MBG Tidak Butuh Ahli Gizi? Ini Fakta dan Polemik di Baliknya
Info Terkini | 2025-11-23 08:03:12
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan paling ramai dibicarakan sejak diluncurkan pemerintah. Bukan hanya karena skalanya besar yang mencakup jutaan anak sekolah, tetapi juga karena polemik yang muncul akibat pernyataan bahwa program ini “tidak memerlukan ahli gizi.” Pernyataan tersebut viral dan memantik reaksi keras dari banyak pihak, terutama komunitas kesehatan dan ahli gizi profesional.
Menariknya, polemik ini membuka diskusi penting: apakah memastikan gizi jutaan anak benar-benar bisa dilakukan tanpa keterlibatan ahli gizi? Ataukah sebaliknya, justru merekalah yang paling penting dalam merancang menu sehat?
Awal Mula Polemik: Jangan Arogan! MBG Tidak Butuh Ahli Gizi!
Isu ini bermula ketika seorang pejabat publik menyatakan bahwa MBG “tidak membutuhkan ahli gizi” dan bahwa lulusan SMA dapat dilatih beberapa bulan untuk menangani urusan gizi di lapangan. Pernyataan tersebut sontak memicu reaksi luas. Banyak orang merasa seolah profesi ahli gizi sedang diremehkan, seolah urusan gizi hanyalah soal “masak enak” atau “bikin menu kenyang”.
Padahal, ilmu gizi adalah disiplin yang kompleks. Menyusun makanan bergizi untuk anak sekolah melibatkan pemahaman tentang kebutuhan energi, protein, mikronutrien, keamanan pangan, sanitasi dapur, serta keseimbangan menu. Tidak bisa sekadar “asal kenyang” atau “asal ada ayam”.
Tak sedikit ahli gizi yang langsung bersuara di media sosial, menjelaskan bahwa mengurusi gizi bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan hanya dengan pelatihan singkat. Kebutuhan gizi anak berbeda dengan dewasa, berbeda pula antara anak SD dan SMP, dan ditentukan oleh aktivitas fisik, pertumbuhan, serta faktor kesehatan.
Akhirnya, setelah polemik memanjang, pejabat tersebut meminta maaf dan menemui Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) untuk melakukan klarifikasi. Pada tahap ini, masyarakat semakin sadar bahwa isu gizi bukan urusan sepele.
Kasus Keracunan, Ahli Gizi Jadi Kambing Hitam
Seiring pelaksanaan program MBG, sejumlah kasus keracunan makanan di beberapa sekolah langsung memicu sorotan publik. Warganet membagikan foto dan kronologi kejadian, memperlihatkan bagaimana siswa mengalami gejala mual hingga pusing setelah mengonsumsi menu yang disediakan. Kritik pun mengalir deras: mulai dari tudingan bahwa pengolahan makanan tidak higienis, bahan pangan kurang layak, hingga lemahnya pengawasan dari pihak sekolah.
Menariknya, sebagian masyarakat justru menyalahkan ahli gizi, seolah-olah merekalah pihak yang bertanggung jawab atas insiden keracunan tersebut. Padahal, dalam banyak kasus, keracunan bukan berkaitan dengan komposisi gizi, melainkan dengan aspek keamanan pangan, mulai dari penyimpanan bahan yang tidak tepat, proses memasak yang kurang higienis, hingga distribusi makanan yang tidak memenuhi standar. Para ahli gizi akhirnya memberikan klarifikasi bahwa tugas mereka berfokus pada perancangan menu dan kebutuhan nutrisi, sementara implementasi teknis berada di luar ranah mereka.
Para dokter gizi dan pakar keamanan pangan menegaskan bahwa keracunan makanan terjadi karena kegagalan pada prosedur higiene dan sanitasi, bukan pada desain menu. Oleh karena itu, jika sejak awal peran ahli gizi tidak dilibatkan secara optimal dalam pelaksanaan MBG, maka tidak tepat menjadikan mereka kambing hitam ketika terjadi masalah di lapangan. Analisis para pakar menunjukkan bahwa keberhasilan MBG sangat bergantung pada rantai pengolahan yang aman, disiplin protokol kebersihan, dan pengawasan berkelanjutan. Tanpa itu semua, menu yang secara teoritis sudah dirancang baik pun tetap berpotensi menimbulkan risiko kesehatan.
Respons Pemerintah: Butuh Ahli, Tapi Kekurangan Tenaga
Di sisi lain, pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) memberi penjelasan yang lebih tenang. Kepala BGN menegaskan bahwa sebenarnya MBG tetap melibatkan sarjana gizi dan lulusan vokasi gizi di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Namun ia juga mengakui masalah besar di lapangan, yaitu jumlah ahli gizi tidak mencukupi untuk mendampingi seluruh satuan program gizi berskala besar seperti MBG.
Karena itu, beberapa sekolah dan dapur MBG bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain seperti sarjana kesehatan masyarakat atau lulusan teknologi pangan. Meski demikian, BGN menegaskan bahwa standar gizi tetap disusun oleh ahli gizi profesional.
Dengan kata lain, bukan berarti ahli gizi tidak dibutuhkan, tapi justru mereka sangat dibutuhkan, hanya saja jumlahnya belum mencukupi untuk seluruh wilayah Indonesia.
Jadi, Apakah MBG Benar-Benar Tidak Butuh Ahli Gizi?
Merujuk dari pernyataan pejabat publik yang viral tersebut, tampaknya itu kemungkinan salah ucap atau miskomunikasi yang disampaikan dengan cara dan nada bicara yang kurang tepat.
Realitanya:
- Di tahap perencanaan, MBG sangat membutuhkan ahli gizi.
- Di tahap implementasi, ahli gizi tetap menjadi penentu standar dan pengawas kualitas.
- Di lapangan, memang ada tenaga pendukung non-ahli, tetapi peran mereka bukan menggantikan, melainkan membantu pelaksanaan program.
Dengan demikian, pernyataan “MBG tidak butuh ahli gizi” lebih tepat dipahami sebagai slogan yang keliru daripada faktanya.
Program sebesar MBG mustahil berjalan dengan baik jika aspek gizi dilepas begitu saja. Apalagi targetnya adalah anak-anak, kelompok yang paling sensitif terhadap kekurangan gizi. Namun, pernyataan untuk menunjuk anak SMA sebagai “ahli gizi” tanpa pendidikan formal di bidang gizi hanya dengan pelatihan singkat saja adalah langkah yang bermasalah, baik dari segi kompetensi, regulasi, maupun keamanan program gizi.
Polemik yang Justru Menyadarkan Publik
Meski awalnya menimbulkan kebingungan, polemik ini memiliki sisi positif, Dimana masyarakat kini lebih melek bahwa urusan gizi bukan hal remeh. Anak-anak Indonesia membutuhkan makanan yang benar-benar berkualitas, bukan sekadar “gratis”.
Program MBG adalah langkah baik, tetapi hanya bisa berhasil jika dirancang dan diawasi oleh tenaga yang benar-benar memahami ilmu gizi. Pada akhirnya, bukan soal siapa yang membuat pernyataan tetapi bagaimana memastikan anak Indonesia mendapat haknya untuk tumbuh sehat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
