Menggugat Keselamatan pada Tragedi Runtuhnya Pesantren di Sidoarjo
Agama | 2025-11-16 11:15:13
Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo beberapa waktu lalu adalah duka kolektif yang tak terperi. Lebih dari sekadar musibah, insiden ini adalah cermin buram dari kelalaian struktural dan abainya pengawasan yang berakar dalam praktik pembangunan fasilitas publik, termasuk lembaga pendidikan. Santri-santri yang seharusnya menikmati tempat belajar dan ibadah yang aman, justru menjadi korban dari rapuhnya pondasi dan ambisi pembangunan yang mengabaikan kaidah keselamatan.
Dugaan awal yang mengemuka, mulai dari penambahan lantai tanpa perhitungan teknis yang memadai, penggunaan material yang tidak sesuai spesifikasi, hingga tidak adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB), semuanya menunjuk pada satu titik yaitu standar keselamatan telah diabaikan. Ini bukanlah kecelakaan tunggal, namun ini adalah kegagalan sistemik yang melibatkan banyak pihak.
Lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren kerap kali dibangun atas dasar swadaya dan semangat gotong royong. Niat mulia ini, sayangnya, seringkali tidak diimbangi dengan kepatuhan pada standar teknik sipil. Terdapat kesaksian yang menyebutkan bahwa kekhawatiran warga terhadap fondasi bangunan yang hanya menggunakan pondasi dangkal (foot plate) dan bukan pondasi dalam (paku bumi) telah diabaikan. Bahkan, konon ada pernyataan yang meremehkan, seolah-olah "paku doa" bisa menggantikan "paku bumi."
Argumen yang menganggap musibah ini semata-mata sebagai takdir Tuhan adalah bentuk pelarian dari tanggung jawab. Sementara kita meyakini adanya takdir, kelalaian manusia dalam merencanakan, membangun, dan mengawasi struktur bangunan adalah variabel yang dapat dikendalikan. Kematian puluhan santri yang sedang beribadah atau beraktivitas tidak bisa hanya dibungkus dengan narasi keikhlasan, tanpa menuntut pertanggungjawaban hukum atas dugaan tindak pidana kelalaian yang berujung pada hilangnya nyawa.
Penambahan lantai, dari rencana awal satu lantai menjadi tiga bahkan empat, tanpa audit dan penguatan struktur dasar, merupakan tindakan yang sangat berisiko. Dalam dunia konstruksi, perubahan signifikan pada desain awal tanpa perhitungan ulang daya dukung adalah kejahatan profesional. Ketika bangunan yang awalnya bukan diperuntukkan untuk menopang beban berat dipaksa untuk menahan berton-ton material tambahan, keruntuhan hanyalah masalah waktu.
Keselamatan jiwa santri tidak boleh dinegosiasikan dengan alasan apapun, termasuk otonomi lembaga atau keterbatasan dana.
Tim penyelamat bekerja tanpa henti, bahkan di malam hari, untuk mencari korban yang masih hidup di bawah reruntuhan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur. Tim penyelamat bekerja tanpa henti, bahkan di malam hari. Mereka terus menggali reruntuhan, memanggil nama-nama korban, dan menggunakan berbagai peralatan canggih seperti sensor dan drone penginderaan termal untuk mencari korban yang masih hidup. Tim penyelamat melakukan evaluasi untuk menentukan kapan dan di mana peralatan berat seperti derek dapat digunakan dengan aman.
Tim penyelamat juga melakukan penilaian untuk memutuskan kapan dan di mana mesin berat seperti derek dapat dikerahkan dengan aman. Proses evakuasi ini melibatkan 332 personil dari berbagai instansi, termasuk Basarnas, TNI, Polri, dan relawan.
Keruntuhan Pondok Pesantren Al-Khoziny terjadi pada 29 September 2025, ketika para santri sedang melaksanakan salat Asar berjamaah di lantai dua. Tragedi ini menewaskan 67 orang dan melukai 103 orang.
Di sisi lain, perlu disoroti pula dugaan adanya santri yang dilibatkan dalam proses pengecoran. Meskipun niatnya mungkin sebagai bentuk 'kerja bakti' atau pengabdian, jika hal itu melanggar aturan ketenagakerjaan atau bahkan mengarah pada eksploitasi anak, maka ini menambah daftar panjang ironi dalam tragedi ini. Pendidikan, termasuk di pesantren, seharusnya menciptakan lingkungan yang melindungi, bukan yang menempatkan peserta didiknya dalam bahaya konstruksi.
Tragedi Al Khoziny harus menjadi momentum untuk revolusi keselamatan bangunan di seluruh Indonesia, khususnya pada lembaga pendidikan keagamaan.
1. Penegakan Hukum Tegas: Polisi harus mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya, menjerat semua pihak yang terbukti lalai, baik dari pengelola pesantren, kontraktor, hingga oknum yang mungkin terlibat dalam pembiaran izin. Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian harus diterapkan.
2. Audit Struktural Nasional: Pemerintah, melalui Kementerian PUPR dan Kementerian Agama, harus segera melakukan audit struktural massal terhadap semua bangunan pesantren dan sekolah yang dicurigai tidak sesuai standar teknis, terutama yang dibangun secara swadaya atau mengalami penambahan lantai.
3. Kebijakan IMB Terintegrasi: Pemerintah perlu memfasilitasi dan mempermudah pengurusan IMB bagi fasilitas pendidikan berbasis swadaya, namun tanpa mengkompromikan standar keselamatan. Berikan pendampingan teknis gratis oleh tenaga ahli konstruksi.
4. Hentikan 'Pengecualian' Keselamatan: Hentikan budaya yang menganggap bangunan keagamaan atau pendidikan dapat dikecualikan dari aturan IMB dan standar teknis. Keselamatan adalah prioritas universal yang melampaui batas-batas institusional.
Puluhan nyawa telah melayang. Jangan biarkan tragedi ini berlalu tanpa ada pelajaran yang mengubah. Kita harus memastikan bahwa masa depan anak bangsa yang dititipkan di lembaga pendidikan dapat dijamin dalam bangunan yang kokoh, bukan dalam reruntuhan yang rapuh karena kelalaian yang tak termaafkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
