Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Moh. Faiz Maulana

Yang tak Dapat Dibuktikan, Tapi Harus Diingat

Kolom | 2025-11-10 17:30:30
Foto: Republika/Erik Purnama Putra

Di atas podium bergambar garuda, Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI “menantang” rakyat dengan mengucapkan “apa faktanya?”, “mana buktinya?” terkait polemik penobatan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Kalimat itu seolah ingin menegaskan bahwa sejarah dan penilaian moral hanya sah jika ditopang oleh bukti yang dapat diverifikasi. Dalam logika formal, sikap seperti ini tampak rasional dan bahkan diperlukan—bukti menjadi pagar agar kebenaran tidak diseret oleh sentimen.

Namun, ketika pertanyaan itu diarahkan pada peristiwa kelam yang dialami bangsa selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, nada rasional itu berubah menjadi paradoks. Sebab, bagaimana mungkin rakyat diminta menunjukkan “bukti” dari ketakutan yang diwariskan lintas generasi? Bagaimana menghadirkan dokumen yang mencatat trauma kolektif dari mereka yang tak berani bersuara?

Dalam bayang-bayang Orde Baru, sebagian besar “bukti” justru dihapus, dimusnahkan, atau tak pernah sempat diarsipkan. Yang tersisa adalah ingatan—tentang sensor, penghilangan, penyiksaan, dan ketakutan yang menempel di keseharian. Dalam rumah tangga, banyak orang tua menasihati anak-anaknya agar tak berbicara soal politik. Dalam kampus, tema 1965 dan pelanggaran HAM dibicarakan berbisik-bisik. Tak ada “bukti” yang dapat difotokopi dari pengalaman seperti ini, namun itu bukan berarti kebenaran tak ada.

Pahlawan Nasional

Penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional, dengan demikian, bukan sekadar soal penghargaan negara terhadap tokoh tertentu, tetapi juga ujian terhadap ingatan bangsa: apakah kita masih mampu menghargai kebenaran yang tak berbentuk arsip?

Penobatan ini, di mata sebagian orang, tampak seperti upaya negara menutup bab lama sejarah dengan perayaan. Namun, bagi banyak lainnya, justru membuka kembali luka yang belum sempat sembuh. Ada rasa getir yang muncul ketika negara seolah menepuk bahu rakyat, sambil berkata: “Lupakan yang sudah-sudah, kita lihat jasa-jasa besarnya.” Padahal, yang bagi sebagian disebut “jasa” itu berdiri di atas ketakutan, pembungkaman, dan penghilangan suara. Penghargaan semacam ini, alih-alih memperkuat rekonsiliasi, justru mengaburkan batas antara pelaku dan korban, antara kehormatan dan penindasan.

Soeharto adalah simbol paradoks bangsa: ia sekaligus dikenang sebagai “Bapak Pembangunan” dan “arsitek represi.” Kedua citra itu terus bertarung dalam ingatan kolektif Indonesia. Dalam ruang publik, narasi pembangunan dengan mudah mendominasi, karena ia sejalan dengan logika kemajuan dan stabilitas yang disukai negara. Tetapi narasi penderitaan dan penindasan jauh lebih sulit bertahan, karena tidak memiliki lembaga, sumber daya, atau bahasa resmi untuk diakui. Seperti kata Foucault (1980), kekuasaan bukan hanya menindas tubuh, tetapi juga mengatur “siapa yang boleh berbicara tentang kebenaran.”

Maka, penobatan ini bukan sekadar keputusan administratif, tetapi tindakan simbolik yang menentukan versi sejarah mana yang hendak kita peluk. Ia mengukuhkan memori tertentu sebagai “resmi,” sambil menyingkirkan memori yang lain ke pinggiran. Di sinilah sejarah berhenti menjadi ruang perdebatan moral, dan berubah menjadi proyek politik yang mengatur emosi warganya—siapa yang boleh berduka, siapa yang harus berterima kasih.

Karena itu, setiap kali negara menobatkan seseorang sebagai pahlawan, seharusnya yang diuji bukan hanya jasanya, melainkan juga luka yang ditinggalkannya. Mengakui kebenaran yang tak berbentuk arsip berarti memberi ruang bagi mereka yang tak sempat bersuara di dalam sejarah resmi. Tanpa itu, penghargaan semacam ini hanya akan menjadi monumen kosong—megah di permukaan, tapi rapuh di dasar ingatan.

Bukti dan Kebenaran

Dalam wacana publik Indonesia, “bukti” kerap dipahami dalam pengertian legal-formal—sesuatu yang dapat dibawa ke pengadilan atau diverifikasi secara material. Tetapi, sebagaimana diingatkan filsuf Foucault, setiap rezim kekuasaan juga membentuk “rezim kebenaran”, yakni cara tertentu dalam menentukan apa yang boleh disebut benar dan apa yang tidak. Dengan kata lain, “bukti” tidak pernah netral; ia adalah hasil dari relasi kuasa yang menentukan siapa yang berhak berbicara dan siapa yang tidak.

Itulah mengapa tuntutan “mana buktinya?” sering kali berubah menjadi alat pembungkam, terutama bagi korban kekerasan negara yang hidup dalam ketakutan struktural. Dalam logika hukum, korban harus membuktikan penderitaannya; tetapi dalam kenyataan sosial, korban sering kali kehilangan akses bahkan untuk sekadar bersuara.

Dalam konteks inilah kita perlu membedakan antara bukti dan kebenaran. Bukti bersifat empiris dan eksternal, sementara kebenaran bersifat eksistensial dan afektif. Kebenaran tidak selalu mewujud dalam dokumen atau kesaksian tertulis, melainkan dalam pengalaman tubuh dan emosi manusia.

Sejarawan trauma Dominick LaCapra (2001) menyebut bahwa trauma kolektif adalah “sejarah yang tidak dapat selesai”—ia terus berulang, memanggil kita untuk mendengarkan yang tak dapat diucapkan. Sementara itu, Cathy Caruth (1996) menegaskan bahwa trauma bukan sekadar peristiwa masa lalu, tetapi pengalaman yang “menuntut untuk diceritakan kembali” karena justru belum selesai dihadapi. Dengan demikian, kebenaran tentang masa Orde Baru tidak hanya terletak pada arsip negara, tetapi juga pada narasi yang hidup dalam ingatan rakyat. Tubuh, emosi, dan diam panjang para penyintas adalah bentuk lain dari kesaksian. Mereka adalah bukti yang hidup, meski tak tercatat.

Memori Kolektif

Sosiolog Maurice Halbwachs (1992) pernah menulis bahwa ingatan bukan sekadar milik individu, melainkan dibentuk dalam ruang sosial: keluarga, komunitas, dan bangsa. Ingatan kolektif menentukan bagaimana masyarakat menafsirkan masa lalunya. Namun, di Indonesia, ingatan kolektif tentang masa kekuasaan Soeharto masih dipenuhi paradoks: sebagian mengenang stabilitas dan pembangunan, sementara sebagian lain menyimpan trauma dan kehilangan.

Ketika negara memilih untuk menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, negara sesungguhnya sedang memilih versi tertentu dari memori kolektif—yakni versi yang menyingkirkan kesedihan dan penderitaan. Penghargaan itu bukan sekadar tindakan simbolik, melainkan tindakan politik terhadap ingatan. Ia menegaskan bahwa yang dianggap layak diingat adalah pembangunan, bukan penindasan; kemakmuran, bukan kekerasan. Padahal, seperti diingatkan oleh Avishai Margalit (2002), bangsa yang beradab adalah bangsa yang mampu mengingat penderitaan orang lain, bukan yang melupakannya demi kenyamanan. Mengingat adalah bentuk tanggung jawab moral; melupakan demi harmoni semu justru memperpanjang luka.

Maka, yang seharusnya kita perjuangkan bukan hanya kebenaran yang bisa dibuktikan di meja birokrasi, tetapi kebenaran yang dirasakan di ruang batin masyarakat. Kebenaran yang hidup dalam memori para korban, dalam puisi, dalam bisu, dalam rasa kehilangan yang tak bisa diukur.

Soeharto mungkin telah wafat, tetapi bayang-bayang kekuasaannya masih hidup dalam cara kita mendefinisikan kebenaran. Selama bangsa ini hanya mengakui yang terbukti dan menolak yang terasa, kita akan terus gagal berdamai dengan masa lalu. Sebab, kebenaran—seperti luka—tidak selalu dapat dibuktikan, tetapi selalu dapat dirasakan.

Moh. Faiz Maulana

Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image