Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr.-phil. Ir. Arinafril

Nadhif dan Kakek Surip, Pengemudi Becak

Adab | 2025-10-26 20:24:13

Di sebuah perumahan yang teduh dengan pohon-pohon rindang, tinggallah seorang anak laki-laki bernama Nadhif. Umurnya baru enam tahun, tapi matanya selalu berbinar penuh rasa ingin tahu. Nadhif tinggal bersama ibunya, Bunda Nisa, dan dua orang pengasuhnya yang baik hati, Ayuk Kuswita dan Bik Nina.

Hampir setiap sore, Nadhif suka bermain sepeda dan duduk-duduk di sebuah taman kecil di depan sebuah masjid. Dari sana, ia sering melihat tetangga satu perumahan, seorang kakek tua, mengayuh becak melewati taman bermain. Becak itu berwarna merah dan hijau yang sudah mulai mengelupas. Kakek itu bernama Kakek Surip, dan meskipun umurnya sudah tujuh puluh tahun, ia masih kuat mengayuh becaknya setiap hari.

"Ayuk Kuswita, kenapa Kakek Surip masih kerja ya? Kan sudah tua," tanya Nadhif suatu sore sambil menunjuk ke arah becak Kakek Surip yang sedang berhenti di depan warung bakso Mbah Bejo, menunggu penumpang.

Ayuk Kuswita yang sedang bermain hape menjawab: "Kakek Surip harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk dirinya dan juga istri dan cucu-cucu kecilnya."

Nadhif mengangguk pelan. Hatinya terasa sedih membayangkan Kakek Surip yang sudah tua masih harus mengayuh becak sejak pagi hari, siang hari di bawah terik matahari, dan sampai malam hari.

Keesokan harinya, ketika melihat Kakek Surip lewat lagi, Nadhif berlari keluar. "Kakek! Kakek Surip!"

Kakek Surip menghentikan becaknya dan tersenyum lebar melihat Nadhif. "Ada apa, Nadhif?"

"Kakek, boleh nggak saya naik becak Kakek? Saya mau jalan-jalan sore," kata Nadhif dengan mata berbinar.

"Wah, boleh sekali! Mau ke mana?" tanya Kakek Surip sambil membantu Nadhif naik ke becak.

"Keliling-keliling Pasar Lemabang saja, Kek. Saya mau lihat-lihat."

Mereka pun berkeliling pasar. Angin sore menerpa wajah Nadhif dengan lembut. Ia sangat senang melihat kesibukan pasar dari dalam becak yang melaju pelan.

"Kakek, capek nggak ngayuh becak setiap hari?" tanya Nadhif.

"Ya capek. Tapi kakek sudah terbiasa. Ini pekerjaan kakek sejak masih muda," jawab Kakek Surip sambil terus mengayuh.

"Kenapa Kakek nggak istirahat aja di rumah?"

Kakek Surip tertawa pelan. "Kalau kakek nggak kerja, nanti nggak ada uang buat makan dan bayar kontrakan rumah."

Nadhif terdiam. Ia berpikir keras. Setelah berkeliling sekitar dua puluh menit, Nadhif pulang kembali ke rumah. Nadhif turun dari becak dan berlari ke dalam rumah. Ia kembali dengan selembar uang di tangannya.

"Ini buat Kakek," kata Nadhif sambil memberikan uang itu.

Kakek Surip terkejut. "Wah, ini terlalu banyak. Cukup sepuluh ribu kok."

"Nggak, Kek. Ini buat Kakek. Bunda bilang kalau kita harus berbagi sama orang yang membutuhkan," kata Nadhif dengan mantap.

Kakek Surip terharu. Matanya berkaca-kaca. "Terima kasih ya, Nadhif. Kakek doakan Nadhif jadi anak yang baik dan selalu sehat."

Sejak hari itu, hampir setiap minggu Nadhif meminta Kakek Surip mengajaknya jalan-jalan dengan becak. Mereka hanya berkeliling pasar, dan ke pelabuhan yang memang berada di dekat perumahan tempat Nadhif tinggal.

Suatu sore, Bunda Nisa melihat Nadhif sedang menunggu Kakek Surip di teras. "Nadhif, Bunda lihat kamu sering naik becak Kakek Surip ya?"

"Iya, Bun. Nadhif suka jalan-jalan sama Kakek. Kakek Surip baik, dan dia cerita banyak hal," jawab Nadhif.

Bunda Nisa tersenyum. "Bunda senang kamu mau berteman dengan Kakek Surip. Tapi Bunda tahu, kamu pasti punya alasan lain kan?"

Nadhif mengangguk. "Nadhif kasihan lihat Kakek kerja terus. Kalau Nadhif naik becak Kakek, kan Kakek dapat uang. Nadhif selalu kasih uang lebih buat Kakek."

Bunda Nisa memeluk anaknya erat. "Bunda bangga sama Nadhif. Hati Nadhif baik sekali. Tapi Bunda mau bilang, membantu orang itu bukan hanya soal uang. Kadang, menjadi teman bicara dan perhatian kita itu jauh lebih berharga."

"Maksud Bunda apa?" tanya Nadhif.

"Mungkin Kakek Surip selalu capek karena harus bekerja keras setiap hari dari pagi sampai malam. Dengan Nadhif menemaninya dan mengobrol dengannya, Kakek pasti senang. Itu juga cara membantu, sayang."

Nadhif tersenyum lebar. "Iya, Bun. Kakek memang sering cerita kalau dia senang punya teman ngobrol."

Bik Nina yang mendengar percakapan mereka ikut menambahkan, Nadhif memang anak baik. Bibi juga mau ikut membantu. Bagaimana kalau kita sering bawakan makanan buat Kakek Surip?"

"Boleh, Bik! Nadhif juga mau bantu masaknya!" seru Nadhif girang.

Sejak itu, tidak hanya jalan-jalan sore dengan becak, Nadhif dan keluarganya juga sering membawakan makanan untuk Kakek Surip. Kadang nasi goreng, kadang bubur ayam, atau kue-kue kesukaan Kakek.

Suatu sore, Kakek Surip datang dengan membawa kantong plastik berisi pepaya. "Ini buat Nadhif dan keluarga. Tadi Kakek petik di belakang rumah."

"Terima kasih, Kek!" kata Nadhif sambil menerima jambu itu.

" Nadhif, kakek mau bilang terima kasih. Sejak kenal Nadhif dan keluarga, hidup kakek jadi lebih terbantu. Nadhif sudah seperti cucu kakek sendiri," kata Kakek Surip dengan suara bergetar.

Nadhif memeluk Kakek Surip. "Kakek juga seperti kakek Nadhif sendiri!"

Bunda Nisa yang melihat dari dalam rumah tersenyum bangga. Ia tahu bahwa meskipun Nadhif masih kecil, hatinya sudah memahami arti berbagi dan peduli kepada sesama.

Dari hari ke hari, persahabatan Nadhif dan Kakek Surip semakin erat. Nadhif belajar banyak hal dari cerita-cerita Kakek tentang kehidupan. Sementara Kakek Surip mendapat kebahagiaan dan kehangatan bersama Nadhif.

Dan hampir setiap Sabtu atau Minggu sore, ketika becak tua itu melewati jalan perumahan yang teduh, selalu terdengar tawa riang seorang anak kecil dan seorang kakek yang saling menyayangi. Mereka berdua bisa membuktikan bahwa kebaikan tidak mengenal usia, dan persahabatan bisa tumbuh dari hati yang tulus ingin membantu sesama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image