Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azzahra Amarilla Milan Iswahyudi

Bukan Obatnya yang Salah, Tetapi Komunikasinya!

Edukasi | 2025-12-09 11:59:54
perumperindo.co.id

Pernahkah kamu membayangkan? Kamu sedang duduk di ruang tunggu klinik dengan keluhan sederhana, hanya batuk dan nyeri tenggorokan. Tapi ketika akhirnya berbicara dengan dokter, kamu hanya mendapat perkataan, seperti “Minum obat ini ya, istirahat, besok kontrol.” Obat dan resep sudah berada di tangan, tetapi kamu pergi dengan perasaan tidak diperhatikan, bingung, juga takut. Hal seperti ini mungkin terasa sepele, tetapi menurut sejumlah penelitian, komunikasi antara dokter dan pasien jauh lebih dari sekadar pelengkap administratif. Komunikasi bisa menentukan apakah pasien patuh minum obat, merasa nyaman, atau bahkan benar-benar sembuh.

Mengapa hal-hal seperti “didengar” itu sangat penting? Dalam dunia medis, kemampuan dokter untuk berkomunikasi, seperti mendengarkan, menjelaskan dengan bahasa mudah atau awam, menunjukkan empati, itu secara nyata dapat memengaruhi hasil kesehatan pasien, lho. Sebuah data menunjukkan bahwa komunikasi dokter dan pasien berhubungan positif dengan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Ketika dokter berkomunikasi dengan baik, risiko pasien tidak patuh atau yang biasa disebut nonadherence, 19% lebih kecil dibandingkan dengan ketika dokter berkomunikasi buruk. Dalam literatur ternama, disebutkan bahwa komunikasi efektif dapat diumpamakan sebagai “jantung dan seni” dalam praktik kedokteran. Komunikasi merupakan komponen sentral dari layanan kesehatan yang berkualitas. Komunikasi yang baik membantu menciptakan hubungan terapeutik (hubungan antara tenaga medis atau tenaga kesehatan dengan pasien guna meningkatkan kesejahteraan pasien), memfasilitasi pertukaran informasi, dan memungkinkan pasien menjadi bagian dalam pengambilan keputusan atas perawatan mereka.

Nah, dengan kata lain dokter pintar, tetapi kalau komunikasinya buruk, pasien bisa merasa “tahu segalanya tapi mengerti nol.” Hal ini berimbas pada hasil pengobatan di mana pasien tidak patuh, rencana perawatan gagal, dan kepercayaan menjadi rusak. Lalu dengan cara apa agar pasien dapat patuh pada ucapan dokter? Benar, empati! Kamu coba bayangkan, seorang pasien lansia dengan hipertensi jangka panjang. Ia mungkin memiliki banyak pertanyaan ketika duduk sembari menunggu antrian masuk menemui dokter, “Kenapa tekanan darah saya naik lagi?”, “Haruskah saya berhenti bekerja?”, “Apakah obat ini punya efek samping?”. Bila dokter hanya memberikan resep dan instruksi atau perintah singkat tanpa menjelaskan latar belakang masalah, pasien bisa menolak atau lupa minum obat.

Tetapi jika dokter mengajak bicara dan mendengarkan kekhawatiran pasien, kemudian menjelaskan dengan bahasa sederhana, memberipilihan, juga menanyakan pendapat pasien, kemungkinan besar hasilnya bisa berbeda. Studi pada pasien hipertensi menunjukkan bahwa kualitas komunikasi dokter dan pasien dapat berhubungan jauh dengan kepatuhan pengobatan dan manajemen mandiri atau self-care pasien. Dalam praktik di puskesmas atau layanan kesehatan primer lain, di mana banyak pasien datang untuk konsultasi rutin, kemampuan dokter untuk mendengar adalah fondasi layanan yang manusiawi. Tanpa itu, diagnosis paling canggih sekalipun bisa gagal memberi hasil optimal.

Penting dan perlu untuk dipahami, bahwa komunikasi sebagai bagian dari perawatan holistik. Perawatan mengenai kesehatan bukan hanya mengobati penyakit fisik, tetapi juga pasien yang datang dengan membawa kecemasan, ketakutan, trauma, juga harapan. Dokter yang mampu mendengarkan dan memberi ruang bagi pasien untuk “mengeluarkan” emosinya, seringkali membantu mempercepat penyembuhan, lho. Menurut literatur, komunikasi yang baik menciptakan beberapa “jalur penyembuhan”, seperti akses ke perawatan yang lebih baik, pemahaman yang mendalam, keputusan medis yang lebih tepat, serta terbinanya hubungan terapeutik antara pasien dan dokter, dukungan sosial, hingga pengelolaan emosi pasien.

Dengan adanya pendekatan ini, dokter menjadi lebih dari sekadar pemberi resep, dokter juga menjadi mitra kesehatan, sekaligus pendengar dan penenang. Dalam konteks layanan primer ini di mana layanan pencegahan suatu penyakit dan manajemen penyakit kronis menjadi fokus pendekatan ini menjadi sangat relevan. Namun, pada kenyataannya, banyak hambatan yang membuat komunikasi dokter dan pasien belum ideal, seperti:

  1. Bahasa medis yang sulit dipahami pasien sering menjadi penghalang, istilah-istilah seperti “lesi”, “inflamasi”, “degeneratif” bisa menakutkan jika tidak dijelaskan dengan baik.
  2. Waktu konsultasi yang sangat singkat, beban pasien banyak, membuat dokter cenderung mengatakan "langsung saja ke resepnya.".
  3. Perbedaan latar belakang pendidikan, budaya, dan literasi kesehatan antara dokter dan pasien.

Akibatnya, pasien enggan bertanya, minder, atau merasa tidak nyaman mengungkapkan keluhannya secara mendalam yang pada akhirnya berpengaruh pada ketepatan diagnosis dan keberhasilan pengobatan. Nah, lalu apa solusinya? Solusinya bukan sekadar melatih dokter agar “lebih pintar dalam ilmu”, tetapi “lebih manusiawi dalam komunikasi”.

  1. Menggunakan bahasa sederhana dan menghindari istilah medis berat jika perlu menjelaskan dengan analogi yang mudah dipahami.
  2. Memperhatikan aspek empati, seperti menanyakan perasaan, kekhawatiran, dan harapan pasien. Bukan hanya menanyakan “apa sakitnya?”, tetapi bagaimana perasaan pasien dan harapan pasien dalam pengobatan ini.
  3. Menjadikaninformed consent bukan sekadar tanda tangan, tapi proses dialog, pasien harus paham mengenai diagnosis, pilihan terapi, risiko dan manfaat, juga konsekuensi jika tidak menjalani pengobatan.

Terkadang, obat bisa menyembuhkan penyakit, tetapi rasa didengar dapat menyembuhkan kecemasan, ketidakpastian, dan membangun kepercayaan. Dalam banyak kasus, dokter paling “cerdas” tidak selalu dokter paling “berhasil”. Karena keberhasilan kadang diukur dari apakah pasien mau meminum obatnya, terus kontrol, merasa nyaman, dan kembali ketika butuh dan itu biasanya berawal dari satu hal sederhana, yakni kesediaan untuk mendengarkan. Jadi, ya pasien butuh lebih dari diagnosis dan resep. Mereka butuh dokter yang mau mendengar, yang mau peduli. Dan pada akhirnya, mereka butuh merasa manusiawi!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image