Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Laode Asaid Alriza Amiluddin

Banjir Sumatra: Tak Cuma Bencana Lingkungan, Tapi Krisis Kesehatan Publik

Kolom | 2025-12-08 21:08:50
Ilustrasi Banjir. Sumber : Pexels

Ketika banjir kembali menyapu Sumatera mulai dari pesisir hingga lembah sungai, banyak orang melihatnya sebagai peristiwa alam yang berulang. Rumah terendam, akses jalan terputus, dan warga mengungsi; pola itu sudah terlalu akrab. Namun jika kita membuka lapisan di balik debit air yang naik tiba-tiba itu, banjir menyimpan konsekuensi yang lebih sunyi namun jauh lebih mematikan: krisis kesehatan publik.

Narasi banjir selama ini terlalu sering dibekukan dalam lensa kerusakan fisik: jembatan putus, longsor, kerugian ekonomi. Padahal riset empiris menunjukkan bahwa banjir adalah mesin yang memproduksi penyakit, menggerogoti sanitasi, dan menurunkan ketahanan komunitas dalam jangka panjang. Krisis ini tak selalu terlihat di kamera berita, tetapi terasa jelas di tubuh masyarakat yang hidup di wilayah rawan banjir.

Penelitian Sari & Nofriya (2018) di Kota Bukittinggi menunjukkan hubungan langsung antara banjir, kualitas air yang menurun, dan meningkatnya kasus diare. Air sumur yang biasanya jernih berubah keruh, bercampur lumpur dan limbah, hingga menyimpan parasit yang tak terlihat mata. Ketika sumber air satu-satunya terkontaminasi, wabah tidak membutuhkan waktu lama untuk tumbuh. Penelitian itu menegaskan bahwa kualitas air pasca-banjir tidak hanya terganggu secara fisik, tetapi juga secara mikrobiologis berbahaya bagi keluarga, terutama anak-anak.

Temuan serupa muncul dalam studi-studi pasca-banjir lain di Indonesia. Laporan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bandarharjo, Semarang, misalnya, mencatat meningkatnya keluhan penyakit kulit, ISPA, dan gangguan kesehatan harian setelah banjir merendam rumah warga (Rahayu et al., 2020). Genangan air selama berhari-hari menciptakan lingkungan lembap dan kotor yang menjadi ladang peternakan ideal bagi jamur, bakteri, dan vektor penyakit.

Tantangan kesehatan publik semakin rumit ketika banjir mendorong warga tinggal di pengungsian. Fasilitas sanitasi yang minim dan air bersih yang terbatas membuat risiko penularan penyakit meningkat. Pada periode ini, penyakit bukan hanya datang dari luar, tetapi juga menyebar di antara penghuni posko itu sendiri.

Masalah kesehatan mental pun sering luput dari pemberitaan. Penelitian global menunjukkan bahwa banjir meningkatkan tekanan psikologis dan kecemasan, terutama di kalangan masyarakat miskin (Olanrewaju et al., 2021). Kondisi ini sangat relevan dengan komunitas di Sumatera yang harus hidup berdampingan dengan ancaman banjir tahunan, menciptakan rasa tidak aman yang berkepanjangan.

Di sisi lain, layanan kesehatan formal sering kali terputus. Ketika puskesmas terendam atau akses jalan rusak, perempuan hamil, penderita penyakit kronis, dan lansia menjadi kelompok pertama yang merasakan dampaknya. Studi Chang et al. (2020) mencatat bahwa banjir bisa mengganggu rantai pasokan obat dan akses layanan ibu-anak, hingga meningkatkan risiko kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Mengabaikan aspek ini berarti mengabaikan denyut paling rapuh dalam masyarakat.

Apa yang membuat situasi ini lebih genting adalah bahwa sebagian besar masyarakat di daerah rentan banjir belum memiliki pengetahuan memadai tentang pencegahan penyakit pasca-banjir. Penelitian Hasan et al. (2024) di Aceh menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang pencegahan penyakit menular pasca-banjir masih rendah. Minimnya edukasi kesehatan membuat banjir bukan hanya menjadi bencana lingkungan, tetapi juga bencana informasi.

Dengan semua lapisan masalah ini, wajar jika banjir Sumatera seharusnya tak lagi dipandang sebagai persoalan teknis atau klimatologis. Ia adalah krisis kesehatan publik kompleks, panjang, dan penuh risiko. Namun justru aspek kesehatan ini sering menjadi bagian paling terabaikan dalam perencanaan mitigasi.

Karena itu, perlu ada perubahan perspektif besar tentang bagaimana kita memandang dan menangani banjir. Berdasarkan literatur ilmiah terbuka, berikut sejumlah langkah konkret yang layak ditempatkan di jantung kebijakan pemerintah:

Pertama, memperkuat akses air bersih. Temuan Sari & Nofriya (2018) membuktikan bahwa kualitas air adalah akar dari banyak penyakit pasca-banjir. Pemerintah daerah harus menyediakan sistem air bersih darurat, termasuk distribusi air layak minum, filtrasi air mandiri, dan perlindungan sumur dari kontaminasi.

Kedua, memperbaiki sanitasi dan drainase. Studi Rahayu et al. (2020) menegaskan bahwa sanitasi buruk berkorelasi langsung dengan penyakit kulit dan ISPA pasca-banjir. Perbaikan drainase, pengelolaan limbah rumah tangga, dan pembersihan lingkungan harus masuk ke dalam prosedur standar pasca-banjir, bukan sekadar kegiatan sukarela dari warga.

Ketiga, memperluas edukasi publik. Penelitian Hasan et al. (2024) menunjukkan bahwa edukasi berpengaruh besar pada kemampuan masyarakat mencegah penyakit. Kampanye kesehatan yang sistematis tentang air bersih, higiene, pencegahan leptospirosis, dan kebersihan posko harus menjadi program formal di setiap wilayah rawan banjir.

Keempat, memperkuat akses layanan kesehatan. Banjir tidak boleh memutuskan jalur kesehatan esensial. Pemerintah wajib menyediakan mobil kesehatan, posko medis, hingga sistem distribusi obat yang tahan terhadap gangguan cuaca. Model layanan kesehatan bergerak (mobile health services) yang telah terbukti efektif di beberapa negara perlu dicontoh dan diadaptasi.

Kelima, memasukkan kesehatan sebagai indikator keberhasilan mitigasi banjir. Kebijakan yang hanya menyoroti kerusakan fisik tidak pernah lengkap. Indikator seperti penurunan insidensi diare, ISPA, dan penyakit kulit pasca-banjir harus menjadi tolok ukur keberhasilan yang jelas.

Pada akhirnya, banjir bukan hanya soal air dan rumah yang tenggelam. Banjir adalah tentang tubuh manusia tentang sanitasi yang terhenti, tentang anak-anak yang jatuh sakit, tentang para lansia yang tak bisa menjangkau obat, tentang keluarga yang kehilangan rasa aman. Memperlakukan banjir sebagai persoalan kesehatan publik bukanlah opsi; itu keharusan.

Jika kita mampu menggeser cara pandang itu, banjir di Sumatera tidak lagi menjadi tragedi berulang, tetapi momentum untuk memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image