Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Naufal

Dari Harta ke Berkah: Makna Kepemilikan dan Zakat dalam Islam

Filantropi | 2025-11-08 15:51:32
#tangandiataslebihbaikdaripadatangandibawah

Dalam pandangan Islam, harta yang dimiliki manusia sejatinya bukanlah milik pribadi secara mutlak. Semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah SWT, sementara manusia hanya diberi amanah untuk mengelolanya dengan baik. Artinya, ketika seseorang memiliki harta, ia tidak bebas menggunakannya sesuka hati. Ada tanggung jawab moral dan sosial yang melekat pada setiap bentuk kepemilikan agar harta itu membawa manfaat, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain.

Harta dalam Islam bukan sekadar simbol kemakmuran, tetapi juga ujian keimanan. Allah ingin melihat sejauh mana manusia mampu bersyukur, berbagi, dan menggunakan hartanya di jalan yang benar. Karena itu, konsep kepemilikan dalam Islam selalu diiringi rasa tanggung jawab. Salah satu wujud nyata tanggung jawab tersebut adalah zakat, yaitu kewajiban spiritual sekaligus sosial yang menegaskan bahwa sebagian dari harta kita merupakan hak orang lain.

Kepemilikan yang Berkeadilan

Islam tidak menolak kepemilikan pribadi. Setiap orang berhak atas hasil jerih payahnya selama diperoleh dengan cara halal. Namun, Islam juga menegaskan bahwa di dalam setiap harta ada hak orang lain yang harus disalurkan. Dalam surat An-Nur ayat 33, Allah berfirman:

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu.”

Ayat ini mengingatkan bahwa harta hanyalah titipan dari Allah, dan penggunaannya harus sesuai dengan aturan serta tujuan yang diridai-Nya.

Konsep ini menjadikan Islam berada di posisi tengah. Islam tidak seperti sistem kapitalis yang memberi kebebasan mutlak tanpa batas, tetapi juga tidak seperti sistem sosialis yang meniadakan kepemilikan pribadi. Islam mengakui hak individu, namun tetap menuntut tanggung jawab sosial. Harta bukan hanya untuk dikumpulkan, tetapi untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan bersama.

Rasulullah SAW juga mengingatkan pentingnya empati sosial dalam kepemilikan. Beliau bersabda,

“Tidaklah beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” Hadis ini menegaskan bahwa keimanan sejati tidak hanya diukur dari ibadah ritual, tetapi juga dari kepedulian terhadap sesama. Maka, kepemilikan harta dalam Islam menuntut keseimbangan antara hak pribadi dan kewajiban sosial.

Zakat: Dari Kewajiban Menuju Pemberdayaan

Kesadaran sosial itu diwujudkan melalui sistem zakat. Zakat bukan hanya kewajiban finansial, tetapi juga bentuk penyucian jiwa dan harta. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka.”

Ayat ini menegaskan dua fungsi utama zakat, yaitu membersihkan harta dari hak orang lain dan menyucikan hati dari sifat kikir serta tamak.

Lebih jauh lagi, zakat memiliki peran besar dalam menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat. Dengan adanya zakat, kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja, tetapi juga mengalir ke kelompok masyarakat yang membutuhkan. Zakat menjadi jembatan untuk mengurangi kesenjangan sosial sekaligus menumbuhkan solidaritas antarumat.

Namun, dalam praktiknya, zakat sering kali hanya dimaknai sebagai kegiatan memberi bantuan konsumtif, seperti uang, beras, atau pakaian. Padahal, tujuan utama zakat bukan sekadar meringankan beban hidup untuk sementara, melainkan mendorong kemandirian ekonomi mustahik (penerima zakat). Dengan kata lain, zakat tidak hanya memberi "ikan", tetapi juga mengajarkan "cara memancing".

Zakat Produktif: Mengubah Penerima Menjadi Pemberi

Konsep zakat produktif hadir sebagai solusi agar zakat tidak berhenti pada bantuan jangka pendek. Zakat seharusnya menjadi sarana pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pelatihan keterampilan kepada para mustahik sesuai dengan minat dan potensi mereka.

Misalnya, pelatihan menjahit, pertanian modern, kuliner, pembuatan kerajinan, atau keterampilan digital seperti desain dan pemasaran online. Dengan bekal keterampilan, mustahik dapat membuka peluang usaha sendiri atau memperoleh pekerjaan yang lebih layak.

Beberapa lembaga zakat di Indonesia sudah memulai langkah ini. BAZNAS dan LAZISMU, misalnya, mengembangkan program zakat produktif yang membantu masyarakat membangun usaha mikro berbasis UMKM. Program semacam ini telah mengubah banyak mustahik menjadi pelaku usaha mandiri bahkan muzakki di kemudian hari.

Selain pelatihan, penting juga untuk menempatkan mustahik sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Tidak semua penerima zakat memiliki latar belakang yang sama. Karena itu, lembaga zakat perlu melakukan pendataan dan penyortiran agar bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Mereka yang memiliki jiwa wirausaha bisa diarahkan pada program modal usaha, sedangkan yang memiliki keterampilan teknis bisa difasilitasi untuk bekerja di bidang sesuai kompetensi.

Membangun Karakter dan Kemandirian

Pemberdayaan ekonomi tidak akan berjalan maksimal tanpa pembentukan karakter. Bantuan finansial saja tidak cukup. Mustahik perlu dibimbing agar memiliki etos kerja yang kuat, jujur, disiplin, dan bertanggung jawab. Dengan karakter yang baik, mereka dapat mengelola rezeki dengan bijak dan tidak mudah menyerah menghadapi kesulitan.

Dukungan lain yang tak kalah penting adalah penyediaan fasilitas dan modal usaha. Banyak orang memiliki semangat tinggi dan keterampilan memadai, namun tidak memiliki modal atau sarana untuk memulai. Dalam konteks ini, dana zakat dapat digunakan untuk menyediakan modal bergulir, peralatan kerja, hingga tempat usaha yang layak. Pendampingan juga perlu dilakukan agar usaha yang dirintis bisa terus tumbuh dan berkelanjutan.

Harta untuk Manfaat, Bukan Sekedar Kepemilikan

Pengelolaan zakat yang berorientasi pada pemberdayaan seperti ini sejatinya mencerminkan semangat Islam dalam membangun keadilan sosial. Islam tidak mengajarkan kebaikan yang berhenti pada tindakan sesaat, melainkan membangun sistem sosial yang berkelanjutan.

Ketika zakat dijalankan secara produktif, ia dapat mengubah posisi mustahik menjadi pribadi mandiri, produktif, dan bahkan menjadi muzakki di masa depan. Inilah bentuk nyata dari keadilan ekonomi Islam, yaitu kekayaan tidak berhenti di satu tangan, tetapi terus berputar untuk kemaslahatan umat.

Dengan begitu, kepemilikan dalam Islam tidak hanya berarti memiliki, tetapi juga memberi. Harta bukan hanya alat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi juga sarana untuk menebar manfaat dan memperkuat persaudaraan sosial.

Menutup dengan Refleksi

Pada akhirnya, Islam mengajarkan bahwa keberkahan harta tidak diukur dari banyaknya, melainkan dari seberapa besar manfaatnya bagi sesama. Semakin banyak manfaat yang kita sebarkan, semakin luas pula keberkahan yang Allah limpahkan.

Konsep kepemilikan dan zakat dalam Islam bukan hanya teori ekonomi, tetapi juga panduan moral. Ia menyeimbangkan antara hak individu dan kepentingan masyarakat, antara kemakmuran pribadi dan kesejahteraan bersama.

Harta yang dikelola dengan niat baik dan dibagikan dengan cara yang benar akan menjadi jalan menuju keberkahan, baik bagi pemiliknya, bagi umat, maupun bagi kehidupan sosial yang lebih adil.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image