Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anidah

Robohnya Pesantren dan Rapuhnya Infrastruktur Pendidikan

Edukasi | 2025-10-13 05:09:06

Pasca musibah robohnya bangunan empat lantai milik pondok pesantren Al Kharizi, wacana penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk renovasi atau pembangunan ulang ponpres mengemuka. Hal itu disampaikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, saat meninjau langsung lokasi pasca-insiden robohnya bangunan pada awal Oktober 2025.

Wacana tersebut kemudian memicu sorotan tajam di antaranya dari anggota DPR Atalia Praratya, dan Ketua Komisi V DPR, Lasarus, yang menyoroti yang meminta rencana penggunaan APBN dikaji ulang, agar tidak menimbulkan kesan pilih kasih terhadap lembaga lain yang juga membutuhkan bantuan. Keduanya menilai pemerintah tidak boleh jadi “penebus kelalaian” pihak yang bertanggung jawab, agar tidak menjadi preseden bahwa negara “mengambil alih” semua tanggung jawab ponpes.

Bahkan pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah menilai ponpes sebagai lembaga privat (wakaf), sehingga pembangunan gedungnya bukan beban APBN. Terlepas dari kelalaian pihak ponpes, apakah haram jika APBN digunakan untuk membangun ponpes?

Pesantren, Penyokong Pendidikan Indonesia

Robohnya bangunan ponpes Al Khoziny tentu menjadi pukulan keras bagi wajah pendidikan di Indonesia. Betapa tidak, tempat yang seharusnya paling aman untuk santri menimba ilmu, malah mengancam keselamatan dan nyawa akibat kualitas pembangunan yang tak memenuhi standar. Terlepas dari abainya ponpes atas aspek kelayakan dan keamanan bangunan, musibah yang merenggut 67 korban meninggal ini adalah cermin gedung pendidikan yang masih jauh dari memadai, secara kuantitas maupun kualitas.

Sejak kehadirannya dalam perjalanan pendidikan di Tanah Air, ponpes tumbuh dari budaya swadaya bahkan sebelum kemerdekaan RI dikumandangkan. Ponpes telah menjadi bagian dari pendidikan anak bangsa, yang kelak mengobarkan perlawanan kepada penjajah Belanda.

Di masa kini, kehadiran ponpes justru membantu kebutuhan fasilitas pendidikan yang masih terbatas jumlahnya di Indonesia. Mendikdasmen pernah mengungkapkan bahwa sepertiga dari total siswa usia sekolah di Indonesia tidak tertampung di sekolah negeri. Mereka belajar di sekolah swasta atau ponpes.

Menurut data Kementerian Agama per 28 September 2025, jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai 42.391 unit, yang bisa menampung 5 juta orang santri. Tak sedikit anak-anak dari keluarga kurang mampu yang memilih belajar di pesantren karena biaya yang lebih terjangkau. Dalam konteks kurangnya ruang kelas sekolah negeri, ponpes justru jadi pilihan alternatif agar pendidikan tak berhenti dengan alasan daya tampung yang tak mencukupi.

Status ponpes yang merupakan lembaga privat, menjadikan sumber pendanaan mandiri dan dukungan para orang tua santri untuk pembangunan dan operasional. Meski banyak ponpes modern yang bisa mandiri dengan dukungan pembiayaan wali murid yang berkecukupan, namun ponpes dengan santri dari kalangan ekonomi bawah jumlahnya tak kalah banyak. Bagi ponpes semacam ini keterbatasan pendanaan sering membuat pembangunan ponpes dilakukan secara swadaya tanpa pendampingan teknis yang memadai. Sementara kebutuhan penyediaan fasilitas dan sarana pendidikan di ponpes dinilai sangat mendesak.

Menyoal Kehadiran Negara

Keberadaan ponpes yang didirikan secara swadaya, perlu dipandang sebagai sumbangsih mengisi kekosongan infrastruktur sekaligus memperkaya kualitas pendidikan nasional. Ponpes mengambil peran yang seharusnya dimaksimalkan negara, yaitu mendidik seluruh anak-anak bangsa, tanpa kecuali. Di saat ponpes kekurangan dana, selayaknya negara hadir membantu melalui alokasi dana yang memadai sebagai bagian dari tanggung jawabnya. Dalam hal ini negara tak seharusnya memilah-milah dengan melihat statusnya negeri atau swasta. Di mana pun anak-anak belajar, mereka berhak atas pendidikan yang menjadi kewajiban negara.

Terlebih hal itu telah diamanatkan dalam UU 18/2019 Tentang Pesantren. UU ini menegaskan posisi pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional, dan mengamanatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk Pesantren melalui APBN dan/atau APBD sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun implementasi dukungan ini lebih sebagai lip service dan masih jauh dari realita. Sementara bantuan pendidikan yang telah berjalan seperti BOS Pesantren tidak bisa dialokasikan untuk pembangunan gedung.

Berbeda dengan kondisi saat ini, pendidikan dalam sistem Islam memiliki kedudukan yang tinggi. Pendidikan adalah bagian dari hifz al-‘aql (menjaga akal), yang merupakan tujuan dasar syariat Islam. Islam mewajibkan negara menaruh perhatian pada kecukupan jumlah dan kualitas infrastruktur fisik sebagai penunjang utama proses belajar. sarana dan prasarana pendukung. Dengan dukungan pendanaan tanpa limit, Islam pernah gemilang dalam bidang ilmu dan teknologi, hingga menjadi rujukan dunia pada masanya.

Infrastruktur pendidikan dalam Islam bukan sekadar bangunan, tapi wasilah menuju peradaban yang berilmu, beradab, yang dilandasi keimanan. Tentu saja dukungan tanpa batas ini mewajibkan anggaran negara yang sehat, tanpa beban hutang yang mencekik. Anggaran negara yang defisit tak mampu leluasa membiayai kebutuhan infrastruktur pendidikan. Alhasil semua saling terkait, ekonomi dan politik penganggaran yang masih dilandasi asas kapitalistik, sulit menempatkan pelayanan sebagai prioritas anggaran.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image