Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Farhan Ahmad Zulfikar

Saatnya Rupiah Tampil Lebih Ramping, Menuju Efisiensi dan Citra yang Kuat

Kebijakan | 2025-11-10 08:29:32

Latar Belakang

Wacana tentang Redenominasi Rupiah langkah penyederhanaan nominal mata uang dengan menghilangkan beberapa digit nol (misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1) kembali mengemuka dalam beberapa waktu terakhir. Kebijakan ini bukan sekadar urusan teknis moneter, melainkan mengandung ambisi besar untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional sekaligus memperbaiki citra mata uang Indonesia di mata dunia. Langkah ini, meski terkesan mendadak, adalah agenda strategis yang memerlukan persiapan cermat dan dukungan publik.

Jika dibandingkan dengan mata uang utama negara-negara lain, nominal Rupiah terbilang memiliki jumlah digit nol yang sangat banyak. Pecahan tertinggi saat ini, Rp100.000,00, adalah salah satu uang kertas dengan digit terbanyak di Asia. Fenomena ini bukanlah tanpa sebab; tingginya digit Rupiah adalah warisan historis dari era-era inflasi tinggi di masa lalu, yang memaksa pemerintah menerbitkan pecahan uang dengan nominal yang semakin besar.

Kondisi ini menciptakan beberapa kerumitan praktis:

 

  1. Kesulitan Transaksi dan Akuntansi: Jumlah nol yang berlebihan sering kali menyebabkan kesalahan saat pencatatan transaksi manual, proses pembukuan, hingga entri data digital, terutama pada skala triliunan.
  2. Beban Sistem Keuangan: Sistem pembayaran dan perangkat lunak akuntansi perbankan harus dirancang untuk menampung digit yang banyak, yang secara tidak langsung menambah kompleksitas operasional dan potensi biaya.
  3. Citra Internasional: Nominal yang 'membengkak' sering kali disalahartikan—atau menimbulkan persepsi—bahwa mata uang tersebut memiliki nilai yang lemah di pasar global, meskipun nilai tukarnya sendiri stabil.

Redenominasi hadir sebagai solusi untuk mengatasi masalah struktural ini tanpa mengurangi nilai intrinsik atau daya beli uang masyarakat. Penting untuk digariskan bahwa redenominasi bukanlah sanering (pemotongan nilai uang) yang terjadi di masa krisis dan menyebabkan kerugian.

Tujuan Utama Redenominasi sebagai Efisiensi dan Kredibilitas

Pemerintah dan otoritas moneter memiliki beberapa tujuan strategis di balik rencana redenominasi. Berdasarkan berbagai kajian dan pernyataan resmi, tujuan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

 

  • Meningkatkan Efisiensi Perekonomian

Penyederhanaan nominal secara signifikan akan mempercepat proses transaksi, mengurangi beban administrasi akuntansi, dan meminimalkan risiko kesalahan pencatatan yang disebabkan oleh banyaknya angka nol.

 

  • Memperkuat Kredibilitas dan Citra Mata Uang

Dengan nominal yang lebih sederhana dan sejajar dengan mata uang negara maju, Rupiah diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor asing dan citra positif di panggung ekonomi internasional.

 

  • Mendukung Digitalisasi Keuangan

Dalam ekosistem pembayaran digital dan teknologi keuangan (FinTech) yang semakin masif, nominal yang ringkas akan mempermudah integrasi sistem dan adaptasi teknologi.

Rencana ini telah tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan, dan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa (berdasarkan sumber tahun 2025), secara eksplisit menekankan urgensi dari langkah ini. Beliau menyampaikan bahwa salah satu alasan utama pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi adalah:

“... untuk efisiensi perekonomian, menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional, menjaga nilai Rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat, serta meningkatkan kredibilitas Rupiah.” (Diambil dari laporan CNN Indonesia dan Antara, November 2025, mengenai RUU Redenominasi).

Pernyataan ini menegaskan fokus pemerintah bahwa redenominasi harus dilaksanakan dalam kondisi makroekonomi yang stabil, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan penurunan daya beli.

Kesimpulan

Redenominasi Rupiah adalah keniscayaan dalam jangka panjang untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan efisiensi ekonomi modern. Ini adalah sinyal bahwa ekonomi Indonesia berada dalam kondisi yang stabil dan matang untuk melakukan transformasi moneter.

Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada waktu pelaksanaan (timing) yang tepat (saat inflasi rendah dan terkendali) serta sosialisasi yang masif dan intensif kepada seluruh lapisan masyarakat. Kegagalan dalam komunikasi dapat memicu kepanikan dan risiko psikologis berupa pembulatan harga ke atas yang berujung pada inflasi tak terduga.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan landasan hukum yang kuat, infrastruktur keuangan yang sudah teruji, dan strategi komunikasi yang menghilangkan kekhawatiran masyarakat, memastikan bahwa Rp1 baru benar-benar setara dengan Rp1.000 lama, tanpa mengurangi daya beli masyarakat sedikit pun. Jika langkah ini dilakukan dengan cermat, Rupiah akan tampil lebih tangguh, efisien, dan berwibawa di kancah global.

Referensi

Amir, A. (2013). Redenominasi Rupiah dan Sistem Keuangan. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah, 1(2), 91-96.

Kurnianingrum, T. P. (2013). Redenominasi Rupiah dalam Prespektif Hukum. Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan, 4(1), 71-80.

Annazah, N. S., Juanda, B., & Mulatsih, S. (2018). Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Redenominasi Mata Uang. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 9(2), 163-176.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image