Justice for Timothy: Saat Kampus Tak Lagi Menjadi Ruang Aman bagi Mahasiswa
Info Terkini | 2025-10-22 20:18:52
Seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) bernama Timothy Anugerah Saputra di temukan tak bernyawa di halaman kampus setelah melompat dari lantai empat gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Denpasar, Bali, pada Rabu (15/10/2025).
Menurut teman-temannya, Timothy dikenal sebagai pribadi yang ceria, rendah hati, suka menolong, dan selalu bersemangat ketika berdiskusi. Ia juga seseorang yang selalu menjadi penengah apabila terjadi konflik antara teman sekelasnya. Ironisnya, sosok yang selalu ceria dan menjaga kedamaian ini justru menjadi korban dari lingkungan yang seharusnya memberinya rasa aman.
Meninggalnya Timothy Anugrah Saputra menjadi sorotan publik. Banyak berbagai fakta baru yang memunculkan dugaan adanya tindakan perundungan dan ejekan tidak etis yang dialami korban sebelum meninggal dunia di lingkungan kampusnya sendiri.
Setelah kabar kematian Timothy menyebar, tangkapan layar percakapan grup mahasiswa viral di media sosial. Beberapa mahasiswa justru melontarkan komentar bernada ejekan terhadap korban. Dalam percakapan tersebut, sejumlah mahasiswa dari berbagai fakultas seperti FISIP, FKP, dan Kedokteran tampak menertawakan peristiwa itu, bahkan membandingkan fisik korban dengan konten kreator bernama Kekeyi.
Sejumlah potongan chat yang kini tersebar, menunjukkan betapa nyawa dan nasib tragis Timothy hanya dibuat bercandaan oleh mereka.
“Badan gorbon begitu mau diangkat, mandiri dikit”
“Nahan tawa gw jir wkwkwk”
“Kek Kekeyi jir yang lagi pose macan”
Komentar-komentar tidak berempati itu memicu kemarahan publik. Bahkan, beberapa pelaku yang terlibat diketahui aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang seharusnya menjadi teladan bagi mahasiswa lain. Namun, tindakan mereka justru menunjukkan sebaliknya.
Menanggapi kejadian tersebut, pihak fakultas memberikan sanksi administratif kepada para mahasiswa yang terlibat. Beberapa di antaranya dikenai nilai D (tidak lulus) untuk seluruh mata kuliah semester berjalan, dan dihilangkan jabatannya di organisasi kampus. Namun, keputusan ini menuai banyak kritik dari mahasiswa dan masyarakat. Banyak yang menilai bahwa sanksi tersebut tidak sepadan dengan besarnya dampak dari tindakan perundungan yang dilakukan, terlebih lagi jika melihat bagaimana korban akhirnya kehilangan nyawa.
Menurut saya pun, sanksi yang diberikan kepada pelaku perundungan tampaknya tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Jika pelaku hanya diberi nilai D (tidak lulus) dan dicabut jabatannya, itu belum cukup menunjukkan keseriusan kampus dalam menindak kasus ini. Perundungan bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi bentuk kekerasan sosial dan psikologis yang bisa menghancurkan mental seseorang.
Kampus seharusnya berani menegakkan sanksi yang lebih tegas, seperti skorsing sementara, kewajiban mengikuti konseling dan pelatihan empati, hingga evaluasi moral sebelum kembali berorganisasi. Tujuan sanksi bukan hanya menghukum, tetapi juga menumbuhkan kesadaran agar tragedi seperti ini tidak terulang lagi.
Lebih dari itu, kampus seharusnya menjadi ruang yang aman bagi setiap mahasiswa. Ruang di mana mereka bisa belajar, berkembang, berproses dan mengekspresikan diri tanpa takut diejek, direndahkan, atau disakiti. Lingkungan pendidikan seharusnya bebas dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perundungan, baik secara fisik, verbal, maupun digital. Jika di dalam kampus sendiri mahasiswa tidak merasa aman, maka bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang berani, berpikir kritis, dan berempati terhadap sesama?.
Reaksi sebagian mahasiswa yang menertawakan kematian seseorang menimbulkan pertanyaan besar tentang empati di kalangan generasi terdidik. Mengapa di tengah tragedi seperti ini, masih ada yang menganggap kematian sebagai bahan candaan?. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa telah kehilangan kepekaan sosial dan tidak memahami batas antara bercanda dan menghina. Budaya seperti ini sering dianggap “biasa” di lingkungan organisasi, padahal jelas merupakan bentuk kekerasan verbal dan psikologis.
Kasus Timothy Anugerah Saputra menjadi cermin bahwa dunia pendidikan tinggi masih menyimpan sisi gelap, budaya ejek-ejekan dan sikap meremehkan yang dianggap sepele ternyata bisa berujung fatal. Tragedi ini seharusnya membuka mata kita bahwa kampus bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat membentuk empati dan tanggung jawab moral. Sudah saatnya institusi pendidikan memperkuat pendidikan karakter, etika digital, dan membangun sistem pendukung psikologis bagi mahasiswa agar tidak ada lagi yang merasa sendirian dalam menghadapi tekanan.
Karena sejatinya, kampus harus menjadi ruang aman bagi semua, bukan tempat di mana seseorang kehilangan harapan. Maka dari itu, mari kita lantangkan keadilan untuk Timothy Anugerah Saputra “Justice For Timothy”.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
