Komunikasi dan Empati dalam Profesi Administrasi Kebijakan Kesehatan
Info Terkini | 2025-11-03 07:39:24
Sore itu, suasana di rumah sakit terasa sangat ramai. Suara langkah kaki pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan berpadu dengan panggilan dari loket administrasi. Di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu sudut yang tampak tenang namun tetap sibuk — bagian administrasi pelayanan. Di sinilah para petugas administrasi kebijakan kesehatan bekerja, sosok yang sering kali tidak terlihat, tetapi memiliki peran penting dalam memastikan pelayanan rumah sakit berjalan dengan lancar.
Ketika mendengar kata “rumah sakit”, kebanyakan orang akan langsung terbayang sosok dokter, perawat, atau tenaga medis yang berhubungan langsung dengan pasien. Namun di balik ruang pelayanan medis yang tampak sibuk, ada profesi lain yang bekerja dalam senyap tetapi tidak kalah penting, yaitu administrasi kebijakan kesehatan. Mereka adalah figur yang memastikan setiap aturan, kebijakan, dan sistem pelayanan berjalan sesuai kebutuhan masyarakat. Profesi ini tidak hanya berpusat pada urusan administrasi atau data, tetapi juga membutuhkan keahlian komunikasi, empati, serta kemampuan memahami masyarakat dan menerjemahkannya menjadi kebijakan yang lebih manusiawi.
Dalam pengamatan saya, seorang staf administrasi kebijakan kesehatan tampak sabar dan telaten saat membantu seorang lansia yang kebingungan mendaftar secara daring melalui telepon genggam. Dengan nada lembut, ia memandu setiap langkah, mulai dari membuka laman pendaftaran hingga memastikan data yang diisi sudah benar. Sekilas momen itu terlihat sederhana, namun di situlah tampak nyata peran seorang petugas administrasi kebijakan kesehatan: mengubah kebijakan yang kaku menjadi pelayanan yang ramah dan mudah dipahami masyarakat. Ia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menenangkan dan memberikan rasa aman bagi pasien.
“Kalau ada kesulitan, nanti saya bantu di loket, Bu. Jangan khawatir, nanti saya arahkan,” ujarnya sambil tersenyum halus. Kalimat sederhana seperti itu ternyata memiliki makna yang mendalam. Bahasa yang lembut dan empatik mampu menciptakan kenyamanan dalam pelayanan kesehatan. Dari situ saya menyadari bahwa komunikasi dalam kebijakan kesehatan tidak selalu harus formal. Justru, bahasa yang hangat dan penuh perhatian membuat kebijakan lebih mudah diterima masyarakat.
Selama pengamatan, saya juga menyaksikan bagaimana seorang petugas administrasi menghadapi pasien yang kecewa karena antrean yang terlalu lama. Alih-alih menanggapi dengan nada tinggi, ia memilih untuk menenangkan dan menjelaskan dengan sabar alasan keterlambatan tersebut. Tidak ada perdebatan, hanya penjelasan yang disampaikan dengan empati dan ketulusan. Momen ini memperlihatkan bahwa komunikasi bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan dan memahami. Seorang petugas administrasi kebijakan kesehatan berfungsi sebagai “penengah” yang menjaga hubungan baik antara tenaga medis dan masyarakat. Mereka membantu menciptakan suasana yang kondusif, penuh pengertian, dan saling menghargai.
Setiap percakapan yang terjadi di lapangan tidak berhenti di situ saja. Petugas administrasi kebijakan kesehatan juga mencatat hal-hal kecil yang mereka temui selama proses pelayanan. Misalnya, “lansia kesulitan dalam alur pengisian pendaftaran daring.” Catatan sederhana seperti itu menjadi bahan penting dalam rapat evaluasi rumah sakit. Dari pengamatan dan catatan tersebut, kemudian lahirlah berbagai pembaruan kebijakan seperti penyediaan loket bantuan digital untuk lansia atau penyederhanaan formulir pendaftaran pasien baru. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang baik di lapangan dapat bertransformasi menjadi kebijakan yang lebih adaptif dan berpihak pada masyarakat.
Saya sempat mendengar seorang pasien berbicara pada keluarganya, “Tadi mikirnya ribet banget ngurusin ginian, tapi pas dijelasin pakai nada kalem, jadi ngerti.” Ucapan itu sederhana, tapi bermakna dalam. Dari situ terlihat bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tidak hanya dibangun dari sistem yang baik, tetapi juga dari cara petugas memperlakukan pasien dengan empati dan kesabaran. Komunikasi yang hangat mampu mengubah keluhan menjadi pengertian, dan kebingungan menjadi rasa percaya.
Dari hasil pengamatan tersebut, saya menyimpulkan bahwa profesi administrasi kebijakan kesehatan merupakan perpaduan antara analisis dan empati. Mereka mengolah data dengan logika, tetapi juga menerapkannya dengan hati. Mereka mungkin tidak mengenakan jas putih atau bekerja di ruang operasi, tetapi tanpa mereka, sistem pelayanan kesehatan tidak akan berjalan seimbang. Melalui komunikasi yang sabar, terbuka, dan penuh empati, mereka membangun jembatan kepercayaan antara kebijakan dan masyarakat.
Pada akhirnya, kesehatan bukan hanya tentang pengobatan dan teknologi medis, tetapi juga tentang kepercayaan yang tumbuh dari pelayanan yang tulus. Di balik setiap kebijakan yang baik, selalu ada manusia-manusia berhati lembut yang bekerja dalam diam memastikan bahwa setiap orang yang datang ke rumah sakit tidak hanya pulang dengan pengobatan, tetapi juga dengan perasaan dihargai dan dimengerti.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
