Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Naura

Soeharto: Antara Pahlawan dan Bayang-bayang Kekuasaan

Politik | 2025-12-02 22:32:59

Kita semua tentu mengenal nama Soeharto, sosok yang lebih dari tiga puluh tahun menjadi pusat gravitasi politik Indonesia. Ia adalah figur yang membelah pendapat publik: bagi sebagian orang, ia dikenang sebagai pemimpin yang memulihkan negara dari kegaduhan pasca G30S dan membangun fondasi ekonomi yang membuat Indonesia bangkit. Namun bagi banyak lainnya, namanya adalah pintu menuju ingatan kelam: pembungkaman, pelanggaran HAM, dan kekuasaan yang begitu panjang hingga menjelma menjadi bayang-bayang yang menutupi suara rakyat.

Wacana pemberian gelar pahlawan yang kembali mencuat di era Prabowo kemudian memantik perdebatan baru. Pertanyaannya sederhana, tetapi sarat beban sejarah: apa yang sebenarnya kita hormati ketika kita memberi seseorang gelar pahlawan?

Pembangunan yang Mengubah Wajah Negeri

Tak dapat dipungkiri, Soeharto datang dengan janji stabilitas di masa ketika Indonesia hampir karam. Repelita menjadi kompas pembangunan, ekonomi tumbuh, dan swasembada pangan pada 1984 membuat dunia menoleh ke arah Indonesia. Di pelosok, jalan-jalan mulai terbentang, sekolah-sekolah dibangun, dan negara ini sempat disebut sebagai salah satu yang paling pesat pertumbuhannya di Asia.

Di mata banyak orang, Soeharto adalah tangan kuat yang menyatukan kembali negara yang terombang-ambing.

Namun Stabilitas Itu Memiliki Harga

Sejarah, sayangnya, tak pernah berdiri hanya pada satu sisi. Di balik geliat pembangunan, ada luka yang tak dapat dipoles begitu saja. Tragedi 1965–1966, yang menelan ratusan ribu nyawa, menjadi bab yang hingga kini masih belum selesai. Di era Orde Baru, pers dibungkam, lawan politik dipenjara, dan daerah-daerah seperti Timor Timur, Aceh, Papua, serta Tanjung Priok menjadi saksi pelanggaran HAM berat.

Nama-nama seperti Marsinah seorang buruh perempuan yang tewas setelah memperjuangkan haknya menjadi pengingat bahwa pembangunan sering kali berjalan dengan mereka yang terinjak di bawahnya.

KKN dan Kekuasaan yang Terlalu Lama Bersemayam

Kekuasaan panjang selalu membawa konsekuensinya sendiri. Korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur di masa itu. Negara tampak stabil, tetapi stabilitas yang dibangun dari ketakutan tidak pernah benar-benar kokoh. Rakyat hidup tertib, namun di bawah bayang-bayang larangan untuk bertanya terlalu banyak.

Inilah sisi sejarah yang membuat banyak orang mengernyit ketika wacana pemberian gelar pahlawan muncul kembali

Perdebatan yang Tak Pernah Redup

Ketika Prabowo yang kini berada di pucuk kekuasaan, mendorong narasi pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, publik kembali terbelah. Ada yang merasa waktunya mengakui jasa besar Soeharto, tetapi tidak sedikit yang menilai bahwa melangkah terlalu cepat justru berisiko menghapus suara korban dan mempertebal amnesia sejarah.

Sebab gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan, tetapi pernyataan moral dari sebuah bangsa. Dan bangsa yang tergesa sering kali mengorbankan ingatan demi kenyamanan politik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image