Terjebak FOMO: Ancaman Dunia Maya bagi Kesehatan Mental Gen Z
Gaya Hidup | 2025-11-11 11:29:40Pada era digital saat ini, cara manusia berpikir, berinteraksi, dan menilai dirinya sendiri telah berubah. Di tengah derasnya arus media sosial dan informasi, muncullah sebuah fenomena atau istilah yang sering kali kita dengar, yaitu FOMO (Fear of Missing Out). Fenomena FOMO atau Fear of Missing Out adalah kondisi psikologis di mana seseorang merasa cemas, gelisah, atau takut kehilangan pengalaman sosial yang sedang terjadi di sekitarnya. Fenomena ini semakin sering dijumpai, terutama di kalangan Generasi Z (Gen Z), yaitu mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Perkembangan media sosial dan teknologi digital semakin memperkuat eksistensi FOMO dalam kehidupan sehari-hari generasi tersebut.
Menurut Oxford Dictionary, FOMO berarti kecemasan yang muncul ketika seseorang merasa orang lain sedang mengalami hal menyenangkan yang tidak ia ikuti. Dalam konteks media sosial, hal ini tampak jelas: saat orang lain atau kerabat mengunggah liburan, pencapaian, atau kehidupan ideal, muncul dorongan untuk ikut serta atau setidaknya terlihat “tidak ketinggalan”. Generasi Z yang tumbuh di era digital sangat bergantung pada dunia maya yang serba terhubung. Media sosial memberikan akses penuh terhadap berbagai aktivitas dan pengalaman orang lain, sehingga generasi Z tidak hanya ingin tahu apa yang terjadi, tetapi juga merasa harus selalu ikut andil dalam setiap tren, unggahan, atau pencapaian agar tetap dianggap relevan atau tidak tertinggal zaman yang mereka anggap “populer”. Kondisi ini membuat mereka sangat rentan mengalami tekanan sosial.
Salah satu penyebab utama FOMO adalah perbandingan sosial yang intens melalui media sosial. Kesehatan mental Gen Z sangat terpengaruh akibat paparan konten yang mereka lihat dan anggap “sempurna”, padahal sering kali telah dipoles sehingga menimbulkan standar yang tidak realistis mengenai pencapaian pribadi, akademik, maupun sosial. FOMO memperkuat siklus negatif ini, di mana individu terus-menerus membandingkan dirinya dengan representasi kehidupan orang lain. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa kebutuhan akan otonomi dan kompetensi dapat dipenuhi melalui penilaian yang ditekan secara sosial, alih-alih evaluasi diri yang sehat.
Fenomena FOMO dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Generasi Z yang mengalaminya cenderung merasakan stres, kecemasan, dan ketidakpuasan terhadap keadaan atau pencapaian mereka saat ini. Ketidakmampuan untuk “mengikuti” semua kegiatan, baik secara virtual maupun nyata, menimbulkan tekanan psikologis yang cukup berat. Dampak FOMO terhadap kesehatan mental bukanlah hal yang dapat dianggap sepele. Banyak studi menunjukkan bahwa fenomena ini dapat memicu kecemasan sosial, stres kronis, hingga depresi ringan. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 65% Generasi Z melaporkan gejala kecemasan yang signifikan akibat tekanan sosial di media digital. Ketika mereka terus-menerus membandingkan diri dengan citra kehidupan orang lain yang sering kali tidak realistis, perasaan tidak cukup baik akan muncul dan memperburuk kesehatan mental. Sebuah penelitian oleh Przybylski et al. (2013) menemukan bahwa FOMO berkaitan erat dengan ketidakpuasan hidup dan rendahnya kesejahteraan psikologis.
Menurut Jean Twenge (2017) dalam bukunya iGen, generasi yang tumbuh dengan ponsel pintar cenderung mengalami peningkatan masalah kesehatan mental karena tekanan sosial digital. Twenge menegaskan bahwa konektivitas digital yang berlebihan justru membuat individu merasa lebih kesepian dan terisolasi.
Dari perspektif kognitif, fokus berlebihan pada pembaruan media sosial dapat memicu fenomena attentional bias, yaitu kecenderungan otak memberi bobot lebih pada informasi yang menegaskan keinginan untuk tidak ketinggalan. Hal ini menyebabkan kualitas tidur yang buruk akibat kebiasaan berselancar di internet hingga larut malam. Teori ini menjelaskan mengapa banyak remaja dan dewasa muda mengalami kesulitan mematikan perangkat mereka saat butuh istirahat. Efek jangka panjangnya meliputi kelelahan kognitif, perubahan suasana hati, serta penurunan konsentrasi di sekolah dan tempat kerja.
Dampak FOMO tidak hanya pada aspek psikologis, tetapi juga pada gaya hidup. Banyak generasi Z terdorong untuk hidup konsumtif demi mengikuti tren media sosial, akibat pengaruh para influencer maupun selebritas yang menampilkan gaya hidup mewah dan glamor. Hal ini berujung pada tekanan keuangan dan rasa puas yang rendah. Pola ini memperberat beban mental dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental jangka panjang.
Untuk mengatasi FOMO, dapat dilakukan berbagai cara. Salah satunya adalah edukasi mengenai penggunaan media sosial yang sehat. Generasi Z perlu diajarkan cara memilah dan memfilter konten yang membangun serta menghindari konten yang merugikan. Melatih kesadaran diri dan menerima kenyataan bahwa tidak semua pengalaman harus diikuti merupakan kunci penting.
Selain itu, dukungan lingkungan sekitar sangat berarti. Orang tua, guru, dan teman dapat membantu mengurangi tekanan mental dengan memberikan pemahaman serta contoh penggunaan media sosial yang bijak. Sering menghabiskan waktu bersama tanpa gawai dapat memperkuat ikatan sosial yang lebih sehat.
Salah satu solusi populer yang cukup efektif adalah digital detox, yaitu mengurangi atau berhenti sementara menggunakan media sosial untuk menyeimbangkan kondisi mental dan fisik. Dengan mengurangi penggunaan media sosial, seseorang dapat melakukan berbagai aktivitas positif lain seperti berolahraga, membaca buku, atau mengembangkan minat dan bakat. Aktivitas ini terbukti meningkatkan suasana hati, kualitas tidur, serta produktivitas. Riset dari American Psychological Association (2021) menyebutkan bahwa waktu layar (screen time) yang terkontrol berkontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan mental.
Terapi dan konseling juga menjadi langkah penting bagi mereka yang telah merasakan dampak serius akibat FOMO. Melalui pendekatan psikologis oleh para ahli, generasi muda diajarkan cara mengelola kecemasan dan membangun kepercayaan diri tanpa bergantung pada validasi dari media sosial.
Fenomena FOMO merupakan aspek yang tak terhindarkan dari budaya digital. Namun, dengan kesadaran dan pengelolaan yang baik, Gen Z dapat menjadi lebih tangguh (resilient) menghadapi tekanan zaman. Mereka dapat memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu, bukan perangkap psikologis.
Melihat fenomena ini sebagai masalah global, banyak organisasi kesehatan mental internasional mulai memasukkan program edukasi tentang kecanduan media sosial dan FOMO ke dalam kurikulum sekolah dan universitas. Media dan pemerintah perlu berperan aktif dalam mengampanyekan penggunaan media sosial yang sehat dan bertanggung jawab. Papan informasi dan layanan konseling mental harus diperluas, terutama untuk generasi muda yang rentan terhadap FOMO.
Keseimbangan antara manfaat media sosial dan risiko FOMO adalah kunci terpenting. Teknologi tidak perlu dihindari sepenuhnya, melainkan diintegrasikan dengan kebiasaan sadar. Mengetahui kapan harus berhenti menelusuri feed, mengatur batas, serta memilih konten yang positif dan inspiratif dapat mengurangi dampak negatif. Generasi Z perlu membangun rasa cukup dan memperkuat hubungan interpersonal di dunia nyata. Dengan pola pikir yang lebih tangguh, teknologi dapat menjadi sarana untuk mengembangkan diri secara bermakna, bukan sekadar ajang memamerkan pencapaian atau kehidupan yang “sempurna”, serta sumber kecemasan yang berkelanjutan.
-Bluesy Joe Andreas El Fikry, Mahasiswa Baru Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
