Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image vivi nurwida

Lonely in The Crowd: Dampak Buruk Sosial Media dalam Sistem Sekuler Liberal

Gaya Hidup | 2025-10-02 15:02:00
Design gambar by AI


Fenomena kesepian di tengah keramaian kini menjadi realitas yang dialami banyak orang di era digital. Media sosial, yang sejatinya diciptakan untuk menghubungkan manusia, justru seringkali menimbulkan perasaan kosong. Seseorang bisa terlihat sangat aktif di dunia maya, rajin membuat unggahan, berinteraksi lewat komentar, bahkan memiliki ribuan pengikut. Namun di balik layar, ia merasa terasing, kesepian, dan kehilangan ikatan sosial yang nyata.

Hal ini diperkuat oleh riset mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang menyoroti fenomena Loneliness in the Crowd. Riset itu menemukan bahwa di platform seperti TikTok, pengguna bisa merasa dekat secara digital, namun secara emosional dan sosial justru semakin jauh. Menurut teori hiperrealitas, representasi digital sering dianggap lebih “nyata” daripada realitas itu sendiri. Inilah yang membuat emosi dan persepsi yang dibentuk media seolah lebih penting daripada pengalaman sosial langsung.

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan wajah asli dari kehidupan dalam sistem sekuler liberal yang mendominasi dunia hari ini. Sistem ini menekankan kebebasan individu tanpa arah nilai yang benar. Akibatnya, media sosial menjadi ruang ekspresi tanpa batas, yang justru membuat manusia kehilangan kedalaman hubungan sosial.

Kesepian di Tengah Generasi Digital

Gen Z disebut sebagai generasi yang paling merasa kesepian meski hidup di tengah teknologi komunikasi serba canggih. Mereka memiliki akses tak terbatas untuk “terhubung” kapan saja, tetapi tingkat kesepian, rasa insecure, bahkan masalah kesehatan mental semakin meningkat.

Sayangnya, banyak orang menganggap masalah ini hanya sekadar kurangnya literasi digital atau kegagalan mengatur waktu penggunaan gawai. Padahal, persoalan ini jauh lebih kompleks. Kesepian yang menjalar di tengah hiruk pikuk media sosial merupakan buah dari pola hidup yang terpisah dari nilai-nilai agama, di mana interaksi virtual dipandang lebih penting daripada interaksi nyata.

Kapitalisme dan Industri Media

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa industri kapitalis global memiliki peran besar dalam menciptakan fenomena ini. Media sosial bukan hanya sarana komunikasi, melainkan bisnis raksasa yang menjual atensi manusia. Setiap klik, tayangan, dan komentar dimonetisasi untuk kepentingan pasar. Akibatnya, algoritma didesain agar pengguna terus menerus terjebak dalam pusaran konten, meskipun hal itu berujung pada isolasi sosial.

Inilah mengapa seseorang bisa sangat aktif di dunia maya, tetapi menjadi kikuk, sulit bergaul, atau bahkan kehilangan kemampuan menjalin percakapan tatap muka. Pola hubungan dalam keluarga pun terganggu, anak sibuk dengan gawainya, orang tua sibuk dengan aktivitas daring, hingga komunikasi hangat dalam rumah tangga semakin jarang terjadi.

Jika dibiarkan, kondisi ini akan menciptakan masyarakat asosial: individu yang lebih nyaman bersembunyi di balik layar ketimbang bersosialisasi secara nyata.

Generasi Lemah dalam Sistem Sekuler

Dampak paling serius dari fenomena lonely in the crowd adalah munculnya generasi yang lemah dan rapuh. Padahal, generasi muda adalah aset berharga bagi umat. Mereka seharusnya menjadi motor perubahan, menghasilkan karya produktif, serta memiliki kepedulian terhadap problematika sosial.


Namun, bagaimana mungkin potensi itu muncul jika pikiran dan perasaan mereka lebih banyak terserap dalam dunia maya yang semu? Kesepian yang berkepanjangan membuat mereka kehilangan energi untuk berkontribusi nyata. Lebih buruk lagi, mereka terperangkap dalam individualisme, ciri khas dari sistem sekuler liberal yang menempatkan kesenangan pribadi di atas kepentingan umat.


Akibatnya, isu-isu penting umat seperti kemiskinan, ketidakadilan, atau bahkan penindasan di berbagai belahan dunia tidak lagi menjadi prioritas. Mereka sibuk dengan dunia digital yang menipu, sementara umat kehilangan generasi yang seharusnya menjadi penggerak perubahan.


Islam Sebagai Jalan Keluar
Fenomena ini tidak bisa diatasi hanya dengan imbauan “bijak menggunakan media sosial” atau sekadar kampanye literasi digital. Akar persoalannya adalah paradigma sekuler liberal yang menjadikan media sosial sebagai ruang kebebasan tanpa batas.


Islam menawarkan jalan keluar yang berbeda. Dalam pandangan Islam, identitas seorang Muslim harus berakar pada akidah yang kokoh. Media sosial hanyalah alat, bukan pusat kehidupan. Interaksi sosial dalam Islam tidak sekadar untuk hiburan, tetapi diarahkan untuk memperkuat ukhuwah, menegakkan amar makruf nahi mungkar, dan saling menasihati dalam kebaikan.


Selain itu, Islam menempatkan peran negara sebagai pihak yang bertanggung jawab mengatur pemanfaatan dunia digital. Negara harus memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memperkuat keimanan, mendorong produktivitas, serta menyelesaikan persoalan umat, bukan justru menjerumuskan masyarakat pada kesepian massal.


Penutup
Lonely in the crowd adalah potret nyata dampak buruk media sosial dalam sistem sekuler liberal. Rasa kesepian di tengah keramaian maya bukan sekadar masalah psikologis, melainkan bukti kegagalan sistem yang mengabaikan nilai agama.
Masyarakat harus sadar bahwa jika tidak dikelola dengan benar, media sosial hanya akan membuat manusia semakin terasing.

Solusi yang sesungguhnya bukan sekadar mengurangi waktu layar, tetapi mengembalikan kehidupan pada pijakan Islam. Dengan Islam sebagai identitas utama dan negara yang menjalankan syariat secara kafah, media sosial dapat diarahkan menjadi sarana produktif, bukan sumber kesepian.


Generasi muda harus diselamatkan dari jebakan kesepian digital. Mereka harus diarahkan menjadi generasi tangguh, berdaya, dan peduli terhadap umat. Hanya dengan begitu, wajah suram peradaban karena kesepian di tengah keramaian tidak akan terjadi.

Wallāhu a'lam bisshowab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image