Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image viska meisyaristi

Demokrasi Kampus dan Aktivisme Mahasiswa yang Berpindah ke Media Sosial

Politik | 2025-11-11 19:40:05

Kampus selama ini sering kali dipandang sebagai tempat mahasiswa untuk belajar menjadi manusia yang bisa berpikir kritis. Di sana, mahasiswa tidak hanya belajar di kelas, tetapi juga berdiskusi, berdebat, dan membangun rasa peka terkait persoalan sosial di sekitarnya. Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, pemikiran yang semula seperti itu kian berubah. Ruang diskusi terasa semakin sempit bagi mahasiswa, beberapa kegiatan perlu izin berlapis, dan ekspresi pendapat serimgkali dianggap terlalu sensitive untuk diungkapkan. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kemudian mengalihkan suara dan gerakan mereka ke media sosial.

Di sisi lain, di era digital sekarang ini, media sosial memang menawarkan ruang lebih bagi siapapun yang ingin berpendapat. Saat ini tidak sedikit mahasiswa yang sudah melek akan politik, sehingga disanalah mahasiswa seringkali memilih untuk dapat berbicara, membagikan pendapat, atau menyoroti isu sosial tanpa harus membuat forum resmi. Tidak heran, aktivisme mahasiswa kini lebih terasa di Instagram, TikTok, Twitter atau media sosial lain jika dibandingkan dengan ruang-ruang organisasi kampus. Karena melalui media sosial, unggahan, ide, atau kritik bisa menyebar jauh lebih cepat tanpa harus melalui perizinan yang rumit.

Kebiasaan digital memang membawa perubahan besar dalam cara kita berpartisipasi dalam isu sosial. Banyak kampanye sosial kini hadir dalam bentuk konten singkat seperti poster, video pendek, thread, atau unggahan media sosial lainnya. Informasi cepat menyebar, dan kita jadi lebih mudah merasa peduli atau ikut terlibat dalam isu yang sedang viral. Tapi, di balik kemudahan ini, sering kali pembahasan yang mendalam justru terabaikan. Akibatnya, kita cenderung ikut-ikutan peduli atau ikut campur tanpa benar-benar memahami akar permasalahan yang sedang dibahas.

Seperti aksi mahasiswa #IndonesiaGelap2025 menunjukkan bagaimana aktivisme mahasiswa kini tidak hanya berlangsung di ruang fisik, tetapi juga meluas ke ruang digital melalui media sosial. Mahasiswa menggunakan platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter untuk menyebarkan informasi dan memobilisasi massa dalam menanggapi kebijakan kontroversial pemerintah yang sedang terjadi saat itu. Aksi ini menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi ruang publik baru bagi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi dan membangun opini publik, sekaligus menimbulkan tantangan seperti penyebaran disinformasi dan pembatasan akses oleh platform digital

Namun, arus informasi yang cepat di media digital juga rentan terhadap penyebaran informasi yang tidak akurat atau berita palsu, yang bisa memperburuk situasi dan menyesatkan masyarakat. Karena konten kampanye sosial sering kali disajikan secara singkat dan menarik secara emosional, kita lebih mudah terpengaruh tanpa melakukan verifikasi atau mendalami konteks isu yang diangkat. Hal ini menunjukkan pentingnya literasi digital dan kritis dalam menghadapi arus informasi di era digital, agar partisipasi sosial tidak hanya sekadar tren, tetapi juga berdampak nyata dan berkelanjutan.

Supaya demokrasi kampus tetap hidup, semua pihak perlu berperan. Kampus perlu membuka ruang dialog yang aman dan tidak defensif. Pihak kampus perlu membuka ruang diskusi yang inklusif dan aman, baik secara fisik maupun digital, agar mahasiswa merasa didengar dan dihargai. Kampus juga dapat mengintegrasikan pendidikan literasi digital dan kritis dalam kurikulum, sehingga mahasiswa mampu menggunakan media sosial secara bertanggung jawab dan etis. Selain itu, kampus perlu memperkuat peran dosen dan fasilitator sebagai mediator dan pendamping dalam proses diskusi dan aktivisme mahasiswa, baik di ruang fisik maupun digital.

Organisasi mahasiswa harus kembali menjadi tempat belajar dan bertumbuh, bukan sekadar penyelenggara acara. organisasi kampus dapat memanfaatkan media sosial, blog, dan kanal digital lainnya untuk membahas isu-isu sosial, politik, dan lingkungan yang relevan. Dengan memanfaatkan platform digital, organisasi kampus dapat memperluas jangkauan gerakan mereka, baik di dalam maupun di luar kampus, serta membangun solidaritas lintas kampus dan lintas negara. Ketika mahasiswa merasa didengar dan memiliki ruang untuk berdialog, mereka cenderung lebih terlibat secara langsung dalam proses demokrasi kampus, bukan hanya melalui unggahan atau komentar di media sosial (Syaifullah, 2023).

Dengan begitu, kampus tetap menjadi tempat tumbuh mahaiswa yang berpikir kritis, bukan hanya tempat untuk membagikan opini viral melalui media social. Kolaborasi antara kampus, mahasiswa, dan platform media sosial juga penting untuk memastikan kebebasan berekspresi dan akses informasi, serta meminimalisasi pembatasan yang tidak adil. Dengan pendekatan ini, kampus dapat menjadi ruang publik yang mendukung partisipasi demokrasi, literasi politik, dan pengembangan identitas sosial mahasiswa, sekaligus mengurangi ketergantungan pada media sosial sebagai satu-satunya wadah aktivisme.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image