Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image vivi nurwida

Uighur: Minoritas yang Dibungkam, Identitas yang Dihancurkan

Dunia islam | 2025-12-03 07:42:07
Credit: Shutterstock

 

Di ujung langit Xinjiang, suara azan yang dulu memeluk pagi telah menjelma menjadi bisikan samar yang nyaris tak terdengar. Jalan-jalan yang pernah hidup oleh tawa anak-anak menuju masjid kini dipenuhi bayangan kamera pengawas dan langkah-langkah ketakutan. Di rumah-rumah yang sunyi, para ibu menatap pintu yang tak lagi diketuk oleh putra mereka, sebab mereka telah diseret ke asrama-asrama negara, tempat identitas mereka dicuci perlahan, hari demi hari.

Memang tidak ada dentuman bom atau deru tank, tetapi ada pembungkaman yang rapi, sunyi, dan sistemik, senjata diganti algoritma, penjara diganti “pusat pelatihan”, dan penjajahan diganti dengan istilah “integrasi nasional”.

Dunia menyebut dirinya beradab, tetapi di tanah Xinjiang, keadaban itu runtuh tanpa mampu berdiri kembali. Kita sedang menyaksikan sebuah tragedi yang terjadi dalam diam: masjid-masjid yang diratakan, kitab suci yang dirampas, dan manusia-manusia yang dipaksa melupakan Tuhannya demi ideologi negara. Inilah luka yang tidak berdarah, tapi terus menganga. Luka yang lahir dari ketakutan pada Islam, dan terutama ketakutan pada umat yang tetap menjaga iman sekalipun seluruh dunia mencoba mematikannya.

Fakta yang Tak Bisa Disangkal

Berbagai laporan kredibel, mulai dari United Nations Human Rights Office hingga Uyghur Human Rights Project, mencatat bahwa sejak 2017, jutaan warga Uighur telah mengalami bentuk represi paling sistematis dalam sejarah modern Tiongkok. Mereka ditahan di kamp “re-edukasi”, dipaksa meninggalkan ajaran Islam, dan mengalami kerja paksa di industri tekstil serta teknologi.

Dalam laporan “Breaking the Roots” (UHRP, 2023), dijelaskan bahwa ribuan anak-anak Uighur dipisahkan secara paksa dari keluarga dan ditempatkan di sekolah asrama. Tujuannya: memutus akar budaya, bahasa, dan agama mereka, sebuah genosida kultural dengan kedok pendidikan. Anak-anak itu dilarang berbicara bahasa Uighur, tidak mengenal doa, dan diajari ideologi negara sebagai satu-satunya kebenaran.

Selain itu, menurut data Amnesty International (2024), pengawasan digital di Xinjiang menjadi yang paling ketat di dunia. Warga dipantau melalui kamera pengenal wajah, aplikasi pelacak, hingga sensor pada gawai pribadi. Bahkan, aktivitas sekecil menumbuhkan jenggot panjang atau berhenti minum alkohol bisa dianggap “tanda ekstremisme” dan berujung penahanan.

Fakta lain yang jarang disorot: Xinjiang adalah wilayah yang sangat kaya sumber daya: minyak, gas alam, dan tambang logam langka. Posisi strategisnya di jalur Belt and Road Initiative menjadikan kawasan ini kunci ekonomi bagi Cina. Di sinilah akar dari diamnya dunia: kepentingan kapitalisme global menutupi suara nurani.

Ketika Muslim Menjadi Minoritas: Sunyi yang Dipaksa

Menjadi Muslim minoritas di negeri yang menolak eksistensi Islam berarti hidup dalam dilema: mempertahankan iman berarti menantang negara; diam berarti kehilangan identitas. Inilah realitas Muslim Uighur hari ini.

Sebagai minoritas, mereka kehilangan hak-hak dasar yang dijamin dalam banyak konvensi internasional: hak beribadah, hak mendidik anak sesuai agama, hak berbicara dalam bahasa ibu, bahkan hak untuk hidup damai. Tapi lebih menyedihkan, banyak pemimpin negara Muslim justru memilih diam, khawatir kehilangan hubungan dagang, investasi, atau dukungan diplomatik.

Inilah wajah dunia hari ini: ketika nilai-nilai kemanusiaan tunduk pada kalkulasi ekonomi. Sistem global yang dikendalikan paradigma kapitalis menilai sesuatu bukan dari benar atau salah, tapi dari untung dan rugi. Selama penindasan terhadap Uighur tidak merugikan bisnis atau kekuasaan, maka ia dianggap isu “internal”.

Allah Swt. berfirman,

Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (TQS. Al-Buruj: 8)

Ayat ini seolah menggambarkan dengan tepat nasib Muslim Uighur. Mereka disiksa bukan karena kejahatan, melainkan karena iman.

Akar Masalah yang Tak Pernah Diakui

Penindasan seperti ini bukan muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari paradigma materialistik yang meniadakan peran Tuhan dalam kehidupan publik. Dalam sistem sekuler-kapitalistik, agama dianggap urusan pribadi, tidak boleh hadir dalam urusan negara, politik, atau ekonomi. Maka, identitas Islam pun dianggap ancaman bagi stabilitas ideologi negara.

Model seperti ini bukan hanya ada di Cina. Lihatlah di berbagai belahan dunia: Muslim minoritas di India, Rohingya di Myanmar, atau bahkan Muslim di Barat yang menghadapi Islamofobia sistemik, semua menderita karena paradigma yang sama: ketakutan terhadap Islam yang hidup sebagai sistem.

Mereka bukan takut pada ibadah Muslim, tapi pada ajaran Islam yang mengatur keadilan, ekonomi, sosial, dan politik. Itulah sebabnya, upaya asimilasi paksa selalu diarahkan untuk memutus keterikatan umat pada syariah, bukan hanya menghapus simbol luar.

Islam melindungi Jiwa

Dalam sistem Islam, negara bukan hanya pelindung akidah, tetapi juga penjaga hak seluruh manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Rasulullah saw. bersabda:

Seorang imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Negara Islam (Kh1l4fah) di masa lalu membuktikan prinsip ini. Ketika kaum Nasrani Najran menjadi minoritas di bawah kekuasaan Islam, mereka tidak diusir, tidak dipaksa masuk Islam, dan tidak dilarang beribadah. Sebaliknya, negara melindungi tempat ibadah mereka, dan membiarkan mereka menjalankan agama mereka dalam urusan akidah dan ibadah. Inilah keadilan Islam yang sejati: menjaga nyawa, agama, akal, keturunan, dan harta, tidak berdasarkan suku atau agama, tapi kemanusiaan yang diatur wahyu.

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Barang siapa menyakiti dzimmi (non-Muslim yang dilindungi), maka aku menjadi musuhnya di hari kiamat.” (HR. al-Khatib al-Baghdadi)

Bayangkan, jika perlindungan bagi non-Muslim saja seagung ini, apalagi bagi Muslim sendiri? Inilah bukti bahwa sistem Islam kafah menjamin kemanusiaan sejati, bukan dengan retorika HAM yang bungkam ketika korbannya adalah Muslim, tapi dengan hukum yang menegakkan keadilan karena Allah.

Penutup

Uighur bukan sekadar isu geopolitik; mereka adalah wajah penderitaan umat yang diabaikan oleh dunia materialistik. Setiap anak yang dipisahkan dari ibunya di Xinjiang adalah luka bagi seluruh manusia beriman.

Kita tak bisa lagi bersembunyi di balik kata “isu internal” atau “politik luar negeri”. Ini adalah soal nurani, soal akidah, soal keadilan. Selama sistem kapitalisme menjadi acuan dunia, selama kepentingan ekonomi mengalahkan kemanusiaan, selama Islam tidak dijadikan solusi hidup yang kafah, maka penderitaan seperti di Uighur akan terus berulang di tempat lain.

Islam datang bukan sekadar untuk umat Islam, tapi untuk menyelamatkan seluruh manusia dari kezaliman manusia atas manusia. Maka sudah seharusnya kita kembali pada sistem yang menjadikan Allah sebagai pengatur, bukan keuntungan sebagai tujuan.

Selama napas masih ada, suara ini tak boleh padam, karena diam di hadapan kezaliman, adalah bentuk persetujuan paling sunyi. Sudah seharusnya seorang Muslim bersama dengan jemaah dakwah ideologis memperjuangkannya.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image