam?

Indonesia sering menyebut diri sebagai negara non-pengklaim. Namun perkembangan konflik menunjukkan bahwa posisi ini tidak lagi cukup. Ada tiga alasan utama mengapa Indonesia harus mengambil peran lebih aktif.

Pertama, sejumlah insiden di Laut Natuna Utara menegaskan bahwa klaim historis Tiongkok bersinggungan langsung dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Artinya, Indonesia tetap menghadapi risiko ancaman terhadap kedaulatan maritimnya.

Kedua, stabilitas jalur pelayaran yang melewati Laut China Selatan sangat penting bagi perekonomian nasional. Gangguan keamanan di kawasan tersebut dapat berdampak pada rantai pasok global dan mengganggu arus perdagangan Indonesia.

Ketiga, secara moral dan geopolitik, Indonesia dipandang sebagai pemimpin de facto ASEAN. Ketika ASEAN gamang, dunia melihat Indonesia sebagai aktor yang mampu mengarahkan kembali diplomasi kawasan. Posisi ini membawa tanggung jawab sekaligus peluang.

Arah Kebijakan yang Perlu Didorong Indonesia

Indonesia perlu memperkuat peran sebagai mediator yang netral dan kredibel. Diplomasi shuttle antarnegara pengklaim harus diintensifkan, terutama dalam upaya mempercepat penyelesaian CoC yang sesuai dengan prinsip hukum laut internasional dan memiliki mekanisme penegakan yang jelas.

ASEAN juga perlu mengembangkan mekanisme manajemen krisis maritim yang lebih operasional. Protokol untuk mencegah benturan di laut harus diperluas, tidak hanya mencakup kapal militer tetapi juga kapal penjaga pantai yang sering menjadi aktor utama dalam insiden.

Selain itu, Indonesia perlu mendorong penggunaan model ASEAN Minus X untuk menghindari kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Dengan cara ini, langkah-langkah strategis tetap dapat berjalan meskipun tidak semua negara anggota sepakat.

Di tingkat nasional, penguatan keamanan maritim di Natuna harus menjadi prioritas. Peningkatan kemampuan patroli, radar, dan infrastruktur pertahanan bukan hanya simbol, tetapi langkah nyata dalam menjaga kedaulatan.

Penutup: Kepemimpinan Indonesia Menentukan Arah Kawasan

Laut China Selatan adalah cermin dinamika geopolitik Asia saat ini. Konflik di kawasan tersebut menjadi ujian bagi solidaritas ASEAN dan kepemimpinan Indonesia. Ketika ketegangan meningkat dan tarik-menarik kepentingan semakin kuat, Indonesia tidak boleh bersikap pasif.

Indonesia memiliki kapasitas diplomatik, legitimasi regional, dan posisi strategis untuk mendorong stabilitas. Dengan langkah diplomasi yang lebih aktif dan kebijakan maritim yang lebih tegas, Indonesia dapat memastikan bahwa Asia Tenggara tetap menjadi kawasan damai, stabil, dan sejalan dengan kepentingan jangka panjang masyarakatnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image