Kenapa Penyakit yang Sudah Dikenal Ini Masih Mematikan?
Info Sehat | 2025-11-28 15:05:59Dilaporkan 124 kasus leptospirosis hingga Maret 2024 dengan 23 orang meninggal dunia, di sebuah provinsi di Jawa Tengah. Angka ini menimbulkan berbagai pertanyaan, mengapa penyakit yang “terbilang dikenal” ini masih berujung pada kematian dalam jumlah signifikan? Meskipun sudah ada imbauan dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) bahwa leptospirosis menjadi ancaman nyata pada musim hujan dan banjir, kenyataan di lapangan menunjukkan penanganan dan pencegahan belum optimal.
Analisis Epidemiologi
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri dan genus Lestopira yang ditularkan pada manusia melalui urin hewan reservior (termasuk tikus, anjing, sapi) atau lewat air/lingkungan yang telah terkontaminasi. Pada penelitian “Leptospirosis: Intervensi Faktor Risiko Penularan” oleh T. Aziz dan JF Suwandi (2019) menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan seperti keberadaan tikus di sekitar rumah, kondisi sanitasi yang buruk, dan perilaku manusia yang beraktivitas di area rawan, adalah determinan kuat terjadinya penularan leptospirosis.
Lebih lanjutnya, dalam studi lingkungan terkini di Kabupaten Bondowoso ditemukan hubungan signifikan antara kondisi selokan, kondisi rumah, dan keberadaan vektor dengan penularan dari tikus ke manusia.
Penularan Bisa Dicegah, Tapi Kenapa Tidak?
Meskipun data risiko jelas, namun kenyataannya,
- Surveilans dan deteksi dini masih lemah : banyak kasus yang terlambat ditangani karena gejala awal yang mirip flu atau demam biasa, sehingga saat terdiagnosis sudah dalam kondisi parah.
- Lingkungan yang menjadi sumber risiko seperti keadaan banjir, genangan air, populasi tikus tinggi, dan rumah kumuh. Hal yang masih belum tertangani dengan sistematis, baik di sisi pengendalian tikus maupun perbaikan sanitasi dasar.
- Upaya edukasi terhadap masyarakat dan kelompok pekerja dengan risiko terkena penyakit tinggi (petani, peternak, pekerja saluran air) yang masih terbatas. Meskipun kemenkes sudah mengimbau PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dan pembersihan sarang tikus, kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum menyadari betul keterkaitan antara keadaan lingkungan dan leptospirosis.
Apa yang Salah?
- Ketidaksiapan lintas sektor, pengendalian leptospirosis bukan hanya tugas dari dinas kesehatan saja, namun juga satuan kerja kebersihan lingkungan, pekerja umum, pengendalian vektor tikus, sanitasi air dan limbah. Namun kenyataanya koordinasi antar sektor ini masih tampak lemah.
- Fokus pada respons pasca kasus, bukan pencegahan proaktif. Banyak tindakan baru dilakukan setelah ada kasus terjadi. Padahal studi intervensi menunjukkan bahwa perbaikan lingkungan fisik (selokan, pembuangan sampah, ventilasi rumah) memiliki efek besar.
- Kesenjangan data dan keterlambatan pelaporan, karena banyaknya kasus yang tidak terlaporkan atau terlambat terdiagnosis, angka resmi kemungkinan meremehkan beban riil leptospirosis di masyarakat. Hal ini menyulitkan perencanaan program yang tepat sasaran.
- Kampanye yan g dilakukan masih menyadarkan perilaku individu saja, seperti imbauan masyarakat untuk bersih-bersih, memakai sepatu boots saat beraktivitas di genangan, adalah penting. Tetapi tanpa perbaikan lingkungan dan pengendalian vektor sistematis, pendekatan perilaku saja tidak akan cukup.
Peran Media Online
Kampanye untuk pencegahan leptospirosis tidak hanya dilakukan secara langsung, namun juga melalui media online. Sebagai platform media online yang memiliki tanggung jawab publik, berikut beberapa langkah yang dapat diusulkan.
- Sorot peta risiko lokal
Memberikan visualisasi wilayah-wilayah yang sering banjir/lingkungan kumuh dan kaitannya dengan data kasus leptospirosis.
- Highlight kelompok pekerja berisiko
Mmebuat liputan khusus tentang pekerja yang sering berada di garis depan risiko tetapi sering luput dari perhatian, seperti peternak, pekerja pembersihan drainase, dan petani sawah.
- Wawancara pihak lokal
Meminta tanggapan dari Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten, petugas surveilans, serta masyarakat yang terdamapak untuk menggali mengapa pencegahan belum optimal.
- Publikasi infografis pencegahan berbasis bukti
Infografis dapat dibuat dengan menyertakan “ceklist rumah aman dari leptospirosis” (misalnya : selokan tertutup, tidak ada genangan, penyimpanan sampah tertutup, tidak ada tikus besar terlihat).
- Dorong transparansi data dan pelaporan
Media bisa melakukan advokasi agar pemerintah daerah rutin mempublikasi data kasus leptospirosis, waktu respons, dan tindakan pengendalian yang dilakukan sehingga masyarakat bisa memantau kemajuan.
Sementara itu, masyarakat disarankan tidak lengah, jika mengalami demam tinggi, nyeri betis, kulit atau mata menguning setelah kontak dengan genangan air atau hewan, segera periksakan diri karena deteksi dini bisa menyelamatkan nyawa.
REFERENSI
Ayosehat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024, Februari 14). Waspadai musim hujan dan banjir, leptospirosis diam-diam mematikan.
Aziz, T., & Suwandi, J. F. (2019). Leptospirosis: Intervensi faktor resiko penularan. Majority.
Dinas Kominfo Kabupaten Demak. (2024, Maret). 124 kasus leptospirosis terdeteksi di Jateng, 23 orang meninggal.
Picardeau, M. (2013). Diagnosis and epidemiology of leptospirosis. Médecine et maladies infectieuses, 43(1), 1-9.
Pusat Analisis Keparlemenan DPR RI. (2024, November). Mewaspadai peningkatan DBD dan leptospirosis di musim penghujan (Isu Sepekan—Komisi IX).
Rejeki, D. S. S., Nurlaela, S., & Octaviana, D. (2013). Pemetaan dan analisis faktor risiko leptospirosis. Kesmas, 8(4), 179-186.
Sari, I. Z. R. (2021). Leptospirosis di Indonesia. Majalah Kesehatan, 8(2), 45–58.
Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Banjarnegara.
Widjajanti, W. (2019). Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan leptospirosis. Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 5(2), 62–68.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
