Hijab Croptop dan Zaman yang tak Lagi Malu
Gaya Hidup | 2025-10-17 20:13:34
Di jalan raya dan jagat maya, kita menyaksikan pemandangan baru yang katanya bagian dari evolusi gaya hidup. Perempuan muda berhijab dengan baju croptop, celana ketat, dan kerudung tipis yang lebih menyerupai hiasan kepala daripada penutup aurat. Mereka menatap kamera, menulis caption tentang kepercayaan diri, lalu menunggu validasi dalam bentuk tanda hati merah. Dunia pun bertepuk tangan, menyebutnya modern, progresif, dan bebas. Tapi barangkali, di antara sorakan itu, ada sesuatu yang sedang terkikis perlahan yaitu "makna".
Dulu, hijab adalah simbol spiritual. Kini, ia menjadi bagian dari katalog e-commerce dengan diskon akhir pekan. Hijab tidak lagi bicara tentang ketaatan, melainkan tentang tone warna kulit, feed yang estetik, dan pose yang sinematik. Kapitalisme punya kemampuan yang luar biasa: ia bisa menjual segalanya, bahkan yang dulu disucikan. Ia mengubah yang sakral menjadi sekadar outfit of the day.
Dan anehnya, kita semua bertepuk tangan. Kita menyebutnya kemajuan. Kita bangga karena agama tampak keren di depan kamera, bahkan ketika substansinya sudah hilang di balik filter.
Tentu saja ini bukan tentang satu orang atau sekelompok perempuan semata. Ini tentang masyarakat yang kehilangan arah moralnya tapi tetap ingin terlihat tercerahkan. Sistem yang memproduksi “kebebasan berekspresi” tanpa hiraukan akan batasan. Ketika semuanya diukur dengan impresi, nilai berubah menjadi konten, dan konten menjadi mata uang baru dalam peradaban manusia yang letih tapi tetap ingin tampil relevan.
Sosiolog mungkin akan menyebut fenomena ini sebagai displacement of meaning atau pergeseran makna. Apa yang dulu berarti ketaatan, kini berarti ekspresi diri. Apa yang dulu suci, kini menjadi tema fesyen. Dalam logika pasar, bahkan iman bisa dikurasi agar lebih engaging. Tak heran bila akhirnya batasan antara religius dan sensualitas menjadi kabur, karena yang penting bukan lagi isi, tapi seberapa baik tampilannya di layar kaca.
Tapi mungkin yang paling lucu — atau menyedihkan — adalah ketika semua pihak merasa menang. Remaja merasa bebas, industri merasa untung, influencer merasa relevan, dan masyarakat merasa toleran. Semua senang, tapi tak ada yang bertanya, "apa yang tersisa dari makna hijab itu sendiri"
Islam sebenarnya sudah menjawab kegelisahan ini jauh sebelum media sosial lahir. Dalam pandangan Islam, kebebasan bukanlah free will manusia sekehendak nafsunya namun ia harus diarahkan oleh hukum. Manusia boleh berkreasi, tapi tetap dalam koridor halal dan haram, karena justru di sanalah letak kebebasan yang sejati. kebebasan tanpa arah layaknya labirin, tampak luas, namun menyesatkan.
Hijab bukan sekadar kain di kepala dan penutup tubuh. Ia adalah pernyataan bahwa seseorang telah memilih arah hidupnya. Ia tidak diciptakan untuk menarik perhatian, melainkan untuk menenangkan pandangan. Tapi di dunia yang hidup dari atensi, ketenangan adalah produk yang tidak laku.
Mungkin inilah paradoks zaman kita, manusia semakin berani menunjukkan kulit, tapi semakin malu menunjukkan niat. Kita hidup di era di mana yang paling penting bukan lagi menjadi baik, tapi terlihat baik. Maka tak heran jika hijab pun akhirnya berubah fungsi, dari tanda ketundukan kepada perintah Illahi menjadi tanda trending.
Barangkali, di masa depan, hijab akan dijual sebagai “simbol spiritual tanpa kewajiban moral”. Dan dunia akan membelinya, karena di dunia yang haus validasi, yang paling laku memang selalu yang setengah benar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
