Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Dhafi Alfadjri

E-Commerce dalam Kacamata Fikih: Sahkah Jual Beli Online Kita?

Ekonomi Syariah | 2025-11-24 14:38:28

Di era digital saat ini, aktivitas belanja tidak lagi menuntut pertemuan fisik. E-Commerce telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern. Kemudahan memilah barang lewat layar gawai, membayar secara digital, lalu menunggu kurir mengantar paket ke depan pintu, adalah kenikmatan tersendiri.

Namun, sebagai seorang Muslim, muncul sebuah pertanyaan mendasar: Bagaimanakah kedudukan transaksi serba online ini dalam pandangan hukum Islam (fikih)? Apakah sah jual beli tanpa tatap muka dan serah terima langsung ditempat?

Kembali ke Rukun Jual Beli

Sebelum membedah E-Commerce, kita perlu menengok kembali pondasi dasar dalam transaksi Islam Para ahli fikih sepakat bahwa sah atau tidaknya jual beli rantung pada terpenuhnya rukun dan syarat.

Pertama, adnya Ijab dan Qabul. Ini adalah ungkapan persetujuan antara penjual dan pembeli. Menariknya, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah berpendapat bahwa untuk transaksi barang-barang kecil atau kebutuhan sehari-hari, lafaz akad yang kaku tidaklah wajib. Cukup dengan saling memberi (Mu’atha’) sesuai adat kebiasaan, transaksi itu sah. Kuncinya adalah adanya saling ridha dan pemahaman yang sama mengenai tujuan akad.

Kedua, Pihak yang Berakad. Penjual dan pembeli haruslah orang yang berakal agar bisa membedakan (mumayyiz) barang. Transaksi oleh orang yang tidak cakap hukum (seperti orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz) dianggap tidak sah, kecuali ada izin wali.

Ketiga, Objek Transaksi (Barang). Barang harus suci, bermanfaat, milik penuh penjual (atau kuasanya), dan jelas spesifikasinya (harga dan jenis). Islam melarang jual beli gharar (ketidakjelasan), seperti menjual ikan yang masih di dalam laut atau janin hewan yang masih di kandungan, karena mengandung spekulasi tinggi.

E-Commerce sering diartikan sebagai jual beli barang dan ajsa melalui media elektronik, khususnya melalui internet. Dalam ungkapan lai, E-Commerce adalah bentuk media penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang melali sistem elektronik seperti internet, televisi atau jaringan komputer lainnya.

E-Commerce adalah fenomena kontemporer yang belum ada di zaman Nabi Muhammad SAW secara teknis. Oleh karena itu, hukumnya bersifat ijtihady (hasil pemikiran ulama). Namun, kaidah fikih menyebutkan: "Hukum asal dalam bidang muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya."

Artinya, E-Commerce pada dasarnya boleh, selama tidak melanggar prinsip syariah (seperti riba, judi, atau penipuan).

Dalam praktiknya, fikih membedakan E-Commerce menjadi dua pendekatan akad:

  1. Jual Beli Al-Salam (Pesanan): Ini berlaku untuk barang non-digital (fisik). Dalam skema ini, pembeli memesan barang, melihat spesifikasi di layar, lalu membayar lunas di muka (transfer/kartu kredit), baru kemudian barang dikirim. Ini sangat mirip dengan akad Salam yang sudah ada sejak zaman Nabi, di mana pembayaran dilakukan di awal untuk barang yang diserahkan kemudian dengan kriteria yang jelas.
  2. Jual Beli Umum (Buyu'): Ini berlaku untuk produk digital (seperti e-book, software, pulsa) yang bisa diterima seketika setelah pembayaran.

Solusi Pembayaran dan Perlindungan Konsumen

Salah satu isu dalam E-Commerce adalah metode pembayaran, terutama penggunaan kartu kredit. Fikih ekonomi memberikan toleransi jika kelebihan pembayaran dianggap sebagai biaya administrasi (ujrah) atas jasa penjaminan atau sistem, bukan sebagai bunga akibat keterlambatan pembayaran utang. Jika diniatkan sebagai bunga (interest), maka hal itu jatuh pada riba yang diharamkan.

Selain itu, aspek terpenting dalam E-Commerce yang Islami adalah hak Khiyar (hak memilih). Karena pembeli tidak melihat barang secara langsung, harus ada kesepakatan bahwa pembeli berhak mengembalikan barang atau membatalkan transaksi jika barang yang sampai ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertera di website. Ini adalah bentuk perlindungan konsumen untuk menghindari penipuan dan kekecewaan.

Kesimpulan

E-Commerce menawarkan kemudahan dan efisiensi yang sejalan dengan prinsip kemaslahatan dalam Islam. Selama transaksi tersebut jelas spesifikasinya, terhindar dari unsur riba dan penipuan, serta memberikan jaminan kesesuaian barang (hak khiyar), maka belanja online adalah aktivitas muamalah yang sah dan halal.

Islam tidak hadir untuk mengekang kemajuan teknologi, melainkan memberikan bingkai etika agar kemajuan tersebut membawa berkah dan keadilan bagi kedua belah pihak, baik penjual maupun pembeli.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image