Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Kaos, Identitas, dan Pertarungan Makna

Humaniora | 2025-11-14 18:20:51
Gambar: internet

Ada momen ketika peradaban tampak runtuh bukan oleh perang, bukan oleh kemiskinan, bukan oleh skandal politik, tetapi oleh sebuah kaos. Amerika Serikat baru saja membuktikannya. Liam Morrison, siswa SMP yang bahkan mungkin belum menguasai seluruh tabel perkalian, tiba-tiba menjadi pusat badai nasional setelah datang ke sekolah mengenakan kaos bertuliskan There Are Only Two Genders.

Begitu melihat kaos itu, sekolah panik seolah-olah Liam membawa plutonium dalam tas ranselnya. Kaos itu langsung dianggap terlalu “mengancam” untuk berada di ruang kelas. Tidak dijelaskan ancamannya seperti apa, tetapi energi ketakutan yang dipancarkan sekolah lebih kuat daripada penjelasan ilmiah mana pun.

Liam diminta mengganti kaosnya. Sekolah mungkin berpikir mereka baru saja menyelamatkan dunia dari kehancuran. Namun Liam kembali dengan versi satir, tulisan yang sama, hanya saja disensor. Sekolah tetap melarangnya. Ternyata di Amerika, sensor diperbolehkan hanya jika dilakukan oleh institusi, bukan oleh siswa.

Pengadilan kemudian ikut turun tangan, menanggapi kaos itu dengan keseriusan yang biasanya dibutuhkan untuk kasus konstitusional berskala besar. Hakim memutuskan bahwa sekolah berhak melarang kaos tersebut karena bisa “mengganggu iklim belajar.” Betapa rapuhnya iklim belajar itu sehingga lima kata di atas kain bisa membuatnya retak.

Ironisnya, negara yang mengaku sebagai benteng kebebasan berbicara justru terlihat kalang kabut ketika seorang anak SMP mengutarakan pendapatnya melalui pakaian. Jika ada indikator kejatuhan peradaban modern, mungkin inilah contohnya, kebebasan yang dicetak di buku-buku pelajaran kini tidak relevan ketika dihadapkan pada tulisan berukuran 24 poin di dada seorang remaja 12 tahun.

Kasus ini menunjukkan bagaimana masyarakat modern kehilangan kemampuan menghadapi perbedaan pandangan. Kita hidup di era ketika keberagaman dipuji, tetapi hanya keberagaman yang sesuai daftar resmi. Setiap opini yang sedikit saja menyimpang langsung dianggap berbahaya, bukan karena substansinya, tetapi karena ketidakmampuan kolektif mengelola ketegangan sosial.

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat diskusi menjadi lebih steril daripada ruang operasi. Siswa tidak diajarkan cara berdebat, melainkan cara menghindari ketidaknyamanan. Perbedaan bukan lagi bagian dari proses belajar, tetapi ancaman yang harus diisolasi sedini mungkin. Akibatnya, generasi muda tumbuh bukan sebagai pemikir, tetapi sebagai kurator sensitivitas.

Yang lebih lucu lagi, perdebatan tentang identitas gender, yang jauh lebih kompleks daripada soal PR matematika, tiba-tiba ditumpukan kepada anak kelas delapan. Alih-alih mendidik mereka memahami perbedaan, sekolah memilih menyensor pandangan yang tidak sesuai dengan arus mainstream. Dunia dewasa, rupanya, terlalu sibuk berargumentasi di media sosial sehingga menyerahkan persoalan identitas kepada seorang remaja yang hanya ingin memakai kaos favoritnya.

Fenomena ini menunjukkan satu hal, masyarakat Barat sedang berada dalam fase canggung dalam memahami identitas manusia. Gender tidak lagi dilihat sebagai bagian dari fitrah, melainkan konsep yang dapat dinegosiasikan sesuai suasana hati dan tuntutan budaya. Ketika makna dasar pun dianggap cair, setiap ekspresi kecil bisa memicu gempa sosial. Kita tidak lagi berdebat soal realitas, tetapi soal persepsi realitas.

Pada titik itulah dunia modern tampak paling absurd. Kita menyaksikan bagaimana sebuah kaos menjadi simbol krisis epistemik. Tidak ada kepastian makna, tidak ada kesepakatan dasar, sehingga setiap kata menjadi potensi bencana. Yang tersisa hanyalah tumpukan sensitivitas yang mudah terpicu.

Bila masyarakat masih memegang konsep bahwa manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, bukan sebagai spektrum tanpa batas, kasus seperti ini tidak akan mencapai skala nasional. Bila definisi gender tidak mengalami konstruksi berlapis-lapis hingga kehilangan akar biologis dan moralnya, kaos Liam akan dianggap sebagai kaos, bukan sebagai serangan ideologis. Bila fitrah manusia diakui sebagai fondasi, bukan bagian dari perdebatan akademik yang tak kunjung selesai, sekolah tidak akan panik seperti melihat meteor jatuh di halaman.

Akhirnya, persoalan ini mengingatkan kita bahwa ketika makna-makna paling dasar direduksi menjadi opini, maka segala hal bisa menjadi kontroversi, termasuk kaos anak SMP. Dan ketika fitrah tidak lagi dijadikan kompas, masyarakat akan selalu tersesat oleh hal-hal yang seharusnya sederhana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image