Kelelahan Kolektif, Kereta yang Terlalu Cepat dan Kisah Tumbler yang Hilang
Gaya Hidup | 2025-11-30 23:15:35
Beberapa hari lalu, cerita tentang sebuah tumbler yang tertinggal di KRL mendadak viral. Seorang penumpang pulang kerja naik kereta rute Tanah Abang-Rangkasbitung, lalu turun di Stasiun Rawa Buntu. Di gerbong, ia sempat meninggalkan cooler bag yang berisi tumbler. Namun ketika cooler bag diserahkan kembali oleh pihak KAI, tumbler di dalamnya dilaporkan hilang. Berita itu menyebar cepat di media sosial, isu ini berkembang sampai muncul kabar bahwa petugas yang menemukan ta situ akan dipecat.
Banyak yang mempertanyakan, apakah sebuah benda kecil semacam tumbler yang nilai materinya bisa jadi tidak terlalu besar pantas membuat seseorang kehilangan pekerjaan? Namun beberapa hari kemudian, pihak KAI menyatakan bahwa petugas yang bersangkutan tidak dipecat, namun hanya dilepas dinas sementara. Setelah mediasi dengan penumpang dan manajemen, petugas kembali ditugaskan.
Sebenarnya kejadian ini sekilas seperti hal-hal yang bias akita lalui, kehilangan barang kemudian complain. Namun akibat yang ditimbulkan lebih dalam. Betapa cepatnya kecemasan datang, betapa rapuhnya rasa aman di tengah kehidupan yang semakin cepat, dan betapa mudahnya kehidupan seseorang bisa terganggu hanya karena satu kesalahan kecil. Bagi banyak anak muda, kisah ini terasa seperti metafora Dimana kita semua seperti penumpang di peron yang terkadang mengejar kereta yang terus berjalan tetapi tetap ada resiko tertinggal dan kehilangan aman.
Menurut data teranyar Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2025 tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat 4,85 persen, setara dengan sekitar 7,46 juta orang. Meskipun sedikit menurun dari periode sebelumnya, angka ini tetap menunjukkan bahwa banyak sarjana muda dan pekerja baru yang masih belum mendapat pekerjaan tetap. Selain itu, meskipun angka kemiskinan nasional sedikit membaik (menurun menjadi 8,47 persen pada Maret 2025), kenyataan bahwa hampir 24 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat, termasuk generasi muda, masih menghadapi kesulitan ekonomi nyata.
Dalam keadaan demikian, banyak dari kita terpaksa berlari lebih cepat mengejar pekerjaan, kursus tambahan, proyek sampingan, menjaga citra di media sosial, sambil terus waspada karena satu kesalahan kecil bisa berdampak besar. Kasus tumbler hilang itu sebenarnya mencerminkan sesuatu yang lebih luas yaitu bagaimana ketidakpastian ekonomi dan sosial membentuk tekanan psikis kolektif, terutama bagi generasi muda yang belum punya pijakan kuat.
Kita perlu mengakui bahwa hal tersebut terjadi karena pasar kerja yang sempit, biaya hidup dan persaingan yang semakin tinggi, kestabilan pekerjaan yang belum maksimal, serta kultur sosial yang sering mengagungkan produktivitas tanpa jeda. Dalam sistem seperti itu, yang kemudian toleransi terhadap kesalahan kecil terasa sangat minim dan empati sering kali hilang saat kemarahan public mulai meningkat.
Dari kisah tumbler itu, kita belajar bahwa kehidupan kita tidak boleh diletakkan hanya di atas ketidakpastian, kita butuh ruang aman, akses ke pekerjaan layak, keadilan dan tanggung jawab yang jelas, dan yang paling penting kesempatan untuk gagal tanpa harus kehilangan segalanya. Kita butuh pemikiran yang lebih manusiawi, bahwa setiap orang punya keterbatasan, dan bahwa Masyarakat patut memberi ruang untuk memperbaiki bukan langsung menjatuhkan.
Generasi muda Indonesia memiliki potensi besar. Tapi potensi itu hanya bisa berkembang secara sehat jika kita hidup dalam struktur sosial dan ekonomi yang juga sehat, yang memberi kesempatan adil, melindungi hak-hak pekerja, serta menjaga martabat manusia. Semoga dari peristiwa tumbler hilang ini, kita tidak hanya melihat perdebatan di media sosial, tetapi mengambil pelajaran lebih besar, bahwa di tengah laju zaman yang cepat ini kita benar-benar tak boleh tertinggal, apalagi kehilangan kemanusiaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
