Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diana Rahayu

Menjaga Masa Depan dari Gelapnya Judi Digital

Agama | 2025-12-09 00:20:53

Sungguh tak bisa dinalar, seorang pelajar bisa terjerat pinjol akibat kecanduan judol. Di masa yang seharusnya otaknya dipenuhi dengan semangat belajar dan cita-cita, terjadi tragedi yang memilukan. Hari-hari belajarnya dibayangi ketakutan kejaran tagihan pinjol hingga bilangan juta-an rupiah.

Banyak kasus terungkap tentang siswa yang terjerat pinjol akibat game online yang terafiliasi dengan judol. Satu cntoh kasus siswa SMP di Provinsi DIY terjerat pinjol dan judol bulan lalu, sempat membuat salah satu wakil ketua DPR RI angkat suara menyampaikan keprihatinannnya. Beliau pun kemudian mencoba mengoreksi tentang kebijakan pendidikan saat ini yang belum mampumewujudkan generasi yang tangguh di era digitalisasi.

Kasus keberanian siswa SMP yang nekat menggunakan NIK bibinya untuk mengakses pinjol, membuka fakta bahwa judol membawa akses kemaksiatan beruntun. Dari game kemudian terjebak judi online, selanjutnya terperangkap pinjaman online untuk menutup pinjaman yang terus membengkak. Hingga saat pinjaman telah membuatnya putus asa, siswa tersebut bolos sekolah selama sebulan karena takut.

Catatan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) hingga November 2024 silam, terungkap sekitar 200 ribu siswa usia di bawah 19 tahun terindikasi terpapar judi online. Ngerinya, hal tersebut juga menyasar siswa usia di bawah 10 sebanyak 80 ribu pelajar. (tirto.id 29/10/2025)

Badai Judol dan Pinjol Menggempur Generasi

Kita tak bisa menutup mata akan rusaknya kehidupan sekuler hari ini. Judol dan pinjol yang merupakan saudara kembar kemaksiatan telah malang melingtang menggembur kehidupan masyarakat sekuler. Tak cukup orang dewasa biasa, bahkan para pejabat dan dewan pun tergilas masifnya judol dan pinjol. Kini anak-anak pun dimangsanya.

Memang wajar gurita judol dan pinjol bisa sampai mencengkeram anak-anak usia sekolah. Hal tersebut karena konten judi online telah merambah situs-situs pendidikan dan game online, sehingga siswa rentan terpapar. Apalagi kurikulum dan metode pembelajaran siswa hari ini sangat lekat dengan gadget.

Bahaya judol dan pinjol seringkali membentuk vicious circle (lingkaran jahat/lingkaran setan). Diawali dari hanya ingin main game, lantas terjebak judol, hingga harus pinjol untuk menutupi kekalahan yang berulang. Saat pinjol sudah tak terkendali, maka kemaksiatan lain mulai mengantri. Dari penipuan, menjual atau mencuri barang orang, hingga menghilang dari kehidupan sosial, seperti bolos sekolah ataupun yang lebih nekat bisa sampai bundir.

Lemahnya pengawasan orang tua dan peran negara dalam menutup atau memberantas situs-situs judol, juga menjadi andil besar terjebaknya banyak remaja usia sekola pada lingkaran judol dan pinjol. Kalau lah di sekolah ada pendidikan karakter dan literasi digital, nyatanya hal tersebut belum mampu menuntaskan masalah ini.

Sejatinya akar masalah utama badai judol dan pinjol adalah terdapatnya cara berpikir yang rusak. Cara pandang ingin cepat kaya tanpa kerja keras, disertai kemudahan akses dan modal kecil, menjadikan masyarakat mengambil jalan pintas judol. Sistem Kapitalisme sendiri bahkan menjadikan judol sebagai hal lumrah karena keuntungan materi dijadikan tolok ukur utama. Halal haram telah jauh dalam kehidupan masyarakat dan generasi yang memisahkan peran agama untuk mengatur hidup mereka.

Maka berharap negara dalam sistem sekuler kapitalisme mampu melindungi masyarakat dan generasi dari bahaya judol dan pinjol hanyalah pepesan kosong semata. Sebab negara dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator, bukan pelindung rakyat.

Saatnya Melindungi Generasi Dengan Negara Yang Kuat

Ada yang keliru dalam pendidikan yang hanya bertumpu pada penyiapan anak untuk ujian, tetapi bukan untuk bertahan di dunia digital yang penuh jebakan algoritma dan komersialisasi perilaku. Hal tersebut disebabkan pada standar kehidupan kapitalis yang selalu mengarah pada capaian keuntungan materi dan komersialisasi seluruh aspek kehidupan.

Alhasil, untuk membuat generasi mampu menghadapi jebakan algoritma dan komersialisasi perilaku, dibutuhkan peran negara sebagai pelindung generasi dari jebakan yang merusak tersebut. Negara tersebut haruslah negara yang shohih atau benar, bersih dan hanya mengabdikan diri demi kebangkitan negara dan generasinya. Negara yang tidak hanya berperan sebagai regulator, tapi yang mempunyai aksi real melindungi seluruh rakyatnya termasuk generasi sebagai aset bangsa.

Maka tak bisa dipungkiri, dibutuhkan peran negara untuk membentuk sistem yang mampu membentuk generasi saleh yang berkepribadian Islam. Negara yang mampu mewujudkan sistem pendidikan Islam sempurna dan menjalankan lima tugas berikut:

Pertama, menanamkan kontrol diri dan kesadaran digital sejak dini, dengan penguatan tauhid dan iman. Kontol dan kesadaran berbasis iman, akan menjadi imun yang efektif bagi generasi. Generasi difahamkan bahwa dalam setiap perbuatan sekecil apapun, akan ada konsekuensi pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Kedua, menghapus krisis literasi digital dengan memberikan pemahaman hukum syariat secara menyeluruh. Memahamkan bahwa bahwa judol-pinjol haram. Menguatkan karakter generasi muslim, yang terikat dengan pelaksanaan semua syariat Islam. Sehingga generasi tidak akan terjebak pada kesalahan akses digital.

Ketiga, menerapkan pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam, sehingga pelajar punya arah dan tujuan dalam bertindak yaitu kebaikan dunia akhirat. Tidak cukup hanya dengan pendidikan karakter, tetapi butuh pendidikan yang mampu membentuk kepribadian Islam yang sempurna pada generasi. Kepribadian yang mempunyai pola sikap dan pola fikir Islami.

Keempat, membentuk lingkungan masyarakat yang tak abai. Masyarakat yang saling menasihati dan menguatkan dalam kebaikan.

Kelima, menutup seluruh akses judol maupun pinjol baik offline maupun online. Memasukkan judol dan pinjol pada kategori perbuatan kriminal. Menetapkan sanksi tegas bagi pelaku dan siapapun yang terkait pengadaan aktivitas tersebut.

Wallahu’alam bishowwab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image